Tolak Islam Nusantara, MUI Sumbar Tanpa Lakukan Tabayun
“Islam Nusantara yang dimaksud Nahdlatul Ulama bukan seperti yang digambarkan sendiri oleh MUI Sumatera Barat. Lalu dilarangnya sendiri,” ujar Kiai Ishomuddin.
Pernyataan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat yang menolak konsep Islam Nusantara merupakan pandangan dan penggambaran yang tidak disertai proses tabayun dan bertanya.
“Islam Nusantara yang dimaksud Nahdlatul Ulama bukan seperti yang digambarkan sendiri oleh MUI Sumatera Barat. Lalu dilarangnya sendiri,” ujar Kiai Ishomuddin.
Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini mengungkapkan hal itu, dikonfirmasi ngopibareng.id, Sabtu 28 Juli.
Dosen UIN Raden Intan Lampung ini tidak memungkiri, MUI Sumbar bukan satu-satunya orang dan kelompok yang tidak menyetujui konsep Islam Nusantara. Namun, tidak berusaha mencari tahu dan bertanya agar paham.
"Konsep Islam yang mampu berdampingan dengan budaya lokal, wawasan kebangsaan, dan praktik bernegara seperti NU-lah yang terus berupaya dilakukan oleh ulama-ulama Afghanistan."
Ia menegaskan, betapa banyak sesuatu yang benar disalahkan karena yang menyalahkan tidak paham atau tidak berusaha memahami dengan bertabayun.
“Contoh, MUI Sumatera Barat menyalahkan ide Islam Nusantara karena bingung dan salah paham, tetapi enggan bertanya,” tegas Kiai Ishom.
Dia menjelaskan, konsep Islam Nusantara tidak hanya sesuai dengan karakteristik Islam di Indonesia dan Asia Tenggara, tetapi konsep ini juga diterima oleh tokoh-tokoh ulama internasional.
“Konsep Islam Nusantara yang digulirkan oleh NU ternyata disambut baik, disetujui dan siap diterapkan oleh ulama moderat dari seluruh penjuru dunia Muslim yang aktif dalam International Summit of The Moderate Islamic Leadership di Jakarta pada 9-11 Mei 2016 lalu,” ungkap Kiai Ishom.
Keberhasilan NU merawat keharmonisan beragama dan wawasan kebangsaan lewat konsep Islam Nusantara ini terbukti ketika ulama-ulama di Afghanistan membentuk Nahdlatul Ulama di negerinya. Mereka berulang kali melakukan studi banding dan kunjungan ke PBNU dalam upaya tersebut.
PBNU sendiri tidak terlalu memaksakan sistem seperti apa yang harus dijalankan organisasi NU di Afghanistan. Karena hal ini bisa disesuaikan dengan kondisi Islam di sana.
Namun, konsep Islam yang mampu berdampingan dengan budaya lokal, wawasan kebangsaan, dan praktik bernegara seperti NU-lah yang terus berupaya dilakukan oleh ulama-ulama Afghanistan.
Hingga saat ini, berdirinya NU di Afghanistan diakui oleh masyarakat di sana mampu menciptakan perdamaian dan menekan aksi-aksi kekerasan. Bahkan, para menteri negara berduyun-duyun menjadi pengurus NU.
Dalam hal ini, Kiai Ishom berharap agar umat Islam Indonesia, terutama para tokohnya, tidak tergesa-gesa menolak konsep Islam Nusantara yang tidak lain adalah Islam Ahlussunnah wal Jama’ah an-Nahdliyyah.
“Karena konsep tersebut mencita-citakan terwujudnya Islam rahmatan lil-'ālamīn melalui prinsip-prinsip keadilan, moderasi, toleransi, dan keseimbangan sebagaimana yang selalu diperjuangkan oleh para pendiri dan para kiai NU sepanjang hayatnya,” urainya.
Islam Nusantara, tegasnya, mengupayakan terwujudnya ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin. “Justru Islam Nusantara lahir karena watak Islam sendiri yang rahmatan lil 'alamin,” tukas Kiai Ishom. (adi)