Titik Balik Si 'Bayu Mandiri'
Deadline yang molor, pengerjaan yang tak teliti, atau hasil cetakan yang sering kali di luar harapan. Hal-hal itulah yang identik dengan bisnis percetakan. Namun, semua hal yang bisa membuat anda kecewa itu tak akan terjadi bila anda bertemu Iwan Dhamar, seorang pebisnis percetakan bernama Bayu Mandiri.
Bayu Mandiri berkembang menjadi salah satu percetakaan tersukses di Surabaya. Modalnya bukan uang, tapi kualitas dan komitmen kepada pelanggan.
Usaha ini bermula ketika Iwan nekat mengundurkan diri dari perusahaan tempatnya bekerja. Adalah gaji yang jadi alasan Iwan angkat kaki. Pada tahun 2001, ia memberanikan diri mencari rejeki dengan memulai usaha, demi memberi penghidupan layak pada istri dan dua anaknya.
“Pertama cuma jadi broker, karena belum punya mesin cetak. Jadi modalnya benar-benar nyaris nol,” kata dia. Saat itu, semua order di lakoninya, mulai dari nota, kartu nama, dan buku. Ia tak pernah pilih-pilih. Hal itu terus ditelateninya selama setahun.
Barulah pada tahun 2002, Iwan akhirnya menemukan titik balik. Ia mendapatakan pinjaman modal dari Semen Indonesia sebesar Rp 50 juta. Uang itu kemudian digunakannya untuk membeli mesin cetak, dengan merek Hamada. “Itu yang paling murah, itu juga barang second,” kenangnya.
Lalu, mesin cetak kedua dibelinya tiga tahun kemudian, setelah Iwan memperoleh pinjaman dengan nilai sama dari Semen Indonesia. Bayu Mandiri terus tumbuh seiring kian banyaknya jumlah pelanggan.
“Tahun 2003 pernah dapat order dari Kupang senilai Rp 900 juta,” katanya. Bagi Iwan, itu nilai yang besar. Dari keuntungannya akhirnya ia bisa melunasi cicilan rumah.
Kenekatan Iwan ternyata belum hilang, sertifikat rumah yang telah lunas itu lantas dia agunkan ke bank, guna mencairkan kredit Rp 150 juta. Dana itulah yang dipakai untuk uang muka pembelian mesin cetak merek Heidelberg.
Soal order garapan, Bayu Mandiri pantang menolak. Sekecil apa pun, misalnya kartu nama senilai Rp 300 ribu, tetap dilayani. Toh bukan berarti Bayu Mandiri tidak pernah mengerjakan cetakan bernilai besar.
Contohnya, jelang Pilkada Surabaya 2015 lalu, percetakan yang beralamat di Jalan Prambanan 9, Surabaya, ini dapat order mencetak alat peraga kampanye senilai Rp 400 juta.
Enam belas tahun berkibar, Bayu Mandiri memiliki belasan pelanggan setia dari berbagai daerah. Mulai Surabaya, Gresik, Kalimantan, Sulawesi, Papua, hingga Timor Leste. Cukup aneh, karena Iwan mengaku tidak pernah memasang iklan di media massa.
Promosi ‘resmi’ hanya dilakukan via Yellow Pages, itu pun fokus di kawasan timur Indonesia. “Karena teman-teman percetakan di Indonesia timur itu biasanya lari ke Surabaya kalau tidak bisa mengerjakan order besar atau yang cetakannya rumit. Itu yang saya tangkap,” beber lulusan STM Grafika Jakarta ini.
Dari Timor Leste, Iwan menerima garapan mencetak buku-buku pelajaran sekolah. Karena kualitasnya terjaga dan tidak pernah telat, klien Bayu Mandiri pun terus bertambah. “Satu merasa puas, akhirnya mereferensikan ke temannya yang lain. Begitu seterusnya, jadi lebih banyak dari mulut ke mulut,” aku dia.
Kini, dengan karyawan hampir 40 orang, tiap bulan Bayu Mandiri mencatat omzet Rp 300 juta. Menurut Iwan itu angka minimal, karena hanya impas untuk menutup gaji karyawan dan biaya operasional.
Sementara aset usaha sudah menggelembung berlipat-lipat dalam wujud tiga mesin cetak. Yakni dua merek Komori dan Sakurai (Jepang), serta satu lagi merek Heidelberg (Jerman). Belum lagi juga tanah seluas 1.500 meter persegi yang akan dijadikan kantor baru. “Tiga mesin cetak itu kira-kira senilai Rp 2 miliar,” sebut Iwan.
Itu belum termasuk unit bisnis CTP (computer to plate) di Jl Panglima Sudirman, Surabaya, serta cabang Bayu Mandiri di Malang yang juga berkembang pesat.
Iwan mengakui, sukses usaha yang ditekuninya tak lepas dari sokongan Semen Indonesia. “Saya yakin, kalau dulu tidak punya mesin perkembangannya tidak akan secepat ini,” pungkasnya. (frd)
Advertisement