Tolak Ajukan Grasi Pembebasan Abu Bakar Ba'asyir Dilematis
Pembebasan terpidana teroris Abu Bakar Ba'asyir, tidak bisa dilakukan dengan jalan pintas. Hal itu tetap harus tetap melalui presedur.
Juru bicara Presiden, Johan Budi mengatakan meskipun rasa kemanusian yang menjadi pertimbangan Presiden Jokowi untuk membebaskan Ba'asyir, Presiden tetap berpegang pada aturan. Bila pembebasan Ba'asyir bentuknya grasi, terpidana harus mengajukan permohonan grasi kepada Presiden selaku pemegang hak prerogatif.
Tapi, sampai sekarang Ba'asyir menolak menandatangani pengajuan grasi maupun pembebasan bersyarat.
"Niat Presiden untuk membebaskan Ba'asyir, belum direspon oleh pihak Ba'syir," kata Johan, kepada wartawan, Sabtu 19 Januari 2019.
Menghadapi sikap Abu Bakar Ba'asyir ini, Presiden Joko Widodo akan meminta masukan Mahkamah Agung (MA) sebelum mengeluarkan grasi atau pengurangan hukuman bagi Abu Bakar Ba'asyir, yang saat mendekam di Lapas Gunung Guntur Bogor, dalam kasus terorisme.
"MA akan diminta pendapat setelah pihak Ba'asyir resmi mengajukan grasi ke presiden," kata Johan.
"Presiden Jokowi menerima banyak usulan agar Ba'asyir diberi grasi, dengan pertimbangan kemanusiaan setelah melihat kondisi kesehatan Ba'asyir yang makin memburuk, dengan usia yang sudah sangat tua dan sakit-sakitan."
Jawaban Presiden Jokowi, kata Johan, adalah semuanya akan didasarkan pada peraturan yang berlaku. Grasi sendiri adalah salah satu kewenangan yang dimiliki oleh presiden dan diatur dalam konstitusi.
"Tentu presiden akan memenuhi semua persyaratan peraturan perundang-undangan. Ada mekanisme yang harus dilewati, tidak bisa menabrak undang-undang, baik ketika memberikan perawatan kesehatan, memberi grasi atau mengubah menjadi tahanan rumah," katanya.
Ia menepis anggapan, perawatan kesehatan di rumah sakit, wacana pemberian grasi dan tahanan rumah bagi Ba'asyir sebagai cermin 'perlakuan istimewa dari pemerintah'.
"Saya baca di pemberitaan, keluarga maupun pengacara tidak ingin mengajukan grasi. Itu yang saya baca. Kalau prosedur tidak dilalui, pemberian grasi tidak bisa dikeluarkan," kata Johan.
Pengacara Abu Bakar Ba'asyir, Achmad Michdan, menjelaskan kliennya tetap tidak mau menandatangani surat pengajuan grasi atau pembebasan bersyarat kepada Presiden.
"Kalau mengajukan, saya kira mungkin Abu Bakar Ba'asyir tak akan mau ... karena sejak awal meyakini 'dirinya tidak salah, dirinya sedang menjalankan ajaran syariat. Sehingga ia tidak pernah mengakui vonis yang dijatuhkan kepada dirinya," kata Michdan.
Selain soal grasi, sekarang berkembang pula wacana memindahkan Abu Bakar Ba'asyir dari Lapas Gunung Sindur, Bogor, menjadi tahanan rumah di Solo, Jawa Tengah.
Menurut Michdan Ba'asyir divonis penjara selama 15 tahun pada Juni 2011 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Saat itu dia dinyatakan terbukti merencanakan dan menggalang dana untuk pembiayaan pelatihan militer kelompok teroris yang mengadakan latihan bersenjata di Provinsi Aceh.
Selaku pengacara Ba'asyir belum tahu secara resmi opsi pembebasan kliennya tetsebut. Karena selama ini ustad Ba'syir maupun keluarganya tidak pernah mengajukan grasi kepada presiden maupun menandatangani pembebasan bersyarat.
Kalau menurut hitung hitungan Abu Bar Ba'asyir belum dapat bebas karena masa penahanannya belum tuntas. Hitungan kasar dari tahun vonisnya, Abu Bakar Ba'asyir baru bebas pada 2026, yang tentunya bisa lebih cepat bila mendapatkan remisi atau pengurangan masa hukuman.
Untuk pilihan bebas bersyarat pun Ba'asyir belum dipenuhi syarat-syaratnya. Padahal, berdasarkan aturan, syarat dua pertiga masa pidana sudah terpenuhi.
"Jika melalui mekanisme pembebasan bersyarat, menurut perhitungan dua pertiga masa pidananya pada 13 Desember 2018.
"Jika surat pernyataan dan jaminan tersebut dipenuhi, kemungkinan besar pembebasan bersyarat dapat diberikan kepada Ustad," kata Michdan, kepada ngopibaren.id, Sabtu 19 Januari 2019. (asm)