Toleransi di Bumi Arema
Masjid itu terletak di deretan gereja katolik dan protestan, pucuk-pucuk kubah Masjid Agung Jami’ Kota Malang itu hidup berdampingan dengan pucuk-pucuk runcing dan lancip Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel dan Gereja Katolik Hati Kudus Yesus. Idul Adha 1440 Hijriyah menjadi saksi bagaimana ibadah Shalat Ied dan Misa yang jatuh di hari yang sama berjalasan secara selaras.
Pagi-pagi sekali, sekitar pukul 06.30 WIB, angin berhembus di suhu sekitar 16 derajat Celsius, begitu dingin, kering, menusuk seperti jarum.
Menurut mitos puncak dingin di Kota Malang, Jawa Timur, adalah ketika memasuki musim penerimaan mahasiswa baru.
Sedangkan secara ilmiah, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, memprediksi Bulan Agustus ini akan menjadi puncak suhu dingin di Kota Malang.
Udara dingin masih terasa meskipun badan telah dirungkup menggunakan mantel dua lapis. Namun, dingin tersebut dipecah oleh para jemaah yang bergegas menuju Masjid Agung Jami’ di Jalan Merdeka Barat.
Ribuan jemaah mengular membentuk shaf sepanjang 200 meter dari Masjid Agung Jami’ ke utara melewati GPIB Immanuel sampai Gereja Katolik Hati Kudus Yesus.
Ibadah salat ied tersebut juga bertepatan dengan ibadah misa yang dilakukan oleh kedua umat nasrani tersebut.
Namun mereka memberikan ruang untuk umat Islam dengan menggeser jadwal ibadah Misa ke jam 08.00 WIB pagi.
Sedangkan untuk GPIB Immanuel tak ada masalah karena jadwal misa memang sering dilakukan pukul 08.00 WIB.
Berbeda dengan Gereja Katolik Hati Kudus Yesus yang secara tradisi melakukan jadwal misa mulai pukul 06.00 WIB.
Di Masjid Agung Jami’ hadir pula Wali Kota Malang, Sutiaji, memberikan sambutan sebelum pelaksanaan ibadah Salat Ied.
“Ini menunjukkan bahwa itulah kehebatan Malang, selain sinergi tapi rasa persaudaraan dan toleransinya tinggi,” tutur Sutiaji selepas melaksanakan salat ied.
Ibadah shalat Ied selesai sekitar pukul 07.32 WIB, dengan tampilan necis memakai setelan jas serba hitam, Sutiaji mengatakan ketika umat nasrani akan melakukan ibadah misa pun, maka umat Islam akan memberikan ruang.
“Ini menjadi bukti, walaupun tempat ibadah berhimpitan antara masjid dengan gereja, tapi keduanya tidak ada yang terganggu,” tutur Sutiaji.
Saat akan meninggalkan Masjid Agung Jami’ Sutiaji menyitir sebuah ayat dalam Surat Al-Kafirun.
“Lakum dīnukum wa liya dīin,” ucapnya, ayat tersebut dirasa mampu merangkum semua komentarnya tadi.
Ia pun meninggalkan lokasi dengan menumpang Alphard berwarna hitam. Mobil itu membawa Sutiaji sekeluarga, menyapu sisa-sisa lepekan koran yang digunakan para jemaah salat ied.
Sekitar pukul 07.56 WIB di depan GPIB Immanuel para jemaah salat ied sudah membubarkan diri.
Depan gereja protestan tersebut digantikan oleh para jemaat nasrani yang mulai mendatangi rumah ibadah mereka untuk misa.
Keadaan yang sama juga terjadi di Gereka Katolik Hati Kudus Yesus, selepas salat ied satpam gereja membuka gerbang bagi para jemaat untuk beribadah.
Pemandangan tersebut sungguh meneduhkan, juga menunjukkan bahwa toleransi itu terasa sangat indah.
“Sudah dua tahun seperti ini, jadi kita satu sama lain sudah sama-sama mengerti,” tutur Ketua Takmir Masjid Agung Jami’, Haji Zainuddin.
Zainuddin menceritakan bahwa toleransi dalam hal beribadah tersebut sudah terjalin sangat lama.
“Selain itu, sebelum-sebelumnya kita juga pernah mengundang mereka untuk kegiatan-kegiatan kemanusiaan. Masing-masing selalu menjaga kelangsungan ibadahnya” ucapnya lalu tersenyum.
Ngopibareng.id kemudian mengunjungi Gereja Katolik Hati Kudus Yesus yang berjarak 200 meter dari Masjid Agung Jami’.
“Silakan Mas, parkir di sebelah kiri sini, kalau mau ambil foto cukup dari halaman saja. Di dalam lagi ada ibadah misa,” tutur satpam gereja tersebut.
Di dalam pelataran gereja terlihat sekelompok orang lagi khusyuk berdoa. Ada pula yang keluar dengan membawa patung Yesus.
Selain misa, di gereja tersebut akan dilakukan prosesi perkawinan. Tampak ibu-ibu kompak memakai stelan kebaya merah.
“Ini juga lagi ada yang nikahan mas,” ucap Klementin Devi, Humas Gereja Katolik Hati Kudus Yesus, menyambut ngopibareng.id, ketika masuk gerbang.
Devi membenarkan jika ada pergeseran waktu untuk ibadah misa pada hari ini. “Pukul 06.00 WIB tadi tidak ada misa, kita geser ke pukul 08.00 WIB,” jelasnya.
Devi mengatakan bahwa hal tersebut sudah biasa terjadi selama bertahun-tahun di Kota Malang.
“Ketika Idul Fitri bulan lalu kita juga membuka gerbang gereja, karena jemaah saat itu membludak,” sambungnya.
Devi kembali menceritakan nilai-nilai toleransi antar umat beragama yang sudah terjalin lama tersebut.
“Jadi mereka sampai di halaman gereja, kita juga siapkan alas untuk ibadah seperti koran lalu minuman seperti teh, kopi dan air mineral,” ungkapnya.
Selepas dari gereja pukul 09.36 WIB, saat itu Kota Malang terlihat cerah, langit biru memayungi kawasan Kayu Tangan.
Terpaan sinar matahari mengkilatkan warna kuning patung sastrawan masyhur, Chairil Anwar yang terletak di samping Gereja Katolik Hati Kudus.
Jarak beberapa ratus meter dari gereja, gang-gang kampung di daerah tersebut sudah bersiap menyembelih daging hewan kurban.
Sepanjang antara Jalan Merdeka Barat menuju Jalan K.H. Hasyim Asy’ari berkumandang takbir.
Allahu akbar, Allahu akbar, Allhu akbar, walillahilham.