Tim ITS Rancang Baterai Mobil Listrik Bahan Dasar Ekstraksi Bambu
Tiga mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menggagas baterai mobil listrik baru. Mereka menggunakan bahan dari alam sebagai bahan dasar pembuatan baterai tersebut.
Sekelompok mahasiswa yang masuk dalam Tim Neutrino itu berasal dari Departemen Fisika angkatan 2019 yaitu Andyan Rafi Setopratama, Phahul Zhemas Zul Nehan dan M Fatahillah Aqsa Laksana Bahtera Nuh.
Ketua Tim Neutrino, Andyan Rafi Setopratama mengatakan, kebutuhan baterai akibat pengembangan mobil listrik yang terus digencarkan oleh pemerintah saat ini semakin meningkat.
Bahkan, kata Rafi, kebutuhan baterai mobil listrik bisa mencapai 198 GWh pada tahun 2050 mendatang. Namun, baterai yang saat ini dikomersialkan masih dianggap tidak ramah lingkungan dan mahal.
Pasalnya, lanjut dia, baterai mobil listrik yang dikomersialkan saat ini masih menggunakan elektrolit cair yang bersifat korosif, mudah menguap, dan meledak karena adanya short circuit.
Untuk menjawab permasalahan itu, Tim Neutrino menggagas elektrolit padat baterai mobil listrik hasil ekstraksi bambu tali. Sebab, risiko tersebut dapat diminimalisir dengan mengganti ke elektrolit padat.
“Dengan mengganti ke elektrolit padat, risiko tersebut bisa diminimalkan karena kestabilan thermalnya lebih tinggi,” kata Rafi, Rabu, 6 April 2022.
Selain itu, baterai mobil listrik komersial apabila dibuang ke lingkungan akan menjadi limbah bahan berbahaya beracun (B3). Hal ini karena masih menggunakan bahan sintetis seperti polietilena dan polipropilen.
“(Bahanya juga mahal) bahkan harga baterai mobil listrik Tesla setara dengan harga mobil Avanza,” jelasnya.
Tim Neutrino ini menggunakan bambu tali yang banyak dijumpai sebagai bahan dasar baterai mobil listrik. Dengan bahan itu, Pembuatan elektrolit padat ini dilakukan dalam lima tahap.
Tahap pertama, menentukan kadar selulosa dan lignin yang terdapat dalam bambu tali. Dengan menggunakan metode Chesson-Data, ditemukan bahwa bambu tali mengandung 72 persen selulosa dan 5 persen lignin.
Kadar selulosa ini merupakan kadar tertinggi jika dibandingkan dengan penelitian serupa yang menggunakan bahan alam lainnya seperti kulit kakao, serat ampas tebu, dan tongkol jagung manis.
Kemudian, proses tersebut, dilanjutkan tahap ekstraksi kandungan selulosa dengan menggunakan metode Microwave Assisted Extraction (MAE) yang menghasilkan bubuk selulosa.
Untuk tahap ketiga, mereka menyebut dengan proses sintesis karboksimetil selulosa atau Carboxy Methyl Cellulose (CMC) dengan penambahan asam monokloroasetat (MCA) dan isopropanol.
Untuk tahap keempat adalah dengan melalui proses sintesis cairan ion yang akhirnya dicampur dengan bubuk CMC hingga menjadi biopolimer elektrolit padat.
Akan tetapi, Rafi beserta timnya masih sampai sampai pada tahap ketiga karena waktu yang terbatas. Karena material penting dalam penelitian seperti garam lithium perklorat juga mahal dan sulit ditemukan di Indonesia.
“Akhirnya kami kerjakan apa yang sudah ada terlebih dahulu,” ujar dia.
Mahasiswa asal Jember ini berharap riset penelitian baterai terus berkembang, sehingga dapat menciptakan dimensi baterai mobil listrik yang kecil dengan kapasitas yang besar dan rendah biaya.
“Karena biaya baterai jadi murah, mobil listrik tentunya juga bisa dipasarkan dengan harga terjangkau,” tutupnya.
Advertisement