Tiga Pilar Islam Nusantara, Menurut Kiai Ma’ruf Amin
KH Ma'ruf Amin, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, mencoba berpikir jernih dan menjelaskan agar kontroversi istilah “Islam Nusantara” tidak dipahami secara salah olen pengecam NU. Atas kecaman terhadap Islam Nusantara, Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini menjelaskan hakikat istilah, pemaknaan secara ijtihad, bahkan sebagai penandan Islam ala Ahlussunnah waljamaah (Aswaja) di Indonesia.
Berikut ngopibareng.id, lanjuta dari pandangan Kiai Ma’ruf Amin tentang istilah yang belakangan diramaikan para pengecam atas nilai ajaran Islam yang moderat di Indonesia tersebut:
Pada dasarnya ada tiga pilar atau rukun penting di dalam Islam Nusantara. Pertama, pemikiran (fikrah); kedua, gerakan (harakah); dan ketiga, tindakan nyata (amaliyyah/amaliah).
Pilar pertama, pemikiran, meliputi cara berpikir yang moderat (tawassuth). Artinya, Islam Nusantara berada dalam posisi yang tidak tekstualis, tetapi juga tidak liberal. Tekstualis dimaksud adalah berpikir secara kaku pada nash (al-jumûd al-manqûlãt) sebagaimana yang terjadi pada kaum Wahabi di dalam memahami teks-teks Al Quran.
"Reformasi Islam Nusantara adalah reformasi menuju tahapan yang lebih baik dan secara terus-menerus. Jadi, posisi Islam Nusantara bukan hanya mengambil hal yang baik saja (al-akhdh bi al-jadid al-aslah), karena istilah mengambil itu pasif, tetapi juga melakukan inovasi, mencipta yang terbaik dan terbaik." KH Ma'ruf Amin.
Salah satu pernyataan Imam al-Qarafi, ulama ahli usul fikih, menyatakan jika "al-jumûd 'alã al-manqûlãt abadan dalãl fi al-din wa jahl bi maqasidihi", pembacaan yang statis (tanpa tafsir) penafsiran pada hal-hal yang dalil-dalil yang selamanya adalah kesesatan di dalam agama dan kebodohan tentang maksud-maksud agama.
Liberal dimaksud adalah cara berpikir yang bebas tanpa mengindahkan metodologi yang disepakati di kalangan ulama yang dijadikan pegangan berpikir di kalangan NU.
Pilar kedua adalah gerakan. Artinya, semangat yang mengendalikan Islam Nusantara itu ditujukan pada perbaikan-perbaikan. Tugas Islam Nusantara adalah melakukan perbaikan-perbaikan (reformasi) untuk jamiah (perkumpulan) dan jemaah (warga) yang tak hanya didasarkan pada tradisi, tetapi juga inovasi.
Reformasi Islam Nusantara adalah reformasi menuju tahapan yang lebih baik dan secara terus-menerus. Jadi, posisi Islam Nusantara bukan hanya mengambil hal yang baik saja (al-akhdh bi al-jadid al-aslah), karena istilah mengambil itu pasif, tetapi juga melakukan inovasi, mencipta yang terbaik dan terbaik. Prosesnya terus-menerus. Inovasi pun tak cukup, juga harus dibarengi dengan sikap aktif dan kritis.
Pilar ketiga adalah amaliah. Islam Nusantara sebagai identitas Aswaja NU menekankan bahwa segala hal yang dilakukan nahdliyin harus lahir dari dasar pemikiran yang berlandaskan pada fikih dan usul fikih; disiplin yang menjadi dasar kita untuk menyambungkan amaliah yang diperintah Al Quran dan Sunah Nabi.
Dengan cara demikian, amaliah Islam Nusantara itu sangat menghormati pada tradisi-tradisi serta budaya yang telah berlangsung sejak lama di tengah masyarakat. Tradisi atau budaya yang di dalam usul fikih disebut dengan 'urf atau 'ãdat tidak begitu saja diberangus, tetapi dirawat sepanjang tidak menyimpang dari nilai-nilai ajaran Islam. Praktik keagamaan demikian inilah pada dasarnya yang dilakukan Wali Songo dan kemudian diwariskan para pendiri NU kepada kita semua. (bersambung)
"Amaliah Islam Nusantara itu sangat menghormati pada tradisi-tradisi serta budaya yang telah berlangsung sejak lama di tengah masyarakat." KH Ma'ruf Amin.