Tiga Tersangka Ditetapkan, Ini Batu Sandungan bagi Imam Nahrawi
Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi memang menjadi perhatian publik. Wajahnya yang biasa sumringah, kini kelihatan kusut. Kedatangannya di Istana Presiden, Selasa 30 April 2019 sore, semakin menguatkan dugaan, kader PKB Jawa Timur ini bakal menjalani proses pengadilan secara serius.
Pelbagai spekulasi memang semakin memberatkan nasib Imam Nahrawi. Sebelumnya menjadi saksi dalam sidang lanjutan kasus suap Dana Hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin, 29 April 2019.
Dalam kasus ini, nama Imam muncul di persidangan sebelumnya. Sekretaris Bidang Perencanaan dan Anggaran KONI Suradi mengaku diminta membuat daftar oleh Sekretaris Jenderal KONI Ending Fuad Hamidy berisi uang bagi para pejabat di Kemenpora dan KONI.
Dalam daftar itu, salah seorang nama yang didiktekan kepadanya ada inisial M dengan jumlah uang Rp 1,5 miliar. Suradi menyatakan inisial 'M' itu adalah menteri, dalam hal ini Menpora Imam Nahwari. Hal itu telah dibantah oleh Imam Nahrawi.
Penangkapan sejumlah pejabat Kemenpora dan KONI dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK pada Selasa, 18 Desember 2018, menjadi awal kasus yang menjadi sandungan Nahrawi. Setelah penangkapan itu, lembaga antirasuah menetapkan lima orang sebagai tersangka. Dua di antaranya adalah Hamidy dan Bendahara Umum KONI Jhonny E. Awuy sebagai tersangka pemberi suap.
"Saya tidak tahu. Itu sudah menjadi kewenangan dan tanggung jawab deputi," ujar Imam. "Lalu fungsi saudara apa kalau tidak pernah menanyakan progres?" tanya jaksa kembali. "Saya hanya bertanggungjawab secara umum," ucap Imam.
Tiga orang tersangka lain dari Kemenpora, yaitu Deputi IV Kemenpora Mulyana, pejabat pembuat komitmen di Kemenpora, Adhi Purnomo dan Staf Kementerian Kemenpora Eko Triyanto. Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka penerima suap.
Majelis hakim menyentil Imam Nahrawi yang tidak kaget saat asisten pribadinya, Miftahul Ulum, diduga menerima uang Rp3 miliar. Sentilan itu diungkapkan hakim saat Imam menjadi saksi untuk terdakwa Bendahara Umum KONI Johny E Awuy dalam sidang kasus suap dana hibah KONI di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, pada Senin, 29 April 2019.
"Mendengar Ulum dapat Rp 3 miliar, bagaimana perasaan saudara?" tanya hakim Rusitono.
"Saya tidak tahu, saya tidak percaya," jawab Imam.
"Kok, tidak kaget? Biasa-biasa saja? Padahal sopirnya dapat Rp 3 miliar, kok, tidak kaget. Kalau saya sudah lompat karena sampai pensiun juga tidak dapat Rp 3 miliar, " tanya hakim.
"Saya juga kaget, tapi saya tidak tahu," jawab Imam.
"Loh, kagetnya baru sekarang. Saudara Ulum sekarang masih aktif?" tanya hakim.
"Tidak aktif, tapi masih di kantor," jawab Imam.
Dalam dakwaan di persidangan sebelumnya, Ulum disebut mengatur commitment fee dari KONI. Fee untuk Kemenpora disepakati sebesar 15-19 persen dari total nilai bantuan dana hibah.
Sedangkan untuk pemberi suap, yakni Sekretaris Jenderal KONI Ending Fuad Hamidy dan Bendahara Umum KONI Jhonny E Awuy. Kelimanya sudah selesai menjalani proses penyidikan. Ending dan Johnny sudah menjalani persidangan. Sementara, Mulyana, Adhi, dan Eko telah dilimpahkan ke tahap penuntutan.
Hal-hal Lucu
Imam Nahrawi kerap menjawab tidak tahu saat menjadi saksi di kasus suap itu. Pada awal sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin, 29 April 2019, Imam diminta menjelaskan kewenangannya sebagai seorang menteri. Dia menjadi saksi untuk terdakwa Sekretaris Jenderal KONI Ending Fuad Hamidy. Jaksa pun mulai bertanya seputar kasus dana hibah.
Imam menuturkan, ketika KONI mengajukan proposal, ia langsung mendisposisikan kepada kedeputian terkait, dalam hal ini adalah Deputi IV Kemenpora. "Sudah saya disposisi kepada deputi terkait untuk kemudian ditelaah, dilaporkan dan diarsipkan," ujar Imam.
"Setelah ada disposisi, apa yang dikerjakan deputi?" ujar jaksa. "Saya tidak tahu karena sudah kewenangan deputi," jawab Imam.
Imam mengaku tidak pernah mendapat laporan perihal kelanjutan proposal KONI tersebut. Dia hanya pernah bertanya dalam rapat pimpinan saja. Ia menuturkan, seluruhnya sudah menjadi kewenangan deputi. "Jadi saksi hanya disposisi saja? Tidak pernah cek?" ucap jaksa.
"Saya tidak tahu. Itu sudah menjadi kewenangan dan tanggung jawab deputi," ujar Imam. "Lalu fungsi saudara apa kalau tidak pernah menanyakan progres?" tanya jaksa kembali. "Saya hanya bertanggungjawab secara umum," ucap Imam.
Jaksa kembali bertanya apakah ada nota kesepahaman (MoU) antara KONI dengan Kemenpora. Lagi-lagi, Imam menjawab tidak tahu. "Saya tahu ada aturan soal MoU itu, tapi saya tidak tahu MoUnya kapan," kata dia. Imam juga tidak tahu siapa pihak KONI yang menandatangani MoU.
Sering menjawab tidak tahu, Imam diperingatkan Jaksa KPK. "Saudara jangan membuat kami bingung. Ini sudah malam pak, bapak capek, kami juga capek," ujar jaksa. (asm/an/adi)