Tiga Klasifikasi Maqashid Syariah, Demi Kemaslahan Umat Manusia
PP Muhammadiyah secara tegas menyoal praktik nikah siri di tengah masyarakat. Nikah siri justru dinilai melanggar Maqashid Syariah. Artinya, justru ada pihak-pihakyang dirugikan dalam praktik di tengah umat Islam, yang tak mencatatkan bangunan keluarga dalam adiminstrasi negara. Seperti Kementerian Agama atau catatan sipil. Meskipun hal itu, sah menurut syariat agama Islam.
Guna memperjelas masalah tersebut, berikut dijelaskan soal tiga klasifikasi Maqashid Syariah:
Maqashid Syariah seringkali dipandang sebagai sisi usul fikih yang lebih luwes dan dirasa dapat merevitalisasi dan mendinamisasi hukum Islam. Alasannya adalah karena perspektif Maqashid bertitik tolak dari normanorma dasar hukum Islam yang merupakan nilai-nilai universal Islam itu sendiri sehingga lebih lentur, tetapi dapat menyapa berbagai masalah kekinian secara arif.
Menurut Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Syamsul Anwar arti pokok dari kata Maqashid adalah maksud, kehendak, atau tujuan yang hendak dicapai oleh syariah melalui ketentuan-ketentuan hukumnya. Hal ini sejalan dengan sejumlah para pakar hukum Islam seperti Manubah Burhani yang mendefinisikan Maqashid sebagai “makna-makna yang hendak diwujudkan oleh Pembuat Syariah melalui ketentuan-ketentuan hukum syariah”.
“Kata kunci untuk mendefinisikan Maqashid Syariah dalam beberapa definisi yang dikemukakan terdahulu adalah “makna”. Apa yang dimaksud dengan makna?” tanya Syamsul dalam Pengajian Tarjih, dikutip dari situs resmi muhammadiyah.or.id, Minggu 17 Juli 2022.
Istilah ‘makna’ dalam literatur hukum Islam memiliki arti yang luas, dan dalam sejumlah kasus berbeda dengan pengertian sehari-hari dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia makna berarti: 1) arti, yaitu pengertian objektif dari sebuah kata; 2) arti penting, sehingga ‘bermakna’ berarti mempunyai arti penting (signifikansi); dan 3) maksud suatu ucapan atau pernyataan, yaitu pengertian subjektif dari suatu ucapan atau pernyataan.
Makna dan Arti Khusus
Syamsul menjelaskan, dalam hukum Islam kata ‘makna’ selain memiliki pengertian leksikal seperti ‘arti’ atau ‘maksud’, istilah ‘makna’ mempunyai beberapa arti khusus. Pertama, makna berarti maksud atau tujuan. Kedua, ‘makna’ berarti ilat (‘illah).
Menurut Syamsul, ilat dalam usul fikih ada dua macam: ilat yang merupakan kausa efisien (al-‘illah al-fa’ilah), dan ilat yang merupakan kausa final (al-‘illah al-gha’iyyah). Ilat yang merupakan kausa efisien adalah penyebab ditetapkannya suatu ketentuan hukum dan ilat ini mendahului penetapan hukum. Misalnya, ilat ditetapkannya rukyat oleh Nabi Saw. sebagai cara menentukan awal Ramadan atau Syawal adalah keadaan umat pada waktu itu yang masih ummi (belum menguasai tulis baca dan hisab).
Sedangkan ilat yang merupakan kausa final adalah tujuan yang hendak diwujudkan melalui suatu penetapan hukum. Ilat ini terwujud setelah, dan didahului oleh, penetapan hukum. Contohnya penetapan keharaman merokok dalam beberapa fatwa kontemporer ilatnya adalah untuk meningkatkan pemeliharaan kesehatan dan menghindari mudarat karena diyakini bahwa rokok membawa mudarat bagi kesehatan.
“Makna dalam arti ilat menurut pengertian kedua (ilat dalam arti kausa final) inilah yang sesungguhnya merupakan Maqashid Syariah. Sedang makna dalam arti ilat menurut pengertian pertama (kausa efisien) tidak dapat disebut Maqashid Syariah,” tegas Syamsul.
Tiga Klasifikasi Maqashid Syariah
Dalam Pengajian Tarjih, Syamsul juga menerangkan tentang klasifikasi Maqashid Syariah. Menurutnya, dari segi keluasan cakupannya, Maqashid Syariah dibedakan menjadi tiga macam: umum (‘ammah), parsial (juz’iyyah), dan partikular (khashshah).
Maqashid Syariah umum adalah tujuan umum syariah, yaitu mewujudkan maslahat. Maqashid Syariah khusus adalah tujuan syariah yang dapat ditangkap dan diamati pada sekelompok ketentuan syariah pada suatu bab, bagian, atau hal tertentu dari syariah, seperti terkait masalah jual beli, atau masalah perkawinan. Maqashid Syariah partikular adalah Maqashid Syariah dalam satu ketentuan hukum tertentu, seperti perintah rukyat.
Maslahah bagi Manusia
Selain itu, para ulama usul fikih menetapkan bahwa Maqashid Syariah itu adalah mewujudkan maslahat bagi manusia di dunia dan akhirat.
Para ulama membedakan maslahat menjadi tiga tingkatan, yaitu: maslahat esensial (dharuriyyah), maslahat primer (hajiyyah), dan maslahat komplementer (tahsiniyyah).
Maslahat esensial (dharuriyyah) adalah kepentingan yang harus ada demi kelangsungan tatanan hidup manusia yang baik secara duniawi maupun secara ukhrawi di mana tidak terpenuhinya kepentingan itu akan merusak tatanan tersebut. Maslahat primer (hajiyyah) adalah kepentingan yang harus ada agar hidup manusia dapat berjalan wajar dan normal di mana apabila kepentingan itu tidak terpenuhi, maka akan membuat hidup manusia berada dalam kondisi yang amat berat. Maslahat komplementer (tahsiniyyah) adalah kepentingan yang pemenuhannya membuat hidup manusia lebih estetik.
“Maqashid Syariah adalah segala hal tentang tujuan dan makna yang terpatrikan dalam berbagai ketentuan syariah guna mewujudkan maslahat bagi manusia. Jadi, tujuan hukum itu dapat dinyatakan sebagai pencerminan kehendak ilahi,” ujar Guru Besar Hukum Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini.
Advertisement