Tradisi Gebug Ende. Tarian Sakral dan Gerakan Mirip Silat
Pemuteran Bay Festival (PBF) tidak hanya memperlihatkan kepedulian terhadap alam. Budaya juga mendapat porsi besar. Salah satunya, dengan menampilkan tradisi masyarakat Bali, Gebug Ende.
Atraksi Gebug Ende ditampilkan 13-14 Desember, pukul 15.00-17.30 WITA. Venuenya di Desa Pemuteran, Gerokgak, Singaraja, Bali. Budaya sakral ini dibawakan secara menarik hingga mendapatkan apresiasi tinggi.
“Gebug Ende termasuk daya tarik PBF 2018. Budaya ini merupakan tradisi turun temurun yang sakral. Karena, pada hakikatnya memiliki makna dan tujuan khusus,” ungkap Kelihan Desa Pakraman Pemuteran Ketut Wirdika.
Gebug Ende adalah sebuah tarian. Gerakannya khas menyerupai silat lengkap dengan alat tamiang (perisai) dan pemukul dari rotan. Tamiang ini terbuat dari kulit sapi.
Gebug Ende biasanya menjadi ritual untuk meminta hujan. Tujuan lain dari Tari Gebug Ende adalah sebagai penolak bala energi negatif. Tarian ini biasanya diperagakan saat kemarau panjang.
“Saat ini Gebug Ende masih terpelihara dengan baik. Gebug Ende menjadi fenomena budaya yang menaik dan unik. Apalagi, sejarah mencatat kalau Gebug Ende ini bukan dari daerah Pemuteran atau Gerokgak sini,” terang Wirdika.
Gebug Ende berasal dari Desa Seraya, Karangasem, Bali. Tradisi ini hingga akhirnya berkembang di kawasan Gerokgak karena dibawa krama Desa Seraya yang merantau.
Tradisi ini lalu berkembang di Buleleng Barat pada tahun 1925, khususnya di Desa Sumberkima. Pada tahun 1930, ada pemekaran Desa Adat Pemuteran menjadi beberapa wilayah.
Pemekaran Desa Adat Pemuteran pun menghasilkan sekitar 8 desa. Ada Desa Sumberkima, Pejarakan, Pemuteran, Sumberklampok, Patas, Banyupoh, Penyabangan, hingga Sanggalangit. Seiring waktu, tradisi ini pun rutin digelar bila kemarau panjang datang. Menggelar Gebug Ende, para krama desa memohon kepada Ida Betara agar diturunkan hujan.
“Air ini sangat penting sebagai sumber kehidupan. Bila kemarau terlalu panjang tentu mengganggu dan harus segera diakhiri. Caranya, berdoa dan menggelar ritual Gebug Ende. Oleh karena itu, ritual Gebug Ende ini tidak boleh dilakukan secara sembarangan,” katanya lagi.
Gebug Ende ini dilakukan oleh 2 pria. Mereka mengenakan udeng, bertelanjang dada, dan bersaput poleng. Sembari lincah bergerak mereka membawa ende atau tamiang dan rotan. Sebagai senjata utama memukul, rotan memiliki panjang 1,5-2 meter. Sebelum aksi ini dimulai, digelar upacara Mecaru sebagai persembahan bagi Bhuta Kala.
Meski sakral, pagelaran Gebug Ende tetap meriah dengan iringan gamelan khas Bali. Para peserta saling serang begitu saye (wasit) menggebukan rotan ke ende sebanyak 3 kali.
Dalam tradisi Gebuk Ende, para peserta bertarung dengan dibatasi garis pemisah. Secara khusus tidak ada pemberian status pemenang dalam sebuah pertunjukan Gebug Ende ini.
“Gebug Ende merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki nusantara. Tradisi ini masih terawat dengan baik secara turun temurun. Meski memiliki tujuan khusus, Gebug Ende ini menjadi daya tarik luar biasa dalam PBF 2018. Pengunjung mendapatkan banyak pencerahan. Sebab, ada filosofi besar pada sebuah Gebug Ende,” tutur Plt Deputi Bidang Pemasaran I Kemenpar Ni Wayan Giri Adnyani.
Kawasan Buleleng memang kaya dengan tradisi. Selain Gebug Ende, masih ada tradisi Nyakan Diwang, Megebeg-Gebegan, Megoak-Goakan, Sapi Grumbungan, Ngusaba Bukakak, Ngoncang, dan Ngamuk-Amukan (perang api). Tradisi ini banyak tumbuh subur di beberapa desa tua, seperti Sembiran, Cempaga, Tigawasa, dan Pedawa. (*)