Tiga Tahun, Angka Kekerasan Seksual di Jatim Tembus 2.000 Kasus
Forum Pengada Layanan (FPL) Jawa Timur-Bali menagih komitmen pemerintah untuk memberikan perlindungan perempuan korban kekerasan seksual.
Dewan Pengarah Nasional FPL Jatim-Bali, Nunuk Fauziyah mengatakan, sejak tahun 2016 hingga Desember 2018 angka kasus kekerasan seksual di Jawa Timur mencapai hampir 2000 kasus.
Adapun pemerkosaan dan pelecehan seksual menjadi dua dari sembilan jenis kekerasan seksual terbanyak di Indonesia.
Selain itu, ada kekerasan seksual lainnya, yakni eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual.
Jenis-jenis kekerasan seksual tersebut masuk dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS).
FPL Indonesia ingin, RUU PKS untuk dapat segera disahkan oleh pemerintah. Hal itu bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi perempuan korban kekerasan seksual.
“Dari data Komnas Perempuan sejak 2016 hingga Desember 2018 terdapat 16.943 kasus kekerasan seksual pada perempuan, 1.944 diantaranya terjadi di Jawa Timur,” ucap Nunuk dalam Diskusi 'Perempuan Korban Kekerasan' di Satu Atap Co-Working Space, Surabaya, Kamis 19 Desember 2019 sore.
Sementara, dilansir dari data internal FPL seluruh Indonesia sejak tiga tahun terakhir, ada sebanyak 1.290 kasus yang ditangani dan didampingi oleh FPL Indonesia.
Untuk kasus yang tertinggi yakni pemerkosaan dengan 846 kasus, pelecehan seksual 331 kasus, penyiksaan seksual 33 kasus, eksploitasi seksual 38 kasus, pemaksaan aborsi 13 kasus, pemaksaan pelacuran 10 kasus, perbudakan seksual 9 kasus dan pemaksaan perkawinan 2 kasus.
“Data mengenai pelaku kekerasan dan detail wilayah akan kami sampaikan awal Januari 2020 mendatang, saat ini kami masih mengumpulkan data kasus di seluruh wilayah Indonesia,” kata Nunuk.
Tingginya angka kekerasan itu, menurut dia, karena tidak ada payung hukum yang jelas guna mengatur kekerasan seksual dalam KUHP.
FPL juga menemukan hanya ada 40 persen kasus kekerasan seksual yang dilaporkan ke polisi. Dari jumlah itu, hanya 10-15 persen yang berlanjut ke Pengadilan.
“Alasannya karena tidak adanya payung hukum yang mengatur, sekaligus karena molornya pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” tegasnya.