Tinggi, Pelajar Probolinggo Terpapar Fundamentalisme
Sikap fundamentalisme di kalangan pelajar SMA/SMK dan yang sederajat di Kota Probolinggo tergolong sangat tinggi. Hal itu terlihat tertungkap dalam seminar hasil penelitian Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Probolinggo di Bale Hinggil, Probolinggo, Rabu, 18 Desember 2019.
“Sikap fundamentalisme tinggi itu indikatornya seperti, Alquran tidak boleh ditafsir ulang, pemerintah harus berlandaskan syariat Islam, dan indikator toleran,” kata Ketua Komisi Penelitian dan Pengkajian MUI Kota Probolinggo, Ilyas Rolis.
Ilyas yang juga dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (Uinsa), Surabaya dalam seminar itu didampingi pembanding, KH Dr Achmad Murtafi Haris, juga dosen Uinsa. Seminar dihadiri pengurus MUI, guru, dan ormas Islam di Kota Probolinggo.
“Asbabun nuzul, kami menggelar penelitian soal fundamentalisme terkait banyak terduga terorisme yang ditangkap di Kota Probolinggo pada 2018 silam,” kata Ketua Umu MUI setempat, KH Nizar Irsyad. Polres Probolinggo Kota pernah merilis, sebanyak 14 terduga teroris ditangkap di Probolinggo, akhir 2018 lalu.
Melalui penelitian kualitatif dengan 100 responden siswa SMA/SMK dan yang sederajat di kalangan aktivis rohani Islam (Rohis), Ilyas membeberkan betapa tinggi pelajar yang terpapar fundamentalisme. Sisi lain sikap religiusitas dan multikulturalisme di kalangan pelajar yang diteliti justru sangat tinggi.
“Kami merujuk pada Thomas Meyer, yang mengartikan fundamentalis dalam agama sebagai suatu gerakan ketertutupan diri, gampang menyalahkan pihak lain, merasa pikirannya benar sendiri,” kata Ilyas.
Sikap fundamentalisme dengan indikator “Alquran dan Assunah merupakan satu-satunya sumber” menunjukkan yang bersikap fundamentalisme sangat tinggi sebanyak 11 orang atau 11 persen , tinggi 85 persen , dan sedang 4 persen .
“Dengan indikator ‘Pemerintah harus berlandaskan syariat Islam’, sikap 100 responden adalah fundamentalisme sangat tinggi 24 persen , tinggi 36 persen , sedang 32 persen , rendah 7 persen , dan sangat rendah 1 persen ,” kata Ilyas.
Sementara dengan indikator “intoleran” dengan kuesioner “Islam tidak mengenal perbedaan, Islam harus satu, satu pemikiran, dan pemahaman dan penafsiran”, sikap para pelajar (responden) menunjukkan fundamentalisme sangat tinggi 7 persen , tinggi 82 persen dan sedang 11 persen .
Muncul anomali ketika 100 responden ditanya soal sikap religiusitas seperti, doktrin (akidah) sangat tinggi 7 persen, tinggi 82 persen , dan sedang 11 persen . Masih soal religiusitas, terkait ibadah mereka menunjukkan presentase, sangat tinggi 32 persen , tinggi 60 persen , dan sedang 8 persen .
Penelitian menyangut sikap multikultaralisme dengan indikator “sikap toleran”, kata Ilyas, menunjukkan, sangat tinggi 5 persen , tinggi 82 persen , dan sedang 11 persen . Masih soal multikulturalisme dengan indikator kenaekaragaman menunjukkan, sangat tinggi 18 persen , tinggi 79 persen , dan sedang 3 persen .
Soal anomali hasil penelitian yang menunjukkan para siswa terpapar fundamentalisme tinggi tetapi sisi lain juga sikap religiusitas dan multikulturalisme tinggi dikomentari KH Dr Achmad.
“Anamoli ini bisa disederhanakan, sikap fundamentalisme nilainya kurang sementara multikulturalisme dan religiusitas nilainya baik. Hal ini bisa saja pertanyaan kuisioner belum sepenuhnya dipahami siswa SMA. Mereka hanya bisa berpikir tunggal, tidak bisa berpikir bercabang,” kata Pengasuh Pesantren Kembang Kuning, Surabaya itu.
Alumnus Pesantren Modern Gontor itu menambahkan, tidak hanya siswa SMA, sebagian kaum muslimin terkadadang masih berpikir tunggal. “Mereka berpikir, cukup berpedoman apa yang ada di Alquran dan Assunah saja, tanpa mempertimbangkan realitas,” kata alumnus S-1 Universitas Al Azhar, Mesir itu.
Agar para siswa SMA tidak bersikap fundamentalisme maka guru-guru sebaiknya menerangkan peran ulama dalam proses berdirinya negara bangsa ini (NKRI). “Negara bangsa ini berdiri karena peran ulama, hasil ijtihad ulama. Ulama representasi Islam,” kata alumnus S-2 IAIN Sunan Ampel Surabaya itu.
Alumnus S-3 UGM Jogjakarta itu mengingatkan, umat Islam jangan mau dibenturkan antara nasionalisme dan agama. “Ingat negeri Madinah dikelola secara realistis-empiris. Ada tataran agama secara tauqifi, dan realistis, ijtihadi dalam bernegara,” kata Pengasuh Pesantren Kembang Kuning, Surabaya itu.
Advertisement