Toegarisman, Jampidsus Penganut Hukum Hakiki
Pasti banyak yang terkecoh dengan namanya. Sebab ada penggal kata yang mengesankan ia seperti orang Batak. Padahal dia asli Madura. Darah Sumenep lahir di Bangkalan.
Itulah Jalsa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung Dr M. Adi Toegarisman SH, MH. "Saya pernah dimarahi Ibu karena tak menyebut Bangkalan sebagai tempat lahir," katanya di Gedung Bundar, Kejagung, Jakarta.
Pria kelahiran 28 Februari 1960 ini lantas menjelaskan tentang nama yang disematkan orang tuanya. Menurut kisah yang didengar, saat dalam kandungan, bapaknya sedang bertugas di perbatasan Palopo sebagai Brimob.
"Saat itu Bapak saya bertugas di garis depan. Selama bertugas aman. Makanya, nama itu mengandung arti bertugas di garis depan dan aman," katanya. Jadi tak ada kaitan dengan nama marga, apalagi Batak.
Meski berdarah Sumenep, pria lulusan Universitas Surabaya (Ubaya) ini mengaku bukan keturunan bangsawan. Walau daerah ujung timur pulau Madura itu dikenal sebagai keturunan raja-raja, ia menyebut dirinya dan keluarganya sebagai rakyat jelata.
Karirnya dimulai sejak tahun 1988. Merangkak dari calon pegawai negeri sipil di lingkungan kejaksaan. Tugas pertama di Kejaksaan Negeri Pontianak. Lantas sempat menjadi Kajati DKI Jakarta dan Jamintel sebelum diangkat sebagai Jampidsus sejak Nopember 2017.
Jabatannya sekarang sangat penting dalam menyelamatkan uang negara. Ia menjadi penegak hukum yang bertugas menangani kasus-kasus pidana khusus seperti korupsi, selain KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Amanah ini ada di pundaknya.
Karena itu, ia tak jarang harus pulang malam di luar jam kerja yang normal. "Ya kalau ada pekerjaan yang tak bisa ditunda harus dituntaskan sampai selesai. Rata-rata pulang kantor setelah Isya," kata salah satu pimpinan Kejagung yang suka kenakan pakaian putih ini.
Bapak dari dua putra ini punya pandangan menarik tentang peran penegak hukum. Menurutnya, tugas utama penegak hukum bukan hanya menangani masalah atau mengatasi persoalan dengan bersendikan keadilan.
Dia melihat penegak hukum sebagai tugas yang amat mulia. Peran yang sangat istimewa. Pertanggungjawabannya sangat berat. Tidak hanya di dunia, tapi sampai ke akhirat.
"Karena itu, kami para penegak hukum tidak boleh keliru dalam menjalankan tugas dan perannya. Dituntut untuk paripurna dalam menjalankan tugas," kata bapak dari dua putra ini.
Dituturkan, dalam karirnya ia mengaku pernah keliru menafsirkan fakta hukum. Namun, kekeliruan itu belum sampai pada tahap mencelakakan orang. Ia pun segera memperbaiki kekeliruan tersebut dan berusaha untuk tak terulang lagi.
Menurut putra dari pasangan almarhum Abdul Adziem dan ibu Hj Halimatus Sya'diyah ini, hukum harus dilihat oleh para penegak bukan hanya pada yang sudah ditulis. Tapi juga perlu dipahami filosofi, psikologi, dan marwah hukum tersebut.
Toegarisman menegaskan, penegak hukum bukan hanya tukang yang bergulat dengan pasal-pasal hukum. Mereka harus menjadi pemikir yang bisa menyelami dan menghayati nilai di balik pasal-pasal tersebut.
Ia lebih melihat hukum pada tataran yang hakiki. Nilai-nilai formal yang memiliki jiwa. Bukan sekadar prosedur dan proses dalam menjalankan aturan tanpa jiwa. Dalam kaitan ini, kasus hukum tidak hanya dilihat aspek pelanggaranya. Tapi juga peran hukum.
Yang juga menarik adalah pendapat Toegarisman tentang hukum dan kepentingan. Menurutnya, hukum yang berjalan dengan benar akan melindungi kepentingan. Bukan kepentingan mengendalikan hukum.
Dalam pemikiran hukum, pejabat Kejagung ini telah menulis dua buku. Judulnya Pemberantasan Korupsi dalam Paradigma Efesiensi dan Pemberantasan Korupsi dalam Proyek Strategis Nasional. Kedua bukunya diterbitkan Kompas. (Arif Afandi)