Tiga Pandangan Kontroversial soal Muslim Masuk Gereja
Juru dakwah KH Miftah Maulana Habiburrahman (akrab disapa Gus Miftah) menghadirkan kontroversi atas tindakannya masuk ke gereja. Meski ia pun akhirnya mengklarifikasi soal ceramahnya di akun instagramnya.
Dalam unggahan videonya, ia menjelaskan kedatangannya di gereja bukan dalam rangka ibadah, melainkan atas undangan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dalam rangka orasi kebangsaan.
“Assalamu’alaikum, kemarin rame karena ceramah saya di gereja, padahal kemarin diajak pak Gubernur, saya diminta orasi kebangsaan soal kerukunan,” kata Gus Miftah dalam unggahan videonya, Selasa 4 Mei 2021.
Menurut dia, apa yang dilakukannya adalah hal wajar karena dalam rangka menjaga hubungan dengan sesama anak bangsa. “Menurut saya biasa, konteksnya bukan ibadah, itu peresmian gereja maka saya bilang, silaturrahmi kita dengan Tuhan ya sholat, silaturrahmi kita dengan kanjeng Nabi ya sholawat, silaturrahmi kita dengan anak bangsa ya Pancasila,” ucapnya.
Kontan saja, hal itu bikin berdebatan panjang di masyarakat. Tindakan Gus Miftah itu menimbulkan kontroversial.
Tentu saja, kita tak hendak menjadikan kasus tersebut terus berlangsung. Kita perlu memperoleh pemahaman yang jernih dalam mendedahkan persoalan keagamaan yang menimbulkan perbedaan pendapat saling bertentangan itu.
Berikut Tiga Pandangan Ulama soal Masuk Gereja
1. KH Husein Muhammad
Sejumlah teman meminta aku menulis isu hot belakangan ini. Isu ini sesungguhnya sudah sangat lama diperdebatkan ulama dan selalu tak selesai.
Jika kita membaca perbincangan ulama tentang boleh tidaknya orang Islam masuk dan shalat di gereja, maka kita menemukan tiga pandangan : membolehkan, memakruhkan (memandang kurang baik), dan mengharamkan. Hal ini pun jika di gereja itu ada gambar. Masing-masing pendapat mengemukakan argumen dari teks sumber yang berbeda-beda, atau dari teks sumber yang sama tetapi dengan pemaknaan yang berbeda atau kecenderungan yang berbeda pula.
Masuk atau Shalat di Gereja
Para ulama fiqh membedakan antara sekedar masuk ke dalam gereja (tidak shalat) dan shalat di dalam gereja. Dalam kedua kasus itu mereka berbeda pendapat. Perdebatan ini dikemukakan dalam "Al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah", (Ensiklopedia Fiqh).
Di dalamnya disebutkan :
اختلف الفقهاء فى جواز دخول المسلم معابد الكفار على أقوال : ذهب الحنفية الى أنه يكره المسلم دخول البيعة والكنيسة لأنه مجمع الشيطان. لا من حيث أنه ليس له حق الدخول . ويرى المالكية والحنابلة وبعض الشافعية أن المسلم دخول بيعة وكنيسة ونحوهما . وقال بعض الشافعية فى راي اخر لا يجوز للمسلم دخولها الا بإذنهم . (الموسوعة الفقهية جزء ٣٨, ص ١٥٥).
Masuk Rumah Ibadah orang kafir (non-Muslim)
"Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang hukum seorang muslim masuk gereja atau tempat peribadatan orang kafir. Mazhab Hanafi tidak menyukai muslim datang ke gereja, karena di situ tempat pertemuan "setan.ۜ". Tetapi bukan berarti tidak boleh. Mazhab Maliki, Mazhab Hambali dan sebagian Mazhab Syafi'i, membolehkan masuk gereja atau Sinagog atau tempat ibadah yang semacam itu. Sebagian pengikut mazhab Syafi'i membolehkan dengan syarat memeroleh izin mereka". (Mausu'ah Fiqhiyyah, vol. 38/155).
Di tempat lain disebutkan :
الصلاة فى معابد الكفار (غير المسلمبن)
نص جمهور الفقهاء على أنه تكره الصلاة فى معابد الكفار إذا دخلها مختارا . أما أن دخلها مضطرا فلا كراهة. وقال الحنابلة تجوز الصلاة فيها من غير كراهة على الصحيحة من المذهب. وروى عن أحمد تكره. وقال الكسانى من الحنفية لا يمنع المسلم أن يصلى فى الكنيسة من غير جماعة لأنه ليس فيه تهاون ولا استخفاف. (الموسوعة الفقهية، ج ٣٨ ص ١٥٥).
"Shalat di tempat-tempat peribadatan orang-orang kafir (non Muslim)".
"Mayoritas ahli fiqh memutuskan "makruh" (kurang baik), seorang muslim shalat di tempat-tempat ibadah orang kafir manakala ia menginginkannya. Tetapi tidak makruh jika terpaksa".
"Mazhab Hambali membolehkan shalat di tempat-tempat itu, tidak makruh. Al-Kasani dari Mazhab Hanafi malah mengatakan : "tidak boleh melarang muslim shalat sendirian (tidak berjamaah) di gereja. Itu bukan melecehkan atau merendahkan kaum muslimin". (Mausu'ah Fiqhiyyah, vol. 38/155).
Ibnu Qudamah (w. 1223 M), ahli fiqh besar dalam mazhab Hambali mengatakan :
"ولا بأس بالصلاة في الكنيسة النظيفة، رخص فيها الحسن و عمر بن عبد العزيز والشعبي والأوزاعي وسعيد بن عبد العزيز وروي عن عمر وأبي موسى , وكره ابن عباس و مالك الكنائس من أجل الصور , ولنا أن النبي صلى الله عليه و سلم صلى في الكعبة وفيها صور ثم هي داخلة في قوله عليه السلام: "فأينما أدركتك الصلاة فصل فإنه مسجد". (المغنى 1 ص ٧٢٣)
"Tidak ada masalah seorang muslim shalat di tempat yang bersih di gereja. Ini pendapat Al-Hasan, Umar bin Abd al-Aziz, al-Sya'bi, al-Auza'i, Sa'id bin Abd al-Aziz, konon juga Umar bin Khattab dan Abu Musa al-Asy'ari. Sementara Ibnu Abbas dan Imam Malik, berpendapat "makruh" (kurang baik) karena di sana ada gambar patung. Menurut kami (tidak demikian). Nabi pernah masuk ke dalam Ka'bah yang di dalamnya ada gambar patung. Lagi pula shalat di situ termasuk dalam ucapan Nabi : jika waktu shalat telah tiba, kerjakan shalat di manapun, karena di manapun bumi Allah adalah masjid (tempat sujud)". (Al-Mughni, I/759). Lihat juga dalam : al-Ibshaf, I, 496.
Mengapa mereka berbeda pandangan. Boleh jadi itu karena perspektif dan psikologi masing-masing yang berbeda.
2. Prof Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia dan Selandia Baru Gus Nadirsyah Hosen meluruskan maksud dari fatwa “Hukum Masuk Gereja adalah Kafir” dari buku karya Pendiri NU Hadratus Syaikh K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari.
“Sekarang ini lagi ramai beredar kutipan ceramah seorang Ustadz yang mengutip dari kitab ‘Risalah Ahlus Sunnah wal Jamaah’ karya Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari yang dikatakan bahwa beliau Hadratus Syekh telah mengharamkan dan menyatakan kafir mereka yang masuk ke gereja,” ujar Gus Nadir dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu 8 Mei 2021.
Gus Nadir menyampaikan kutipan yang dimaksud Ustadz itu sebagai berikut:
قال في الأنوار: ويقطع بتكفير كل قائل قولا يتوصل به إلى تضليل الأمة وتكفير الصحابة، وكل فاعل فعلا لا يصدر إلا من كافر كالسجود للصليب أو النار، أو المشي إلى الكنائس مع أهلها بزيهم من الزنانير وغيرها. وكذا من أنكر مكة أو الكعبة أو المسجد الحرام إن كان ممن يظن به علم ذلك وممن خالط المسلمين..
“Dikatakan dalam kitab ‘Al-Anwar’ bahwa dipastikan atas kekafirannya orang yang mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang menyesatkan umat, dan juga orang yang mengkafirkan para sahabat. Dan juga, orang yang melakukan pekerjaan yang tidak dilakukan, kecuali oleh orang-orang kafir, seperti sujud kepada salib dan api, berjalan ke gereja bersama jamaah gereja, memakai baju pastor, dan lain-lain. Begitu juga orang yang mengingkari keberadaan Mekkah, Ka’bah, dan Masjidil Haram.”
Gus Nadir menegaskan bahwa larangan yang dimaksud oleh Hadratus Syekh itu adalah mereka yang ikut ibadah kaum salib, bergabung bersama jemaat mereka, dan turut memakai atribut keagamaan mereka.
“Jadi frase ‘berjalan ke gereja’ dalam teks di atas itu tidak bisa dibaca sebagai ‘masuk ke ruangan gereja’, tapi harus dibaca keseluruhan konteksnya, yaitu bukan sekadar berjalan atau masuk ke gereja, tapi bergabung bersama jemaat mereka dalam hal ibadah maupun memakai atribut keagamaan,” jelasnya.
Oleh karena itu, katanya, kurang tepat jika dikatakan bahwa Hadratus Syekh mengkafirkan mereka yang masuk ke dalam gereja secara mutlak, sebab ada kalimat awal dan lanjutannya yang juga harus dibaca secara utuh sesuai konteks kalimat.
“Jika pembacaan saya di atas dianggap lebih tepat, maka mereka yang masuk ke gereja dengan tujuan tertentu selain untuk beribadah menyembah salib dan memakai atribut gereja, tidak bisa begitu saja dianggap kafir, menurut kitab Hadratus Syekh di atas,” pungkas Gus Nadir.
3. Lembaga Bahtsul Masail PBNU
Menanggapi masalah Muslim masuk gereja, Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU Kiai Mahbub Maafi mengatakan apa yang dilakukan Gus Miftah hanya sebatas hadir dalam peresmian gereja dan tidak ada masalah. Memang, beberapa pandangan ulama berbeda dalam hukum masuk gereja atau tempat ibadah agama lain.
“Ada perbedaan ulama ketika menyangkut hukum soal masuk gereja atau tempat ibadah agama lain. Beberapa pandangan ulama menyatakan makruh masuk gereja atau sinagoge. Sebagian mahzab Syafi’i tidak membolehkan bagi Muslim masuk tempat ibadah non-Muslim, kecuali mendapat izin,” katanya.
Sementara sebagian lagi menyatakan tidak halal memasuki tempat ibadah non-Muslim walaupun tanpa izin. Mahzab lain, seperti Hanbali membolehkan masuk tempat ibadah agama lain. “Jadi, pendapat dari para ulama bermacam-macam. Ada yang katakan makruh, boleh, boleh dengan izin, bahkan ada yang membolehkan melakukan shalat di sana,” ujar dia.
Namun, menyangkut soal Gus Miftah, tetap tidak ada yang harus dipermasalahkan. Sebab, dia hanya datang di peresmian gereja, tidak ada masalah.
Advertisement