Tolak Formalisasi Agama, Khawatir Ancam NKRI
Saya harusnya mahasiswa angkatan 1988. Namun, karena sempat mengulang di pesantren selama 3 tahun, akhirnya menjadi angkatan 1991. Era itu, hegemoni Soeharto atas kehidupan berbangsa dan bernegara masih sangat kuat. Namun mulai ada pergerseran baru. Soeharto mulai mendekat ke Islam.
Kedekatan itu, salah satunya ditandai dengan berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada Desember 1990. ICMI didirikan di Malang oleh Menristek B. J. Habibie. Habibie adalah “anak emas” Soeharto. Bahkan kepulangannya ke tanah air dari Jerman juga atas permintaan Pak Harto.
Di era 90-an ini, Pak Harto semakin kelihatan “Islami”. Dan untuk lebih mempertegas identitas ke-Islamannya, pada 1991, Pak Harto, menunaikan ibadah haji. Nama yang semula hanya Soeharto, menjadi Muhammad Soeharto.
Ketika ICMI berdiri, hampir semua intelektual muslim papan atas masuk gerbang ICMI. Gegap gempita menyambut kehadiran ICMI membahana ke seantero negeri. Emosi semua anak negeri, khususnya yang Islam ikut larut di dalamnya. ICMI bak surya yang menjanjikan sinar terang di malam gulita.
Genderang “kebangkitan Islam” ditabuh. Koran Republika didirikan. Untuk modal awal dilakukan gerakan jual saham di kalangan umat Islam. Pendirian Republika dimaksudkan untuk mengimbangi atau mengalahkan dominasi media yang saat itu banyak dimiliki non-muslim.
Bank Muamalat juga digagas untuk menawarkan konsep perbankan yang Islami. Lagi-lagi, pendirian bank ini juga untuk mengimbangi atau bahkan mengganti bank konvensional yang dekat dengan praktek ribawi. Dompet Dhua’fa, sebagai gerakan peduli semasa umat Islam juga didirikan.
Sungguh elok dan menyilaukan. Semua berkata,” Ahlan wa Sahlan ICMI”. Saya pun termasuk orang yang berucap itu.
Di luar dugaan, Gus Dur bersikap beda. Beliau melawan arus besar itu. Gus Dur emoh ikut serta. Bahkan, dengan lantang Gus Dur menyatakan ketidaksetujuannya. Gus Dur tetap konsisten dengan pendiriannya yang tidak suka dengan formalisasi agama (Islam). Beliau lebih senang dengan pendekatan kultural.
Sikap Gus Dur terlihat sangat aneh. Kian menguatkan brand, “Gus Dur memang tokoh kontroversial”. Saya pun merasa janggal. Namun sebagai mahasiswa NU yang saat itu aktif di PMII, saya tetap mengidolakannya. Saya “memaksa diri” untuk memahami sikap Gus Dur. Kepingan-kepingan informasi saya kumpulkan untuk merajut pemahaman.
Sebelum ICMI berdiri, Gus Dur sangat getol mewacanakan pribumisasi Islam. Dengan konsep ini, Gus Dur ingin Islam menjadi ruh atau spririt dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Islam tidak perlu diformalkan. Yang penting isi bukan cassing! Islam cukup dikembangkan dengan pendekatan budaya seperti yang dilakukan para walisongo dalam menyebarkan Islam di nusantara.
Gus Dur memandang kehadiran ICMI bisa meruntuhkan konsep gerakan kultural itu. Hubungan Islam dan negara menjadi formal. Dan itu, dikhawatirkan bisa merusak sendi-sendi kebhinekaan yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa. Ke depan, dikhawatirkan bisa megancam eksistensi NKRI yang dibangun di atas pondasi kebhinekaan.
Gus Dur kukuh dengan sikapnya yang tidak setuju dengan ICMI. Ini suatu sikap yang “super berani” pada waktu itu. Karena dengan demikian, sama saja dengan menentang Pak Harto. Dan resikonya bisa gawat!
Gus Dur akhirnya menjadi incaran. Puncaknya pada Muktamar NU di Cipasung pada 1994. Gus Dur yang sejak 1984 memimpin NU, tidak lagi dikehendaki Cendana. Kekuatan pun dikerahkan untuk mengganjal Gus Dur agar tidak kembali memimpin NU. Abu Hasan dimunculkan sebagai calon yang direstui Pak Harto.
“Pertempuran” di Muktamar Cipasung sangat sengit dan heroik. Inilah Muktamar NU yang sangat menegangkan. Dalam pertempuran ini, ICMI all out di belakang Pak Harto. Republika sebagai corong informasi ICMI, bertempur habis-habisan di lapangan. Arena Muktamar digempur dengan opini-opini yang melemahkan Gus Dur.
Gus Dur tetap kokoh tak tertandingi! Abu Hasan kalah. NU tandingan yang didirikannya pun mati sebelum berkembang. Tidak mampu menjatuhkan Gus Dur. Sebaliknya, Gus Dur semakin legendaris. Militansi warga NU terhadap Gus Dur semakin kuat.
Gus Dur belum bisa digusur. Artinya, pertempuran pun masih berlanjut. Entah terkait langsung apa tidak, beberapa tahun setelah itu, basis-basis massa NU di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, diguncang dengan pembantaian beberapa kiai NU oleh segerombolan orang yang berpakaian ala ninja. Isu yang dikembangkan adalah isu dukun santet. Para kiai yang diisukan punya ilmu santet, menjadi bidikan.
Sungguh mencekam! Banyuwangi sebagai salah satu basis kuat NU, menjadi ladang pembantaian yang paling parah. Merespon kekacauan itu, pada 1998 Gus Dur melempar statemen adanya Operasi Naga Hijau yang mengobok-ngobok massa NU. Gus Dur mengatakan bahwa dalang kasus itu berisial ES.
Dari statemen Gus Dur itu, akhirnya muncul pro kontra. Asumsi-asumsi terkait dengan kepanjangan dari inisial ES itu berseliweran. Ada yang berasumsi Eggy Sudjana. Ada yang mengaitkan dengan nama Edi Sudrajat. Namun, belakangan Gus Dur memberikan stateman yang mengejutkan, bahwa ES itu adalah Eyang Soeharto.
Hingga kini, kasus berdarah-darah itu tidak juga terungkap tabirnya. Apa motif di balik kasus itu? Apa target utamanya? Siapa aktor di belakangnya? Memang, sempat dibentuk beberapa tim pencari fakta. Termasuk di internal NU. Namun, tetap saja masalah itu jadi misteri. Datang tak diundang, pulang tidak diantar. Mirip jailangkung!
***
Kekhawatiran Gus Dur tentang bahaya formalisasi agama lambat laun terbukti. Simbul-simbul agama lebih sering ditampakkan. Isu politik pun diidentikkan dengan isu agama. Ini sangat berbeda dengan konsep pribumisasi Islam yang diperjuangkan Gus Dur. Benar, sekilas Indonesia menjadi semakin “Islami”. Namun, itu lebih ke penampakan cassing. Bukan di isi!
Gerakan formalisasi agama semakin kuat. Polarisasi Islam-non Islam semakin kuat didengungkan. Imbasnya, ketegangan sosial yang berbasis isu agama mulai bermunculan. Tragedi Ambon yang menumpahkan darah ribuan anak bangsa, menurut informasi yang saya terima ketika liputan di Ambon pada 2000, juga tidak jauh-jauh dari isu ini.
Pilpres 1999, setahun setelah Pak Harto lengser juga sangat dipenuhi dengan sentimen agama. Pendukung B.J. Habibie dan pendukung Megawati, terpolarisasi ke dalam dua kelompok yang berbasis agama. Meski janggal, karena Mega pun muslim dan pendukungnya pun mayoritas beragama Islam.
Polarisasi ini menimbulkan ketegangan politik yang luar biasa. Kekacauan sosial atau chaos dikhawatirkan terjadi. Merespon itu, Amien Rais menawarkan solusi: POROS TENGAH. Dan Gus Dur, diangap solusi. Punya hubungan erat dengan Mega, tapi tetap bisa merepresentasikan Islam. Gus Dur pun terpilih menjadi Presiden! Meski 2 tahun kemudian dilengserkan.
Sekarang formalisasi agama ini semakin menjadi-jadi. Politisasi agama marak. Kontestasi pilpres 2019 lalu benar-benar penuh sesak dengan isu-isu agama. Tokoh sekaliber Amien Rais pun masuk kubangan dengan membuat istilah, “Partai Allah dan Partai Setan”. “Protolan artis” yang mendadak menjadi ustdzah, Neno Warisman sampai mengkhawatirkan jika jagonya tidak menang, khawatir tidak ada lagi yang menyembah Allah. Lebay...!
Rupanya, itulah yang dulu dikhawatirkan Gus Dur. Benang merahnya nampak jelas. Dan benar, fenomena itu mengancam eksistensi NKRI. Sekarang muncul sekelompok orang yang “kelewat Sholeh” mulai menghidupkan kembali cita-cita untuk mendirikan negara Islam. NKRI pun, akan diganti dengan sistem khilafah. Atau, NKRI Bersyariat.
Ach...Jadi ingat Gus Dur! Jadi rindu Gus Dur!* (bersambung)
Akhmad Zaini
Mantan jurnalis, kini aktif di IAINU Tuban.