Titik Balik Demokrasi
Oleh: Fathorrahman Fadli
Direktur Eksekutif Indonesia Development Research (IDR)
PADA Selasa, tepat pukul 23.22 selesailah sudah saya menyimak talkshow Rosiana Silalahi dengan Goenawan Mohamad. Ini talkshow yang sangat istimewa. Sebab selama saya aktif belasan tahun sebagai jurnalis dan dosen sebuah perguruan tinggi, belum pernah saya melihat Goenawan Mohamad diwawancarai tentang sesuatu. Saya hanya rutin membaca Catatan Pinggir-nya sejak Mahasiswa.
Bahkan ketika majalah Tempo dibredel, saya sempat menjadi peserta diskusi terbatas di kampus IKIP Rawamangun dimana Goenawan dan Marsillam Simanjuntak menjadi narasumbernya. Terakhir saya menonton Goenawan memoderatori Dawam Rahardjo pada suatu seminar penting di Universitas Paramadina belasan tahun silam. Saya menangkap kesan, Goenawan orang yang cerdas meski terlihat dingin. Ia berkata untuk sesuatu yang mungkin hanya dia yang tahu. Dalam seminar dengan Dawam Rahardjo itu, sebagai moderator Goenawan sempat berkomentar pendek, "Mas Dawam ini kalau bicara selalu ada yang baru, meskipun kadang tidak menarik," cetusnya dengan nada dingin.
Nah, dalam wawancara langka itu, saya menangkap penuh kesedihan GM atas fenomena Titik Balik Demokrasi yang justru lahir dari tangan orang yang dahulu dikaguminya; Joko Widodo. GM tergolong pendukung bahkan pencinta Jokowi. Lalu GM meningkatkan kekagumannya itu menjadi dukungan politik untuk Jokowi. Ia menilai Jokowi adalah orang yang berjibaku dari bawah, menjadi tukang mebel, pengusaha mebel, Walikota Solo dua periode (tidak tuntas), satu periode Gubernur (tidak tuntas), lalu menjadi Presiden RI selama dua periode (belum tuntas). Namun sebelum tuntas Jokowi merancang aneka drama yang memungkinkan dirinya tetap bertahta pada singgasana Istana yang melenakannya itu.
Jokowi lalu membuat berbagai strategi politik aneka rupa; mendesak Gibran jadi Walikota Solo, memasang anak menantunya jadi walikota Medan, merancang gerakan tiga periode, perpanjangan masa jabatan, cawe-cawe politik, hingga terakhir memasang anaknya menjadi calon wakil presiden untuk Prabowo, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), hingga drama politik pada Mahkamah Konstitusi (MK).
Kecewa dan Sedih GM
Dalam wawancara itu, GM merasa kecewa. Ia sangat terpukul dan merasa dikhianati. Ia ibarat seorang pemuda yang sedang belajar bercinta dengan gadis pujaan hatinya. Ia menaruh harapan dengan penuh kesejatian. Sebagaimana orang yang sedang diliputi demam asmara, ia tumpahkan rasa cintanya pada gadis pujaannya itu. Ia tutupi segala kekurangan yang terjadi. Padahal pada detik yang sama, secara perlahan namun pasti, gadis pujaannya itu telah berkali-kali berlhiatan pada harapannya sendiri.
Jokowi sejatinya telah berkali-kali berkhianat pada harapan yang diimpikan Gunawan. Saya tidak tahu pasti apakah dia sebagai jurnalis senior dan budayawan terkemuka tidak tahu pengkhianatan apa saja yang dilakukan Jokowi pada harapannya itu. Atau ia memang tidak mau tahu karena sudah terlanjur dimabuk cinta pada harapannya.
Dia hanya tahu Jokowi adalah jenis pemimpin yang terbaik sepanjang sejarah negeri ini. Dia juga lupa bahwa Jokowi sebagai kepala negara tak pernah mengucapkan rasa duka atas meninggalnya 890an rakyat Indonesia yang menjadi petugas KPPS yang tewas mengenaskan saat Jokowi berlaga dalam Pilpres periode kedua.
Jokowi juga tak mau memperingat pidato keprihatinan sebagai kepala negara akan tewasnya enam anak muda santri yang potensial menjadi pelanjut ulama. Mereka tewas saat mengawal Habib Rizieq Syihab yang kemudian dikenang sebagai peristiwa mengenaskan KM-50. Gunawan juga lupa berbagai aksi penangkapan ulama yang sedang berdakwah, atas tudingan yang tidak jelas dasarnya.Hingga kini masih banyak ustad dan para pendakwah yang mendekam dalam penjara.
Sebagai sang pencinta, Goenawan juga lupa bahwa rezim Jokowi juga pernah melakukan sejumlah aksi memecah belah partai Golkar, Partai Hanura, PPP, PKS, dan PAN yang kemudian menjadi dua.
Goenawan juga menutup mata akan sadisnya rezim Jokowi menyeret aparat kepolisian untuk memasuki pos-pos instalasi penting negara. Mulai Kementerian Dalam Negeri, Bulog, Imigrasi, Bea Cukai, Badan Intelijen Negara, Densus 88, BNPT, dan organisasi negara lainnya.
Melemahkan KPK
Jokowi sebagai harapan bagi Gunawan sebagai orang baik juga menyeret polisi untuk berpolitik. Jokowi juga berhasil melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan memasukkan polisi menjadi ketua yang kini bermasalah secara hukum. Jokowi juga mengontrol dan mengendalikan para ketua partai yang terlibat korupsi.
Cilakanya para Ketua Umum Partai politik itu menjadi tak berdaya, karena suatu saat, ketika ia berani melawan, maka KPK siap mencokot mereka masuk dalam penjara. Untuk mengendalikan perundang-undangan Jokowi mengendalikan ketua ketua partai agar menertibkan para kadernya di parlemen agar tetap selaras dengan kemauan dan ambisi politiknya. Jika tidak, maka sang ketua umum akan bernasib malang, apalagi yang sudah jelas-jelas tersandung masalah hukum.
Tidak jelas benar, apakah strategi politik yang dimainkan Jokowi itu murni kecerdasan dia sendiri atau atas nasihat panglima perangnya yakni Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Ataukah hasil kombinasi yang baik diantara keduanya. Faktanya, nampak jelas relasi politik Jokowi dan Luhut sebagai dua sekawan yang saling menguntungkan. Jokowi nampak seperti seorang presiden, sedang Luhut sebagai perdana menterinya.
Pertanyaannya, apakah Goenawan tidak mampu melihat hal-hal besar dan kasat mata itu sebagai keganjilan politik?
Advertisement