Tiga Pesan Penting Ulil Abshar, Antara Tradisional dan Modern
Ulil Abshar Abdalla, cendekiawan Muslim dari pesantren, berhasil keluar dari label yang telah menyelimuti namanya: Islam Liberal. Hal itu berhasil dibuktikan dengan tradisi Ngaji Kitab Kuning secara online: Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali.
Ulil Abshar Abdalla berada di "Antara Kitab Salaf (Tradisional ) dan Khalaf (Modern)", tulis Amin Khafidin Busro.
Ya, Ulil Abshar Abdalla, kini pun, di luar aktivitasnya mengajar di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) mengemban amanah sebagai Ketua Pengurus Pusat Lembaga Pengkajian Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Nahdlatul Ulama. Bahkan, oleh PBNU, lembaga yang dipimpin Ulil itu bertugas memberi pemahaman tentang gerakan dan pengkaderan.
Guna memahami hal itu, berikut catatan Amin Khafidin Busro, mahasiwa Nahdlatul Ulama (NU) yang sedang belajar di Universitas Zaitunah, Tunisia, Amin Khafidin Busro, amat penting untuk dibaca.
Amin Khafidin Busro menjelaskan lewat naskah berjudul "Antara Kitab Salaf (Tradisional ) dan Khalaf (Modern)" (Redaksi).
DEWASA ini, sering kali kita dihadapkan dengan dua pilihan/arah, yang mau gak mau kita harus memilih salah-satu diantara keduanya, yang menyebabkan kalau kita tidak memilih akan kehilangan keduanya. Antara hitam dan putih, fatimah atau Zakia dan bahkan dalam dunia keilmuan, seperti fan Ilmu Tafsir atau Ilmu Ushul Fikih dst. Kita dituntut untuk cepat memilih, dengan tujuan kita tidak kehilangan diantara keduanya.
Tapi disini (penulis) mau mengatakan akan pentingnya memilih dua pilihan itu, yaitu ; Antara Turats dan haditsah (kontemporer). Dimana ada sebagian orang yang hanya fokus ke salah-satu fan nya ajh, misal Turats/Haditsahnya ajah, tanpa menggabungkan antara keduanya.
Turats (baca; kitab turats), merupakan peninggalan para ulama dan cendekia umat Islam terdahulu. Turats kemudian berkembang. Beberapa pakar sejarah memberikan batas bahwa hasil karya ulama dan cendekia sebelum masa Abbas Pasha dari Dinasti Ali Pasha di Mesir (berlangsung sejak tahun 1805 hingga tahun 1953), disebut turats dan setelahnya disebut kitab-kitab kontemporer.
Penyebutan tersebut tidak lain karena adanya perkembangan pembelajaran atas keilmuan dan pemikiran Islam yang telah terwarnai dengan metode berfikir Barat. Kemudian dipelajari oleh para cendikiawan Umat Islam.
***
Sebuah ungkapan yang tidak asing lagi menjadi prinsip para ulama NU, al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah, memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil kebiasaan baru yang lebih baik. Saya lihat, ungkapan ini senada ketikan kita hendak mengkompromikan antara Turats dan Haditsah (kontemporer). Yang mana kita tahu, hanya segelintir orang saja, yang fokus dan konsistens dalam menerapkan bacaan antara Turats dan Haditsah.
Tepat empat hari yang lalu, saya diberi kesempatan untuk menemani Gus Ulil dan istri menikmati keramaian, keindahan serta keramahan masyarakat Tunisia. Ditengan-tengah perjalanan, pertanyaan-pertanyaanpun gak henti-hentinya dilontarkan, dari mulai kondisi politik, pemain sepak bola asal Tunis, pemain bulu tangkis, para tokoh dan masyayikh Tunisia, dan bahkan masalah mobil gak luput beliau tanyakan ke kita yang satu mobil pada waktu itu. Dihari pertama, saya bisa simpulkan, bahwa beliau memang orang yang sangat luas wawasanya, yang sudah barang tentu karna bacaanya yang tak terbatas. Baik dari yang Turats maupun khalaf/Haditsah.
Tiga Pesan Penting Gus Ulil
Ulil Abshar Abdalla merupakan Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Selama empat hari saya menemani beliau di Tunisia. Saya pribadi banyak belajar dari kepribadianya yang ramah, santun dan pastinya mempunyai wawasan yang sangat luar biasa. Beliau juga banyak ngasih masukan buat temen-temen pelajar disini, khususnya buat warga nahdliyin yang berada di Tunisia. Di antara pesan beliau ;
1. Harus mengkaji karya-karya Syeikh Tahir Ibn Asyur (1879-1973), terutama dalam bidang Maqasid. Kalian mempunyai hak lebih dalam mengkaji karya-karyanya. Kenapa? Karena kalian berada di tempat syeikh Tahir lahir dan di kebumikan. Tutur Gus Ulil kepada kita warga nahdliyin. Pesan ini disampaikan pas kita lagi berziarah di makamnya Syeikh Tahir Ibn Asyur.
2. Di samping beliau mendukung kita untuk membaca karya-karya Haditsah/kontemporer seperti tulisan-tulisanya 'Arkun, Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zayd, Ulfah Yusuf, Abdul Majid as-Syarafi dan tokoh-tokoh modernis lainnya. Beliau juga tak luput berpesan kepada kita untuk selalu membaca buah karya ulama-ulama salaf ( kitab Turats ).
3. Disamping aktif belajar kuliah di kampus, tapi jangan lupa juga untuk selalu dibarengi juga dengan talaqi-talaqi ( belajar yang di luar kampus ) ke masyayikh/ulama-ulama Tunisia. Karna dengan mengkombinasikan antara belajar di kampus dan Talaqi ke para-masyayikh, itulah yang membuat kita matang dari-segi keilmuan.
Tiga poin itu yang saya ingat betul dari pesan Gus Ulil untuk seluruh warga nahdliyin NU Tunisia. Saya pribadi selaku ketua PCI NU Tunisia merasa bersyukur dan bangga diberi kesempatan sama Gus Dubes Zuhairi Misrawi untuk ikut serta mendampingi Gus Ulil dan Istri menikmati indahnya negri Auliya ini. Sekali lagi saya ucap terima kasih kepada Gus Dubes.
Waktupun pergi begitu cepat, empat haripun belum terasa cukup untuk menghilangkan rasa haus akan ilmu yang dituangkan oleh Gus Ulil dan Gus Dubes. Meskipun waktu empat hari itu begitu singkat, tapi saya pribadi banyak belajar dari kedua tokoh ( Gus Ulil dan Gus Dubes ). Belajar dari mulai keilmuan, sosial bahkan politik.
Terakhir, pesan yang bisa saya simpulkan di atas adalah; dizaman yang serba cepat ini, kita harus lebih giat lagi dalam belajar, membaca, berkarya dan yang terakhir berelasi. 🤩
Alhamdulillah, yok mulai nulis lagi.
Salam Santri Ngopji.