Tiga Pesan Rasulullah soal Memilih Teman, antara Kaya dan Syukur
HATI-HATILAH MEMILIH TEMAN
Dalam kehidupan di dunia yang hanya sesa'at, berhati-hatilah dalam memilih teman atau sahabat. Karena siapa sesungguhnya diri kita itu sangat ditentukan dengan siapa kita berteman atau bersahabat:
١. مَنْ جَلَسَ مَعَ الْأَغْنِيَاءِ، زَادَهُ اللَّهُ حُبَّ الدُّنْيَا وَالرَّغْبَةَ فِيهَا،
٢. وَمَنْ جَلَسَ مَعَ الْفُقَرَاءِ، زَادَهُ اللَّهُ الشُّكْرَ وَالرِّضَا بِقِسْمَةِ اللَّهِ تَعَالَى،
٣. وَمَنْ جَلَسَ مَعَ الْعُلَمَاءِ، زَادَهُ اللَّهُ الْعِلْمَ وَالْوَرَعَ.
1 . Barangsiapa sering bergaul dengan orang-orang kaya, Allah akan menambahkan rasa cintanya terhadap dunia.
2 . Barangsiapa sering bergaul dengan orang-orang miskin, Allah akan menambahkan rasa syukur dan rela terhadap pembagian Allah.
3 . Barangsiapa sering bergaul dengan para ulama, Allah akan menambahkan ilmu dan wara' (menjauh dari perkara samar)."
Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam bersabda:
«الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ؛ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ»
“Seseorang akan cenderung mengikuti cara hidup temannya. Maka hendaknya setiap orang memperhatikan siapa yang ia jadikan sebagai temannya. ”
( H. R. Ahmad )
Menjaga Tauhid, Jari pun Jadi Saksi di Akhirat
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
اِتَّخَذُوْۤا اَحْبَا رَهُمْ وَرُهْبَا نَهُمْ اَرْبَا بًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَا لْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَ ۚ وَمَاۤ اُمِرُوْۤا اِلَّا لِيَـعْبُدُوْۤا اِلٰهًا وَّا حِدًا ۚ لَاۤ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ ۗ سُبْحٰنَهٗ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ
"Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi), dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai Tuhan Tuhan pengatur selain Allah, dan (juga) Al-Masih putra Maryam, padahal mereka hanya diperintahkan untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Illah selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan."
(QS. At-Taubah 9: Ayat 31)
Ayat ini ditafsirkan dengan hadits Adi bin Hatim Ath Thoo-i radhiyallahu ‘anhu dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat tersebut (at Taubah : 31) kepada beliau, yang mana pada saat itu beliau (Adi bin Hatim) datang dari Syam masih dalam keadaan Nasrani (serta masih menggunakan kalung salip di lehernya) dengan tujuan untuk masuk Islam di hadapan Rasulullah...
Kemudian beliau berkata : “Wahai Rasulullah, kami tidak pernah beribadah kepada mereka (para ulama dan ahli ibadah kami)”.
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أليس يحلون لكم ما حرم الله فتحلونه، ويحرمون ما أحل الله فتحرمونه؟
“Bukankah mereka menghalalkan untuk kalian apa yang Allah haramkan sehingga kalianpun menghalalkannya, dan mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan sehingga kalian ikut mengharamkannya?”.
Beliau (Adi bin Hatim) berkata : “Benar”.
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فتلك عبادتهم
“Itulah bentuk peribadahan kalian kepada mereka”.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits tersebut menafsirkan bahwa maksud “menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah” bukanlah maknanya ruku’ dan sujud kepada mereka, Akan tetapi maknanya adalah mentaati mereka dalam mengubah hukum Allah dan mengganti syari’at Allah dengan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Perbuatan tersebut dianggap sebagai bentuk beribadah kepada mereka selain kepada Allah dimana mereka menjadikan para ulama dan ahli ibadah tersebut sebagai sekutu-sekutu bagi Allah dalam masalah menetapkan syari’at.
Barangsiapa yang menaati mereka dalam hal tersebut (aturan yang mereka buat), maka sungguh dia telah menjadikan mereka sebagai sekutu-sekutu bagi Allah dalam menetapkan syari’at serta menghalalkan dan mengharamkan sesuatu. Ini adalah syirik Akbar (yang mengeluarkan pelakunya dari Islam)”.
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh rahimahullah mengatakan :
“Hadits tersebut adalah dalil bahwa mentaati ulama dan ahli ibadah dalam bermaksiat kepada Allah adalah bentuk ibadah kepada mereka selain kepada Allah, dan termasuk syirik akbar yang tidak diampuni oleh Allah”.
Ketidaktahuan Adi bin Hatim tentang hakikat peribadatan yang mereka lakukan (yaitu mengangkat manusia untuk menetapkan hukum dengan menandingi hukum Allah serta merujuk dan mentaati hukum buatan tersebut) tetap tidak di udzur, dan Allah tetap memvonis perbuatan itu sebagai bentuk kemusyrikan dan orang orang yang semacam itu adalah orang musyrik.
Kemudian Allah Ta’ala berfirman dalam kelanjutan ayat di atas,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا
“Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa”
(QS. At Taubah : 31)
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas :
“Yakni Rabb yang jika mengharamkan sesuatu, maka hukumnya haram. Dan apa yang Dia halalkan, maka hukumnya halal. Dan apa yang Dia syari’atkan, maka harus diikuti. Dan apa yang Dia tetapkan, maka harus dilaksanakan”.
Hal ini menunjukkan bahwa penetapan syari’at, mengharamkan dan menghalalkan sesuatu, adalah hak mutlak milik Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Lalu Allah Ta’ala menutup ayat di atas dengan firman-Nya,
سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (QS. At Taubah : 31)
Semoga kita dan seluruh keluarga kita selalu bertakwa kepada Allah, menjadi teman sejati, berteman di dunia ini berteman di Surga nanti.
Aamiin....!!!
Semoga Bermanfaat.
Advertisement