Tol Laut Ingkar Janji
Oleh: Oki Lukito
Sedikitnya lima perusahaan pelayaran tenggelam alias bangkrut selama ‘kapal’ Tol Laut berlayar sejak tahun 2015. Aturan baru Kementerian Perdagangan yang mengizinkan semua jenis komoditi selain sembako boleh diangkut kapal Tol Laut, mempercepat proses kebangkrutan industri pelayaran nasional. Alken, Mentari Line, Daya Kaltim, BJL dan SBI korban ketidak jelasan konsep Tol laut yang sejak dicanangkan mencuatkan kontroversi itu.
Pencanangan Tol Laut lima tahun lalu merupakan upaya membangun konektivitas, membuka jalur logistik dan diyakini program ini mampu menekan disparitas harga antarwilayah. Hal yang lebih penting melalui gagasan ini mencuatkan semangat mengembalikan marwah jati diri sebagai bangsa bahari.
Komitmen Presiden Joko Widodo dengan konsep Poros Maritim dan Tol Laut, semula menjadi ekspektasi besar bangsa ini. Bukan saja harapan dan solusi dari persoalan himpitan ekonomi nasional, lebih dari itu pengelolaan kekayaan laut menjadi leading sector pembangunan masa depan. Di periode ini lahir institusi baru yang menjadi pelaksana kelancaran program yaitu Kementrian Koordinator Kemaritiman.
Di tengah perjalanannya Tol Laut tidaklah mulus. Riak dan gelombang besar terkadang menerpa serta menghambat laju program yang sudah menggerus anggaran APBN sekitar Rp 50 triliun itu. Salah satu pemicunya koordinasi antardepartemen tidak seperti diharapkan. Ego sektoral instansi karena merasa mempunyai payung hukum sendiri tidak mampu diredam Menko Kemaritiman. Misalnya di pengawasan dan pengamanan teritorial laut, ditangani banyak institusi dan tumpang tindih kewenangan. Selain TNI-AL ada Indonesian Coast Guard (Bakamla), Satgas 115 (KKP), Polair, Indonesian Sea and Coast Guard (Kemenhub) dan Marine Costoms (Bea Cukai).
Memasuki tahun keenam Tol Laut bak kapal kandas karena konsepnya top down. Ibarat jauh layar dari tiangnya. Pemangku kepentingan kemaritiman justru tidak dilibatkan dalam pembahasan awal, misalnya asosiasi pengusaha pelayaran (INSA) dan armada kapal rakyat (Pelra).
Ini fatal, padahal keberadaan mereka sangat signifikan selaku pemain utama. Kemudian muncul deklarasi Dorolonda di Surabaya, Februari 2019 yang salah satu poin deklarasi adalah janji pemerintah melibatkan armada Pelra. Disesalkan janji itu tinggal janji. Dua ratus kapal rakyat hibah dari Kemenhub dipermasalahkan. Nama Pelra dicatut, padahal tidak satupun kapal kapal tersebut dihibahkan ke asosiasi Pelra.
Tol Laut yang semarak didengungkan pada awalnya, nyaris senyap setelah lima tahun pelaksanaan. Ironinya lagi tidak semua kapal baru beroperasi. Di sejumlah pelabuhan antara lain Dumai, Situbondo, Banyuwangi sejumlah kapal hibah Pelra tidak beroperasi. Di Pelabuhan Boom, Banyuwangi 8 unit kapal kayu 35 GT lebih dari setahun mangkrak di tepi dermaga tanpa kejelasan. Di Pelabuhan Jangkar, Situbondo, kapal Pelra sejak diserahkan dua tahun lalu belum pernah dioperasikan, Pemkab Situbondo tidak memiliki anggaran perawatan dan operasional kapal.
Timbul pertanyaan apa urgensinya membuat sekitar 40 kapal niaga baru, 166 kapal perintis tanpa menghitung cermat supply dan demand. Padahal armada pelayaran over stock, jumlahnya ribuan kapal berbagai jenis dan ukuran yang seharusnya diberdayakan.
Dampaknya usaha pelayaran terpuruk karena harus bersaing atau head to head dengan kapal Tol Laut yang tarifnya disubsidi. Biaya angkut kontainer Surabaya-Samarinda misalnya, banting harga hanya 500 ribu per kontainer, separuh tarif biasanya. Kondisinya semakin runyam ketika kapal Tol Laut juga masuk ke ranah trayek dan pelabuhan yang selama ini menjadi porsi kapal non Tol Laut antara lain Pelabuhan Makassar, Bitung, Palu, Biak.
Tinggal menunggu waktu. Jika tidak segera dibenahi ribuan ABK kapal niaga dan Pelra berujung PHK masal. Di dermaga Kalimas, Tanjung Perak Surabaya misalnya, 100 kapal akan menjadi bangkai pelabuhan dengan 7000 ABK menjadi tumbal proyek Tol Laut. Di pelabuhan Gresik kapal armada Pelra menumpuk menunggu muatan berbulan-bulan, bahkan ada kapal hanya membawa barang klontong terpaksa keluar dari pelabuhan Gresik karena tidak ingin terjebak mahalnya tarip sandar kapal.
Selain membangun ratusan kapal baru, Kemenhub menambah jumlah pelabuhan untuk melengkapi 76 pelabuhan yang disandari kapal Tol Laut walaupun tanpa jadwal pasti. Akan tetapi jumlah pelabuhan yang full capacity bisa dihitung jari.
Sebagai referensi, pelabuhan baru umumnya tidak memiliki akses jalan menuju pelabuhan yang memadai, cenderung sangat sempit. Demikian pula dermaganya hampir semua kosongan, artinya tidak mempunyai peralatan bongkar muat.
Hambatan muatan balik menjadi momok karena tidak adanya industri potensial di daerah akibat kurangnya penguatan dari pemerintah daerah pada industri skala kecil. Sumber Daya Alam (SDA) tidak dikembangkan secara maksimal khususnya SDA yang bisa dikapalkan melalui peti kemas. Selain itu juga belum tersedia tempat pengumpul hasil produksi unggulan di beberapa daerah sehingga menyebabkan sebagian besar armada Tol Laut bermuatan kosong ketika kembali ke Pelabuhan Pangkal.
Tol Laut umumnya belum efektif menjangkau hinterland. Pelayanannya belum sepenuhnya memasuki pulau kecil, terdepan, tertinggal serta wilayah yang daya belinya rendah. Demikian pula pembangunan pelabuhan singgah, belum dilengkapi fasilitas bongkar muat seperti di Tarempa, Enggano, Dobo, Rote, Mentawai. Kerap terjadi barang muatan datang terlambat atau tidak sesuai jadwal keberangkatan.
Sementara panjang dermaga di beberapa pelabuhan singgah lebih pendek dari panjang kapal, sehingga mengganggu bongkar muat. Di pelabuhan singgah waktu tunggu kapal lebih lama karena tingkat pasang surut tinggi. Demikian halnya load factor kapal di beberapa ruas hanya 10% seperti di ruas Enggano dan ruas Sebatik.
Melihat implementasi Tol laut setelah lima tahun berjalan, sewajarnya pemangku kepentingan dan masyarakat pada umumnya menagih janji apa manfaat Tol Laut? *
*Oki Lukito, Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim dan Perikanan. Pengurus KADIN Jatim Bidang Kemaritiman