Tips, 3 Hal yang Harus Dilakukan pada Korban Kekerasan Seksual
Luka atau trauma yang timbul akibat kejahatan seksual pada korban, tak dapat diremehkan begitu saja. Menurut, Dosen Fakultas Psikologi (FPSi) Universitas Airlangga (Unair) Margaretha Rehulina, korban kekerasan seksual harus segera mendapatkan bantuan konseling oleh profesional.
"Bisa melalui psikolog atau psikiater, jika dibutuhkan. Tujuannya adalah membuat korban menjadi kuat dan melanjutkan hidupnya kembali," ungkapnya.
Meski demikian, Retha biasa ia disapa juga mengingatkan, pentingnya dukungan keluarga dan masyarakat untuk membantu korban melanjutkan hidupnya. Retha mengungkapkan, tiga hal yang bisa dilakukan keluarga dan lingkungan untuk korban kejahatan seksual.
Mempercayai Korban
Berbicara mengenai kesehatan mental korban kejahatan seksual, fakta yang terjadi cukup miris ialah orang terdekat sering kali tidak percaya pada cerita korban. “Jika masih terlalu kecil, dianggap ah anak-anak membuat fantasi mungkin. Atau ketika dia sudah besar dianggap berbohong," kata Retha.
Hal seperti ini, menurut Retha, justru menumpulkan keinginan korban untuk mencari bantuan. Pada akhirnya korban enggan bercerita dan semakin terpuruk.
Beri Waktu Ekspresikan Emosi
'Lanjut Retha, setelah mempercayai korban, keluarga dan lingkungannya harus
memberikan kesempatan bagi korban untuk mengekspresikan emosinya. Perlu dipahami berbagai emosi dapat muncul secara alamiah ketika tubuh kita dijarah oleh seseorang.
"Bisa merasa marah, sedih, menangis, malu, bisa juga diam. Itu terjadi baik pada orang dewasa, anak kecil, pun pada laki-laki. Nah ini jangan dipaksa untuk dikendalikan emosinya. Saya pernah lihat ada orang menangis dibilang jangan menangis kamu harus kuat. Atau sudah, bangkit, jangan ingat masa lalu,” terangnya.
Retha menyampaikan, kondisi itu berbeda pada setiap orang. Ada beberapa orang yang butuh waktu lebih lama untuk memproses emosinya. Untuk itu, setidaknya orang terdekat membantu dengan mendengarkan atau memberikan akses kepada konseling profesional.
“Kita perlu menyediakan kesempatan bagi korban untuk mengekspresikan, memahami, dan mengelola emosinya hingga suatu saat dia yang mengendalikan sendiri emosinya,” tekan Retha.
Tidak Perlu Mengungkit Cerita
Selain dua hal di atas, Retha juga mengingatkan, agar keluarga tidak terus menerus mendesak korban untuk mengulang cerita tentang lukanya. Yang sering terjadi di Indonesia, ujarnya, orang-orang terlalu banyak menggali informasi yang tidak dibutuhkan.
Bila ingin membantu korban kejahatan seksual tidak perlu bergunjing, tidak perlu mengetahui detail, karena tidak perlu semua orang tahu informasi ini. "Justru keluarga harus menjaga kerahasiaan tidak perlu informasi ini dibongkar untuk semua tanpa tujuan,” katanya.
Alih-alih untuk menggali informasi, lebih baik memberikan dukungan. Misalkan memfasilitasi minat dan potensi korban untuk melanjutkan hidupnya. Tanpa harus menggali detail traumanya apalagi mempergunjingkan.
Advertisement