Tiga Prinsip Utama Pendidikan Kader Ulama, Kata KH Mustain Syafii
Direktur Madrasatul Quran Tebuireng Jombang KH KH Mustain Syafii mengatakan, pentignya proses pendidikan kader ulama dalam mengembangkan pemikiran Islam bagi dakwah.
Hal itu harus mengacu pada tiga prinsip utama: al-jam’u (komprehensif), al-naqd (kritis, logis), al-raskh (mendalam, radik).
1. Al-jam’u (komprehensif)
Dengan prinsip yang pertama, pendidikan kader ulama tidak boleh hanya mencukupkan pada satu pandangan (madzhab) saja tetapi harus muqabalah (membandingkan) dengan madzhab lain, bahkan harus diintegrasikan dengan rumpun keilmuan lainnya.
2. Al-naqd (kritis, logis)
Dengan prinsip yang kedua, mahasantri harus diajari (bahkan disunnahkan) untuk bersikap kritis dan selalu mempertanyakan pandangan kitab atau gurunya.
3. Al-raskh (mendalam, radik).
Namun demikian, sikap kritis tersebut harus diimbangi dengan banyaknya literatur bacaan agar mendapat ilmu yang mendalam.
Kiai Mustain Syafii mengungkapkan hal itu pada Workshop Kaderisasi Ulama melalui Mahad Aly di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.Kegiatan digelar Kementerian Agama Republik Indonesia melalui Kasubdit. Pendidikan Diniyah kerja sama dengan Ma’had Aly.
Dalam acara yang dihadiri para Mudir Mahad Aly se-Nusantara ini, dibicarakan tentang berbagai hal terkait penyelenggaraan Pendidikan Kader Ulama. Turut hadir pula menjadi pembicara pada acara yang dihelat sejak 6-8 November ini, selain Kiai Mustain Syafii, adalah Syech Bilal Mahmud Afifi Ghunem dari Mesir sebagai salah satu pembicara.
Pada sesi pertama, Syech Bilal menyampaikan betapa pentingnya kita memilih kader untuk dididik menjadi calon ulama. Tidak kalah penting lagi, memilih para pendidik yang mumpuni. Hal ini sering luput dari perhatian karena sebagian besar kita hanya memerhatikan ijazah formal yang dimiliki oleh calon pendidik tanpa memerhatikan haaliyah-nya.
Faktor haaliyah atau sikap kesantunan dan keteladanan, jangan sampai hilang dari seorang pendidik calon ulama.
Hal ini diperkuat oleh Izzul Madid pada sesi tanya jawab yang menceritakan pengalamannya saat belajar pada soasok ulama karismatik yang bisa dijadikan panutan.
Menurutnya, mahasantri harus diberikan tontonan berupa sikap ketawadhu’an dan keikhlasan dari para pendidiknya, bukan hanya sekedar dibekali ini itu.
Pada sesi kedua, K.H. Dr. Abdul Djalal, selaku ketua Asosiasi Mahad Aly se Indonesia, menjelaskan tentang karakteristik ulama menurut beberapa tokoh. Tidak lupa pula beliau menjelaskan tentang posisi Mahad Aly dalam proses pengkaderan ulama.
Menurutnya, Mahad Aly harus mampu menghadirkan sosok ulama yang mampu menjawab berbagai problematika umat. Bahkan, harus mampu mendampingi dan turut membeberdayakan umat atau masyarakat di sekitarnya.
Tugas ulama bukan hanya duduk dan mengajar, tetapi berdiri, beranjak, dan bergerak aktif dalam memberdayakan masyarakat. Dijelaskannya, tugas ulama – terutama lulusan Mahad Aly – nantinya harus mampu mendukung progaram deradikalisasi yang dicanangkan oleh pemerintah dan menjadi fokus garapan kementerian agama RI saat ini.
Selama berita ini ditulis, acara masih tetap berlangsung dalam rangka merumuskan konsep pengkaderan ulama melalui Mahad Aly yang hasilnya nanti akan disampaikan kepada kementerian agama RI untuk dibawa dan dipresentasikan pada pertemuan para menteri agama se-ASEAN di Singapura.