Timur Darurat
PERNAH ada anak bangsa menemukan teknologi pengolahan nikel dengan kimia. Seingat saya: seorang doktor dari ITS Surabaya. Tanpa dibakar seperti yang dilakukan sampai hari ini. Juga tanpa dipanasi sampai 700 derajat Celsius seperti yang ditemukan Widodo Sucipto (Baca Disway: Timur Musk dan Timur Terang).
PT Antam hampir saja mencoba cara baru itu. Agar terhindar dari mahalnya investasi membuat smelter. Akhirnya tidak berani. Takut jadi temuan BPK, Kejaksaan, dan KPK.
Itulah yang membuat saya berkesimpulan: penemuan teknologi anak bangsa tidak mungkin bisa berkembang!
Kesimpulan saya yang lain: sistem tender dan pengadaan harus diubah. Agar bisa mengakomodasikan penemuan teknologi dalam negeri.
Kesimpulan saya berikutnya: pengadaan teknologi anak bangsa harus melalui anggaran riset. Di pemerintahan maupun di BUMN. Berarti harus ada mata anggaran riset di setiap BUMN. Bukan saja untuk melakukan riset sendiri tapi, terutama, untuk membeli teknologi hasil riset anak bangsa.
Mengapa begitu?
Setiap pengadaan harus lewat tender. Bagus. Tapi setiap tender disertai syarat-syarat yang ''anti'' penemuan dalam negeri. Salah satu syarat itu, misalnya: barang tersebut harus sudah begini dan begitu. Termasuk ''sudah pernah digunakan selama 3 tahun di sekian negara''.
Bagaimana penemuan anak bangsa bisa berkembang dengan sistem pengadaan seperti itu?
PT Antam akhirnya takut membeli teknologi baru tersebut. Takut disalah-salahkan. Apalagi kalau hasilnya kurang baik. Bisa dianggap melanggar aturan tender.
Saya tidak bisa berbuat lebih lagi. Expired date saya pun habis.
Itulah sebabnya saya memuji habis Widodo Sucipto dan Richard Tandiono. PT Nipress, yang menemukan teknologi STAL untuk pengolahan nikel telah berhasil menerobos semua itu.
Swasta memang tidak terikat dengan aturan seperti itu. Tapi mana ada swasta di dalam negeri yang mau melakukan riset seserius Nipress? Dengan komitmen yang begitu kuat? Dengan alokasi dana dan kesabaran sebesar itu?
Memang ada faktor Nipress telanjur masuk ke dunia lithium. Delapan tahun lalu. Telanjur investasi (baca Disway: Timur Musk). Richard sebagai dirut Nipress Energi Otomotif tidak mau investasinya jadi kuburan uang.
Maka keputusan Richard untuk menugaskan Widodo melakukan penelitian nikel sangatlah mendasar.
Widodo sudah lama jadi anak buahnya. Richard tahu kemampuan dan kesungguhan Widodo. Ayah mereka sama-sama orang Jawa Timur.
Widodo itu bukan saja lahir di Porong, sekolah SD pun di SD Negeri 2 desa itu. Karena itu teman-teman Widodo kebanyakan pribumi desa. Hanya ada 3 murid Tionghoa di antara 50 murid satu kelasnya. SMP-nya pun di SMP Negeri Porong filial Sidoarjo. Juga hanya ada 3 siswa yang Tionghoa.
Ketika mau masuk SMA, ayah Widodo ingin anaknya masuk SMA yang diasramakan. Yang disiplinnya keras. Yang mutunya baik. Yang ajaran budi pekertinya bagus. Cinta Tuhan. Cinta sesama manusia. Cinta negara.
"Saya dimasukkan SMA Santo Yusup Malang," ujar Widodo. "Itulah SMA favorit untuk golongan Tionghoa-peranakan saat itu," ujar Widodo.
Di zaman ketika lembaga pendidikan Tionghoa masih diizinkan, sekolah itu bernama Hwa Ind. Itulah sekolah Katolik yang didirikan masyarakat Tionghoa peranakan di Malang tahun 1951. Karena itu pasturnya pun Tionghoa: Joseph Wang.
Sang ayah, Wong Sioe Tjhiong, punya toko di Porong. Mampu. Toko aneka kebutuhan orang desa. Mulai bahan bangunan sampai obat flu.
Lulus SMA, Widodo masuk fakultas teknik Universitas Katolik Satya Wacana, Salatiga. Ia ambil jurusan elektro.
Begitu lulus, Widodo bekerja di bagian teknik distributor TV di Surabaya. Yakni distributor TV khusus merek Jerman. Yang waktu itu masih belum disingkirkan TV-TV dari Jepang. Orang seumur saya pun sudah lupa kalau pernah laris TV merek ITT atau Nordmende, atau Blaupunkt.
Dari situ Widodo mencoba berbisnis: membuat lampu emergency. Widodo yang menciptakan, mendesain, dan memproduksi. Waktu itu, tahun 1980-an lampu darurat laris. Listrik PLN sering sekali mati. Satu rumah bisa perlu tiga lampu darurat. Bahkan lima.
Teman kuliah Widodo yang memasarkan lampu itu. Laris.
Senang?
Sedih.
Klasik: ditipu. Hasil penjualannya dibawa lari.
Widodo tidak mau lagi mengembangkan lampu darurat itu.
Widodo punya kakak. Sang kakak teman sekolah Ferry Tandiono –sama-sama di SMA Petra Surabaya. Ferry adalah ayah Richard Tandiono. Ia pemilik pabrik baterai Nipress, yang didirikan bapaknya.
Sang kakaklah yang minta Widodo untuk bekerja di Nipress. Ia pun pindah ke Jakarta.
Waktu itu bahan baku baterai (aki) adalah pb (timbal). Karena itu aki bekas laku sekali: untuk diambil timbalnya. Didaur ulang.
Tapi jumlah aki bekas di dalam negeri tidak cukup. Nipress sampai harus impor aki bekas dari berbagai negara.
Lama-lama impor pun sulit. Banyak negara melarang ekspor timbal –dengan alasan lingkungan. Widodo pun melakukan penelitian timbal.
Agar Nipress bisa mendapat bahan baku yang berkelanjutan.
Delapan tahun lalu mulailah Widodo memikirkan untuk meneliti nikel. Ia tinggalkan penelitian timbal. Masa depan bukan lagi aki timbal. Masa depan adalah baterai lithium.
Widodo tahu: begitu besar deposit nikel di Indonesia. Khususnya di Sulawesi dan Halmahera. Terbesar di dunia. Tapi begitu mahal investasi mengolah nikel. Sampai Rp 15 triliun untuk sebuah smelter yang efisien.
Itulah yang memicu Widodo untuk menemukan teknologi smelter yang realistis bagi pengusaha Indonesia. Maka lahirlah teknologi STAL ciptaannya: Step Temperature Acid Leaching. Yang investasinya hanya sepertiga dari sistem yang ada: HPAL.
Bukan hanya itu. Ukuran smelternya pun lebih kecil –tapi bisa ditambahkembangkan secara mudah. Sistemnya modul. Tiap modul hanya 10 persen kapasitas sistem HPAL yang efisien. Dengan bahan baku hanya 600 ton/hari. Ini membuat tambang kecil pun bisa fisibel –kecil untuk ukuran tambang, besar juga.
Begitu banyak pemilik tambang nikel yang kemarin menghubungi saya: minta nomor kontak Widodo.
Arek Porong ini telah melakukan manufacturing hope bagi kuburan uang di tambang nikel. (*)
Artikel ini dikutip dari Disway.id