TOA Masjid New Normal
Jelang Salat Jum'at, TOA masjid di kawasan Kutisari Surabaya mengumumkanĀ protokol kesehatan bagi calon jamaah. Tidak hanya sekali. Berkali-kali.
"Bagi yang ke masjid untuk salat Jum'at, wajib mengenakan masker. Membawa sajadah sendiri dari rumah. Yang sakit batuk dan pilek dilarang ke masjid," katanya.
Juga diumumkan melalui pengeras suara jika masih diberlakukan phisycal distancing di dalam masjid. Jagar jarak antar jamaah. Tidak merapatkan barisan seperti biasanya.
Saya tidak tahu berapa masjid di Surabaya yang telah melakukan seperti itu. Yang menggunakan TOA-nya untuk sosialisasi protokol Covid-19. Di Surabaya ada 1.500 masjid lebih. Yang dipakai salat Jum'at.
Toh masih ada juga masjid yang cuek dengan pagebluk Corona ini. Yang tetap menyelenggarakan salat berjamaah seperti biasanya. Baik di hari-hari biasa maupun hari Jum'at.
Mereka menganggap pandemi Covid ini bukan suatu yang genting. Yang harus mengganti kebiasaan jamaahnya. Yang mengharuskan ke masjid pakai masker, bawa sajadah sendiri, jaga jarak, dan cuci tangan pakai sabun.
Mereka yang takmir dan jamaahnya menganggap mati di tangan Tuhan. Masak ibadah dikalahkan dengan makhluk lain yang disebut virus Corona. Yang tidak kelihatan kasat mata.
Tapi takmir yang punya pendapat demikian tidak banyak. Masih lebih besar yang mengikitu anjuran pemerintah. Menerapkan protokol pencegahan Covid-19 secara ketat. Bahkan ada yang sejak awal meniadakan salat jamaah.
Masjid Al-Falah yang dulu menjadi penanda masuk kota Surabaya. Sebelum dibangun Masjid Al Akbar. Yang baru Jum'at kemarin mengadakan kembalo salat Jum'at setelah lama prei karena PSBB.
Sebetulnya, masjid dan tempat ibadah lainnya bisa menjadi instrumen sosialisasi pencegahan Covid-19. Apalagi masjid yang memiliki TOA terpampang di menaranya.
Sebelum pelaksanaan PSBB Surabaya Raya, saya sempat minta tolong kawan di Suara Surabaya. Iman Dwihartanto, namanya. Merekam narasi sosialisasi protokol pencegahan Covid-19. Yang bisa diputar setiap saat melalui TOA di masjid.
Tadinya saya berharap hasil rekaman tersebut bisa disebarkan pemerintah. Karena pemerintahlah yang mempunyai otoritas setengah memaksa ke semua lembaga di masyarakat. Termasuk para takmir masjid.
Saya sebagai Ketua DMI Surabaya telah berusaha mengusulkan. Tapi ternyata tak bisa direalisasikan. Juga telah mencoba mensosialisasikan ke para takmir. Tapi mereka enggan karena khawatir diprotes jamaah tanpa legalitas dari pemerintah.
Akhirnya hasil rekaman itu mangkrak. Tak termanfaatkan. Sampai kini ribuan kasus positif Covid-19 memapar warga Surabaya. Banyak juga yang meninggal karenanya.
Tapi cara itu masih bisa dilakukan. Saat Surabaya memasuki masa transisi menuju new normal. Yang mestinya belum saatnya dilakukan. Karena grafik warga yang terpapar virus ini masih terus menuju puncak. Belum melandai. Masih menjadi Ona merah. Belum hijau seperti tanaman di jalananya.
Meminta para takmir untuk menggunakan TOA-nya mengimbau warga mengikuti protokol Covid-19. Pakai masker, jaga jarak, sering cuxi tangan pakai sabun. Pola hidup bersih agar tak terpapar virus yang telah melanda dunia.
Manajamen masjid juga mulai menyediakan berbagai fasilitas tambahan. Selain tetap menggelar salat berjamaah dengan prinsip phisycal distancing, pakai masker dan bawa sajadah sendiri, juga menyediakan tempat cuci tangan pakai sabun.
Fasilitas itu tidak menyatu dengan tempat wudhu. Sebab fungsinya berbeda. Cuci tangan pakai sabun untuk membunuh virus yang mungkin menempel di tangan. Sedang tempat wudhu berfungsi untuk bersuci dari hadas.
Kalau bisa, tidak menerima jamaah dari luar. Yang tidak diketahui dari mana mereka, telah bertemu siapa sebelumnya, yang tidak bisa diteksi terpapar atau tidak. Masjid khusus digunakan warga setempat. Apalagi warga yang terkonteol dari kemungkinan terpapar virus.
Eh hampir lupa. Yang penting juga perlu membangun kebiasaan baru dalam mengumpulkan infaq dan sedekah. Pada masa pandemi ini, alangkah baiknya tak mengedarkan kota amal. Cukup mengimbau jamaah untuk mengisi kota besar yang disediakan.
Mengapa tak mengedarkan kota amal? Karena, virus Corona punya kemungkinan menempel di benda mati. Kotak yang dipenggang banyak orang memungkinkan menjadi media penularan. Menempel di tangan dan masuk ke tubuh melalui bibir, hidung dan mata.
Ada banyak yang bisa dilakukan melalui masjid untuk mensosialisasikan pencegahan pandemi Covid. Sayang belum banyak gugus tugas yang memanfaatkannya. Kecuali inisiatif pengurus masjid masing-masing.
Sayang ya?!
Advertisement