Toleransi di Arab dan Indonesia, Ini Kata Syekh Hichem Grissa
Rektor Universitas Ez-Zitounah Tunisia Syekh Hichem Grissa mengatakan, toleransi di Arab dan di luar Arab itu berbeda. Menurutnya, toleransi di luar Arab, khususnya di Indonesia, itu toleransi yang sesungguhnya.
"Toleransi di luar Arab itu toleransi yang murni, sementara di negeri kami, di Arab sendiri, toleransi itu kadang ada, kadang juga menghilang," ujarnya.
Syekh Hichem Grissa pun menyatakan, sepakat dengan adanya wacana Islam Nusantara. Hal ini ia nyatakan saat berbincang dengan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj.
"Saksikan wahai saudara sekalian, bahwa kami bersepakat (tentang Islam Nusantara)," kata Syekh Hichem di Kantor PBNU lantai 3, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Senin 21 Januari 2019.
"Saksikan wahai saudara sekalian, bahwa kami bersepakat (tentang Islam Nusantara)," kata Syekh Hichem.
Sebelumnya, Kiai Said menyampaikan bahwa Islam Nusantara merupakan Islam dengan bentuk Islam yang ada di Nusantara, mencakup Indonesia, Malaysia, Brunei, dan lain-lain.
"Islam dengan format Nusantara, Islam yang melawan ekstremisme," kata Pengasuh Pondok Pesantren Al-Tsaqafah, Ciganjur, Jakarta Selatan itu.
Dalam pertemuan itu juga Kiai Said menjelaskan, ada banyak ulama Nusantara yang populer di Arab. Syekh Nawawi, misalnya, yang mengarang kitab Tafsir Munir, Nihayatuz Zain Syarh Fath al-Muin, dan lain-lain.
Ia juga menyebut nama Syekh Ihsan Kediri yang mengarang Sirajut Thalibin Syarh Minhajul Abidin, Syekh Mahfudz At-Turmusi yang menulis kitab Manhaj Dzawin Nadhar, KH Sahal Mahfudz yang menulis kitab Thariqatul Hushul Syarh Ghayatul Wushul, dan sebagainya.
"Al-Bantani itu di Jawa, At-Turmusi itu di Jawa, Al-Qodiri itu Kediri Jawa Timur," jelas Kiai Said.
Kiai Said pun menjelaskan, kitab-kitab itu ditulis dengan menggunakan bahasa Arab. Mendengar hal itu, Syekh Hichem meminta para mahasiswanya yang turut hadir pada pertemuan tersebut untuk membawa kitab-kitab karya ulama Nusantara tersebut.
Kerja sama PBNU
Dalam pertemuan kali itu, Syekh Hichem dan Kiai Said menandatangani nota kesepahaman kerja sama di bidang pendidikan, yakni pertukaran dosen, pertukaran mahasiswa, dan sebagainya. Lebih khusus, Syekh Hichem sangat terbuka untuk menerima mahasiswa di tingkat doktoral.
"MoU antara NU dan Universitas Zitounah di Tunis tentang penerimaan mahasiswa dan beasiswa," ujar Kiai Said setelah pertemuan.
Sebelum menandatangani nota kesepahaman, Kiai Said berbincang-bincang mengenai berbagai hal. Ia menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia mayoritas bermazhab Syafi'i dalam fiqihnya dan Asy'ari dalam aqidahnya.
Masyarakat Tunis, kata Syekh Hichem, juga bermazhab Asyari dalam aqidahnya, sedang pada bidang fiqihnya bermazhab Maliki.
"Al-Asy’ari merupakan imam umat," katanya.
Pertemuan itu juga dihadiri oleh Katib Syuriyah KH Zamzami Amin, Ketua PBNU H Eman Suryaman, H Aizuddin Abdussalam, H Sultonul Huda, Bendahara KH Hafidz Taftazani. Hadir juga para alumni dan mahasiswa Ez-Zitounah.
Selepas berkunjung ke PBNU, Syekh Hichem langsung bertolak ke Bandara guna melanjutkan kunjungannya ke Malaysia dan kembali ke Tunisia. Ia telah 10 hari di Indonesia dan berkunjung ke berbagai perguruan tinggi dan pesantren. (adi)
Advertisement