Tiga Tingkatan Mata Hati, Makna Bashirah dalam Kitab Hikam
Asy-Syaikh Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Atha'illah As-Sakandari dalam Kitab Al-Hikam, pasal 45, menjelaskan:
شُعَاعُ الْبَصِيرَةِ يُشـْهِدُكَ قـُرْبَهُ مِنْكَ وَعَيْنُ الْبَصِيرَةِ يُشـْهِدُكَ عَدَمكَ لِوُجُودهِ وَحَق ُّ الْبَصِيرَةِ يُشـْهِدُكَ وُجُودَهُ لاَ عدَمكَ وَلاَ وُجُودَكَ
Cahaya mata hati itu dapat memperlihatkan dekatnya Allah kepadamu. Dan matahati itu sendiri dapat memperlihatkan kepadamu ketiadaanmu karena wujud [adanya] Allah dan hakikat matahati itulah yang menunjukkan kepadamu, hanya adanya Allah, bukan ketiadaanmu dan bukan pula keberadaanmu
Penjelasan (Syarah)
Para penempuh jalan Allah (Salik) dalam perjalanan ruhaninya menuju Allah akan menapaki 3 tingkatan Nur (mata hati) dari Allah, yaitu:
Pertama,
Syu'aa 'ul-bashirah, yaitu cahaya akal.
Kedua,
Ainul-bashirah, yaitu cahaya ilmu.
Ketiga,
Haqqul-bashirah, yaitu cahaya Ilahi.
Dan semua nur tersebut akan memancarkan macam-macam kemuliaan (karamah) dan faidah yang sangat berguna.
Seseorang yang menggunakan Cahaya Akalnya (Syu'aaul Bashirah), akan terus merasakan adanya eksistensi dirinya dan kedekatan kepada Allah.
Sedangkan orang-orang yang menggunakan Cahaya Ilmu ('Ainul Bashirah) akan merasakan eksistensi dirinya tidak ada, dan yang ada hanya Allah.
Sedangkan seseorang yang sudah mencapai tingkatan Cahaya Ilahi (Haqqul Bashirah), sesungguhnya ia hanya melihat kepada Allah dan tidak melihat apapun di samping-Nya. Bukannya mereka tidak melihat adanya alam sekitarnya, tetapi karena alam sekitarnya itu hakikatnya tidak berdiri sendiri, tetapi selalu tunduk dan butuh kepada Allah, maka adanya alam ini tidak menarik perhatian mereka yang sudah level Haqqul Bashirah, karena itu mereka menganggap alam semesta dan kekayaan di dalamnya bagaikan tidak ada.
Di antara Ulama Mursyid Ahli Tarekat berkata:
“Seorang hamba tidak akan mencapai hakikatnya tawadhu’ kecuali setelah hatinya bersinar dengan cahaya penyaksian dan melihat Allah (nur syahadah). dan ketika hati sudah bersinar dan menyaksikan Allah maka nafsunya akan hancur lebur, sehingga ia akan konsisten (istiqamah) dalam menetapi Kebenaran Haqiqi dan berakhlak dengan akhlak yang baik dan mulia (Akhlakul Karimah).
Kesimpulan:
Anugerah terindah dari Allah kepada hamba-Nya adalah Menyaksikan keindahan Nur Allah (Musyahadah).
Sumber: Asy-Syaikh Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Atho'illah As-Sakandari, Kitab Al-Hikam pasal 45.
Advertisement