Titik Nadir Budaya Bahari
Oleh: Oki Lukito
Imbas regulasi penangkapan ikan terukur dan sistim kontrak implementasi dari Undang Undang Cipta Kerja, diyakini akan memengaruhi sub sektor perikanan lainnya. Selain penghasilan nelayan akan turun drastis karena berbagai macam pungutan berkedok Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP), buruh angkut ikan di pelabuhan, pedagang ikan, pekerja penyedia kebutuhan pokok untuk bekal melaut termasuk pengadaan es balok, 32.700 kelompok pemindang tradisional (KKP 2017) yang bahan bakunya mengandalkan hasil tangkapan ikan nelayan akan merasakan dampaknya.
Komunitas nelayan bukan satu-satunya yang menderita dihempas gelombang regulasi dalam kurun waktu10 tahun terakhir ini. Soal kesulitan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi dan penurunan pendapatan, minimnya akses bantuan juga dialami oleh pelaku sekaligus pewaris budaya bahari lainnya yaitu anak buah kapal (ABK) pelayaran rakyat (Pelra). Sejak diberlakukan aturan soal titik serah BBM, kapal Pelra sulit mendapatkan solar bersubsidi untuk memenuhi kebutuhan passompe (berlayar).
Armada tramper itu juga kesulitan mendapatkan muatan barang dan membutuhkan waktu sekitar 15 hari untuk tambat labuh di pelabuhan, antri mengisi muatan kapal yang biasanya hanya 5-7 hari itu. Di sisi lain sampai saat ini Galangan Kapal (Galkap) khusus kapal kayu masih belum ada di pelabuhan milik pemerintah. Sedangkan di Galkap umum selain taripnya mahal, kapal Pelra harus inden minimal tiga bulan untuk perbaikan ‘cuci pantat’ dan kapal tidak akan diberikan Surat Ijin Berlayar (SIB) jika tidak melakukan ketentuan docking tahunan itu. Demikian pula janji pemerintah melibatkan Pelra dalam program tol laut boleh dikata ‘lip service’ semata. Ibarat meneteskan madu di ujung hidung.
Membengkaknya biaya tambat labuh otomatis mengurangi penghasilan ABK yang hanya mendapat 1/3 bagian dari hasil usaha bersih bagai hasil jasa angkut muatan kapal. Belum lagi permasalahan buku pelaut yang amburadul, kesulitan mendapat Surat Ijin Berlayar (SIB) serta fasilitas pelabuhan yang dianggap diskriminatif. Misal kapal Pelra tidak dijinkan sandar penuh di dermaga tetapi diharuskan sandar sirip sehingga menyulitkan bongkar muat barang.
Seperti yang terjadi di pelabuhan Gresik, salah satu sentra kapal Pelra terbesar di Pulau Jawa. Di kolam labuh yang sempit itu dijejali hampir 200 kapal, mereka harus mendahulukan aktivitas kapal tongkang yang membongkar kayu gelondogan (log). Demikian pula hal serupa terjadi di pelabuhan lainnya seperti di Poutere Makassar, Bima, NTB, Tenau Kupang, Bagedang Sampit, Flores, Tual dan di pelabuhan lainnya kapal kayu tradisional khusus angkutan barang itu harus menyingkir jika ada kapal Pelni atau kapal kargo, kapal penyeberangan antar pulau sedang beraktivitas di dermaga. Pendangkalan alur juga menjadi momok bagi kapal Pelra seperti di pelabuhan Kalimas, Surabaya, pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta.
Kearifan Lokal
Lambat laun dan dapat dipastikan, anak cucu kita dan generasi penerus di ranah bahari ini tidak akan melihat lagi perahu nelayan atau kapal rakyat tradisional yang memiliki kearifan lokal berbeda di setiap daerah, serta merupakan kekayaan budaya dan teknologi yang sangat tinggi nilainya itu. Kelak perahu/kapal nelayan seperti Golekan, Glati, Pandik, Sro-ol, Etek khas Jawa timur, Mayang, Sigelantong dari Jawa Tengah atau kapal model kolek, dorit, dan konting asal Jawa Barat akan tinggal cerita.
Nasib suram menghantui pula ribuan ABK niaga/dagang tradisional seperti Bago, Lambo, Nade , Lete. Kapal Bago digunakan orang Mandar (Sulawesi Barat) sebagai alat tansportasi dan dagang, Lambo di kepulauan Selayar sekitarnya eks kerajaan Goa seputar Sulawesi Tenggara, Bima (NTB) atau Kapal Nade digunakan pelaut di kepulauan Riau serta Kapal Lete yang banyak terdapat di Madura. Masih banyak protype kapal lainnya yang multi fungsi serta mampu berlayar jarak jauh seperti phinisi yang seharusnya dilestarikan keberadaanya. Sebagai catatan Nade, Lambo, Bago, Lete memiliki sompe (layar) tunggal hanya Pinisi yang merupakan kapal penjelajah berlayar tujuh.
Seperti halnya nelayan beserta armada kapalnya yang semakin menurun jumlahnya, dialami pula kapal Pelra. Lima tahun lalu masih beroperasi sekitar tiga ribu kapal, jumlahnya terus menyusut tercatat 1.350 unit kapal pada tahun 2018 (DPP. Pelra). Data BPH Migas tahun 2021 hanya 800 kapal yang aktif untuk mendapatkan solar bersubsidi. Penyusutan jumlah kapal itu diikuti pula jumlah ABK.
Selain untuk menekan biaya produksi dan mensiasati pendapatan, umumnya pengusaha kapal Pelra mengurangi jumlah ABK dari 13-17 orang menjadi 7 orang per kapal. Tiga ABK di dek bawah, tiga lainnya di dek atas serta 1 orang Nakhoda. Armada semut yang merupakan bagian dari budaya bahari tersebut berada di titik nadir, sementara Perpres no 74 Tahun 2021 tentang Pemberdayaan Angkutan Laut Pelayaran Rakyat belum menunjukkan keberpihakannya.
Mengutip Perpres 16 tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia (Ocean Policy) yang salah satu pilarnya melestarikan Budaya Bahari, antara lain bertujuan memberi pemahaman yang menyeluruh terhadap wawasan bahari di seluruh lapisan masyarakat. Sejujurnya hal ini elok di tataran konsep.
Fakta yang terjadi pemerintah tidak melakukan harmonisasi dan pengembangan unsur kearifan lokal ke dalam sistem pengelolaan dan pemanfataan sumber daya kelautan yang lestari sebagaimana direncanakan. Diktum lainnya Ocean Policy, berupa janji meningkatkan pendidikan dan penyadaran masyarakat tentang kelautan yang diwujudkan melalui semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan implementasinya jalan di tempat.
*Oki Lukito, Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim, Perikanan, Dewan Pakar PWI Jatim