Saat Kejayaan Penjual Koran Eceran Tergerus Media Online
Masa kejayaan penjual koran eceran di pinggir jalan sekarang tinggal kenangan.
Tidak ada lagi cerita menjadi sarjana dengan biaya dari hasil menjual koran. Tidak ada lagi penjual koran memperoleh penghargaan karena omset penjualannya bagus.
Masa kejayaan itu, tergerus oleh maraknya media elektronik, media online dan media sosial yang mampu menginformasikan kejadian di penjuru dunia dalam hitungan detik. Berbeda dengan media cetak yang harus menunggu sampai waktu terbit.
Pengamatan Ngopibareng.id di beberapa kota besar, Jakarta, Bandung dan Surabaya, tak jauh berbeda, penjual koran yang biasa terlihat di lampu merah, sekarang sulit ditemui. Kalau masih ada yang bertahan sebagai penjual koran eceran, itu pun dengan dalih terpaksa.
"Penjual koran di perempatan lampu merah Jl Kertajaya, Mak Atik (59) menuturkan, jual koran sekarang tidak sepeti dulu. Sebelum ada internet, hasil jualan koran bisa untuk menyekolahkan anak," ujarnya.
Sekitar 15-an tahun lalu, Mak Atik setiap harinya bisa menjual koran sekitar 150 eksemplar seperti Jawa Pos dan Kompas. Waktu itu ia juga mempunyai pelanggan tetap. "Sekarang boro-boro, bawa 25 lembar saja tidak habis," kata Mak Atik.
"Dulu kalau ada berita kejadian yang seru, korannya pasti laris manis seperti pisang goreng, sampai kehabisan dan harus ambil berkali-kali di agen, pembelinya sampai rela menunggu," kenang Mak Atik. Sekarang ada kejadian seseru apa pun, tidak pengaruh, orang memilih melihat di televisi daripada baca koran.
Sebagai penjual koran di lampu merah, Mak Atik juga punya pengalaman pahit. Beberapa kali berurusan dengan Satpol PP, karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Karena trauma ketika difoto, Mak yang hidup sebatang kara ini sempat lari. "Saya takut dipotrek (dipotret) tetus ditangkep," katanya.
Di perempatan Kertajaya ini dulu ada tujuh penjual koran, satu persatu pergi tinggal Mak Atik yang masih bertahan.
Berbeda dengan cerita pemilik lapak koran dan majalah di Jl Darmawangsa, bernama Zaini (60). Ia menjual koran dan sempat menjadi agen melayani penjual koran eceran selama lebih dari 25 tahun.
Meski jualan koran itu itu tidak seramai dulu, pembelinya masih ada. Omset penjualannya naik kalau ada kejadian luar biasa seperti pengeboman beberapa gereja di Surabaya tahun lalu, kerusuhan di Jakarta 21 dan 22 Mei lalu, korannya laris.
"Sekarang orang itu membeli berita, bukan membeli koran. Koran apa saja kalau beritanya bagus, pasti dicari orang," kata Zaini. Ia berkeyakinan minat pembaca koran masih cukup tinggi meskipun lagi-lagi tidak seramai dulu," kenangnya.
Kata Zaini, dulu lapaknya penuh, semua koran dan majalah ada. Sekarang tinggal beberapa koran yang ada di lapaknya. Tapi dia tidak khawatir, karena masing masing media punya segmen pembaca sendiri-sendiri. "Saya tetap berjualan koran bukan karena terpaksa, tapi ini pilihan hidup saya. Dengan jualan koran, saya bisa membaca dunia," katanya.
Seorang pembaca koran dr Budi, menyampaikan alasannya tetap menyukai koran dibanding media online. Kalau koran ulasannya tuntas, sedang media online unggul dari segi kecepatan.
"Ada pesawat penumpang jatuh di Rusia, bebera menit kemudian beritanya sudah menyebar di media online. Jadi media on line saya jadikan rujukan awal, berita berikutnya baca di koran, " katanya.
"Beberapa koran kan sekarang juga didukung online, untuk menutupi ketertinggalannya," ujar dokter yang setiap hari membeli 2 sampa 3 koran berbeda. Setelah dibaca terus dikliping, itu alasan dokter yang menjada kepala Unit Transfusi Darah (UTD) PMI Surabaya. (asm)