Tingginya Angka Gugat Cerai WNI di Hong Kong, Ini Alasannya
Jakarta: Hasil penelitian yang dilakukan Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia terhadap pasangan perkawinan Warga Negara Indonesia (WNI) yang melakukan gugat cerai di Hong Kong cukup banya. Dari tahun ke tahun, angkanya terus naik.
Berdasarkan dokumen dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong, menyebutkan, pengajuan gugat cerai pada 2014 sejumlah 2.971 orang; pada 2015 pengajuan gugat cerai tercatat 3.280 orang, pada 2016 pengajuan gugat cerai sebanyak 3.579 orang, sementara baru pada Januari-Mei 2017 pengajuan gugat cerai sejumlah 1.387 orang.
Dalam siaran pers diterima ngopibareng.id, Senin (13/11/2017), ia memaparkan sejumlah kemungkinan penyebab meningkatnya jumlah gugat cerai.
Pertama, kemungkinan bagi WNI hidupnya merasa nyaman di negara orang (Hong Kong), sementara suami yang tinggal di Indonesia hanya menunggu kiriman dari istri yang bekerja di Hong Kong karena tidak memiliki pekerjaan atau tidak mau bekerja.
Kedua, dimungkinkan karena tidak mengerti arti penting dari suatu pernikahan. Ketiga, kepergian seorang istri menjadi TKI sudah membawa permasalahan dalam rumah tangga.
“Sehingga setelah di Hong Kong merasa hidupnya lebih baik mereka berani menggugat cerai suaminya,” ujar Mukhtar, yang sebelumnya tampil pada Seminar Hasil Penelitian Pencataan Perkawinan WNI di Luar Negeri di Hotel Aryaduta, Jakarta, Jumat (3/11/2017).
Kementerian Agama sendiri pada 2016 melalui KJRI telah melakukan sosialisasi di aula KJRI tentang pentingnya pencatatatan perkawinan dan pentingnya membina keluarga yang sejahtera terhadap 80 buruh migran.
Namun demikian, pembinaan agama dan sosialisasi dari pemerintah yang berkaitan dengan perkawinan terhadap tenaga kerja Indonesia yang berada di Hong Kong belum maksimal diisebabkan minimnya anggaran yang tersedia.
“Dan ketika TKI di penampungan, tenaga kerja kurang pembinaan,” ujarnya.
Penelitian sendiri dilakukan Mukhtar dan Selamet pada 24 April sampai 3 Mei 2017. Selain di Hong Kong, Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik juga melakukan penelitian di Belanda, Malaysia, dan Arab Saudi. (adi)