Tiga Organisasi Sipil Gugat JKN, Karena Dinilai Diskriminatif
Tiga organisasi masyarakat sipil yaitu Rumah Cemara, Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), dan Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) mengajukan gugatan hak uji materiil (HUM) atas Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang perubahan kedua atas Peraturan Presiden No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Ketua Badan Pengurus Rumah Cemara selaku pemohon HUM, Aditia Taslim mengatakan, gugatan uji materiil ini didasari karena JKN melakukan tindakan diskriminatif terhadap gangguan kesehatan atau penyakit akibat ketergantungan obat dan/atau alkohol serta gangguan akibat menyakiti diri sendiri atau akibat melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri.
Selain itu, ketentuan seperti yang tertuang dalam Pasal 52 huruf i dan huruf j Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan--selanjutnya disebut Pasal 52 huruf i dan j Perpres No. 64/2020 bertentangan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan di atasnya, seperti UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU Kesehatan, dan UU Kesehatan Jiwa.
"Atas hal tersebut, kami selaku organisasi masyarakat sipil mengajukan gugatan Hak Uji Materiil (HUM) atas Perpres tersebut kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Permohonan Hak Uji Materiil diajukan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) selaku kuasa hukum kami," katanya dalam rilis yang diterima ngopibareng.id, Senin, 10 Agustus 2020.
Lanjut Aditia, keberadaan ketentuan tersebut memuat stigma dan diskriminatif terhadap orang dengan HIV-AIDS dan pengguna narkotika karena mengecualikan seluruh layanan kesehatan bagi orang dengan HIV-AIDS dan pecandu narkotika dalam jaminan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Seperti diketahui, hak atas jaminan sosial yang dijamin UUD 1945, diwujudkan dalam kerangka Jaminan Sosial Nasional yang melingkupi salah satunya Jaminan Kesehatan. Dalam pelaksanaannya, hal ini dilakukan oleh BPJS sebagai penyelenggara program jaminan sosial. Melalui program BPJS, masyarakat yang terdaftar di dalam program JKN dapat menikmati fasilitas berupa bantuan untuk pengobatan baik secara penuh maupun dengan subsidi.
"Sayangnya, program JKN yang diselenggarakan BPJS tidak serta merta dapat menjamin pembiayaan pengobatan seluruh jenis penyakit. Pengecualian JKN terhadap beberapa layanan kesehatan dinyatakan di dalam Pasal 26 UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang diatur lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 52 Perpres 75 Tahun 2019 jo. Perpres 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan," katanya.
Ketentuan ini menyatakan pengecualian terhadap jenis layanan kesehatan yang tidak dijamin oleh BPJS, namun hal yang berbeda justru dimuat dalam ketentuan huruf (i) dan (j) Perpres No. 64/2020 tersebut, pengecualian justru diberlakukan kepada jenis penyakit bukan jenis layanan yakni kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat dan/atau alkohol serta gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri, atau akibat melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri.
Pemohon di dalam gugatan HUM ini menilai bahwa ketentuan Pasal 52 huruf (i) dan (j) Perpres No. 64/2020 bertentangan dengan sejumlah undang-undang pada aspek berikut:
1. Bertentangan dengan definisi Pelayanan Kesehatan dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan UU Kesehatan. Pasal 26 UU SJSN mengamanatkan pembentukan peraturan presiden yang menjelaskan jenis-jenis pelayanan yang tidak dijamin Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Yang diartikan sebagai pelayanan merujuk pada Pasal 22 UU SJSN adalah tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga medis. Dalam UU Kesehatan dijelaskan bahwa pelayanan kesehatan adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan dengan tujuannya masing-masing yang terdiri dari pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Sehingga mandat Pasal 26 ini adalah pembuatan Perpres yang mengatur jenis-jenis kegiatan atau tindakan medis apa saja yang tidak dijamin BPJS, namun Pasal 52 huruf i dan j Perpres No. 64/2020 tentang Jaminan Kesehatan justru memuat pengecualian penjaminan berdasarkan gangguan kesehatan/penyakit bukan jenis pelayanan seperti yang dimandatkan UU SJSN dan UU Kesehatan;
2. Bertentangan dengan Sistem Urun Biaya dalam UU SJSN. Dalam Pasal 22 ayat (2) UU SJSN dan penjelasannya menyatakan untuk pelayanan kesehatan yang sangat dipengaruhi selera dan perilaku peserta dapat dikenakan sistem urun biaya. Ketentuan Pasal 52 huruf i dan j Perpres No. 64/2020 tentang Jaminan Kesehatan apabila merujuk kepada UU SJSN dapat dikatakan berkaitan dengan pelayanan yang sangat dipengaruhi selera dan perilaku peserta. Terhadap jenis pelayanan kesehatan yang seperti ini, menurut UU SJSN berlaku ketentuan urun biaya, yang artinya jaminan dari BPJS hanya diberikan sejumlah persentase tertentu dari total biaya pelayanan, dan bukan sama sekali dikecualikan sebagaimana diatur di dalam Perpres No. 64/2020;
3. Bertentangan dengan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR, UU Kesehatan, dan UU SJSN mengenai hak kesehatan tanpa diskriminasi. Keempat undang-undang ini mengatur jaminan atas hak kesehatan melalui penyelenggaraan pelayanan kesehatan tanpa diskriminasi. Ketentuan Pasal 52 huruf i dan j Perpres No. 64/2020 menyalahi ketentuan ini dengan mengecualikan gangguan kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat dan/atau alkohol untuk memperoleh layanan kesehatan. Terlebih lagi, dalam tataran kebijakan yang sudah menjadi komitmen negara dalam UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika dijelaskan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahguna narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Ketentuan Pasal 52 huruf i dan j Perpres No. 64/2020 mendiskriminasi para pengguna dan pecandu obat yang berdasarkan UU Narkotika memiliki hak untuk direhabilitasi;
4. Bertentangan dengan pengaturan hak atas kesehatan orang dengan adiksi narkotika, psikotropika, dan zat adiktif dalam UU Kesehatan Jiwa. Dalam UU Kesehatan Jiwa Pasal 62 ayat (2) dijelaskan bahwa tindakan medis atau pemberian obat psikofarmaka terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) ditanggung oleh program Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dalam ketentuan dalam UU Kesehatan Jiwa juga dijelaskan masalah gangguan jiwa dapat timbul akibat adanya adiksi narkotika, psikotropika, dan zat adiktif. Sehingga adanya pembatasan dalam ketentuan Pasal 52 ayat (1) huruf i dan huruf j Perpres 64/2020 terhadap orang dengan gangguan kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat dan/atau alkohol dapat membatasi akses ODGJ untuk mendapatkan obat psikofarmaka yang dijamin dalam program Sistem Jaminan Sosial Nasional.
"Berdasarkan argumentasi tersebut, kami organisasi masyarakat sipil yang bekerja pada advokasi perubahan kebijakan dan pemberdayaan orang dengan HIV-AIDS, pengguna dan pecandu narkotika, serta pekerja seks, mengajukan HUM kepada MA untuk menyatakan bahwa Pasal 52 ayat (1) huruf i dan j Pepres JKN bertentangan dengan UU SJSN, UU Kesehatan, UU HAM, UU Kesehatan Jiwa, UU Pengesahan ICCPR dan mencabut ketentuan tersebut dari Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan," katanya.