Tiga Keutamaan Sikap Memaafkan bagi Kesehatan Jiwa
Setiap manusia tidak luput dari kesalahan semasa hidup yang dijalaninya. Kendati demikian, sikap memaafkan bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan apabila seseorang menerima perbuatan buruk dari yang lain.
Sejatinya perasaan berat untuk memaafkan merupakan hal yang manusiawi untuk dirasakan. Memaafkan kesalahan orang lain berbanding lurus dengan menerima sekaligus melupakan perbuatan buruk tersebut.
Namun, dalam Al-Quran Allah justru berulang kali memerintahkan kepada hamba-Nya untuk memaafkan. Sebagaimana salah satunya yang termaktub dalam dalam surah Al-A’raf Imran ayat 199 yang berbunyi:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجٰهِلِيْنَ
“Jadilah pemaaf, perintahlah (orang-orang) pada yang makruf, dan berpalinglah dari orang-orang bodoh.”
Kata (خُذ) dalam ayat di atas yang berarti ambillah bermakna memperoleh sesuatu untuk digunakan agar memberi mudarat. Prof Quraish Shihab menjelaskan dalam Tafsir al-Misbah bahwa Allah memerintahkan kepada manusia untuk memaafkan kesalahan orang lain justru dengan menggunakan kata tersebut.
Hal tersebut mengisyaratkan agar manusia memilih untuk memaafkan kesalahan orang lain dibandingkan dengan membalas atau bahkan lebih buruk lagi lebih dari yang pelaku perbuat.
Melihat pentingnya penekanan memaafkan yang diperintahkan oleh Allah, ternyata memiliki relevansi bagi kesehatan seseorang. Apa sajakah manfaat memaafkan? Berikut 3 manfaat memaafkan bagi kesehatan seseorang.
Pertama, terhindar dari penyakit jiwa.
Dalam kesehatan mental, gangguan penyakit jiwa diartikan sebagai kumpulan dari keadaan yang tidak normal baik kaitannya dengan jiwa maupun jasmani. Kesehatan mental dapat dilihat dari keadaan seseorang yang terhindar dari penyakit jiwa. Adapun salah satu cara yang dapat menyembuhkannya adalah sikap memaafkan.
Sebagaimana yang disebutkan dalam surah al-A’raf ayat 199 sebelumnya bahwa memaafkan sekaligus perilaku membalas perbuatan buruk dengan kebaikan. Tentunya cara ini tidak akan mampu ditempuh bagi mereka yang masih menyimpan dendam di dalam hati.
Bahkan Al-Quran menyebutkan sikap memaafkan disandingkan dengan perbuatan baik. Firman Allah dalam surah as-Syura ayat 40:
وَجَزٰۤؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا ۚفَمَنْ عَفَا وَاَصْلَحَ فَاَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَ
“Balasan suatu keburukan adalah keburukan yang setimpal. Akan tetapi, siapa yang memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat), maka pahalanya dari Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang zalim.”
Ayat di atas menjelaskan bahwa memaafkan merupakan sikap yang akan menghindarkan seseorang dari perbuatan zalim atau tidak terpuji.
Berkenaan dengan hal ini, dalam ilmu psikologi dikenal sebuah istilah yaitu “neurosis”. Istilah ini pertama kali diciptakan oleh pakar dari Inggris yaitu William Cullen.
Neurosis merupakan sebagian dari gangguan yang didasari oleh kecemasan, gangguan ini umumnya lebih didasari oleh kepribadian atau kondisi psikologi yang lemah kurang mantap atau terlalu kaku dalam menghadapi berbagai permasalahan.
Seseorang yang memiliki jiwa pemaaf tentunya tidak akan mengalami gangguan kecemasan. Kenapa? Sebab hatinya lapang dan luas untuk memaafkan kesalahan orang lain. Sehingga tidak menyisakan dendam yang justru memberatkan hatinya.
Kedua, kemampuan menyesuaikan diri dengan orang lain.
Setiap manusia kerap berusaha untuk diterima dengan lingkungannya dengan cara menyesuaikan diri dengan tempat dan kondisi di mana ia tinggal. Tidak lain tujuannya adalah agar mereka mendapatkan kedamaian dan rasa aman selama hidup bermasyarakat.
Kedamaian, keamanan, dan kebahagiaan merupakan indikator untuk membangun kesehatan khususnya sehat mental.
Di dalam surah as-Syura ayat 40 sebelumnya bahkan disebutkan memaafkan orang yang telah berbuat jahat maka akan mendapat pahala dari sisi Allah. Apakah benar hanya sekadar nilai pahala saja?
Tentunya sikap memaafkan juga mengisyaratkan adanya jalinan hubungan harmonis terhadap orang yang melakukan kesalahan. Oleh sebab itu, memaafkan merupakan salah satu pilar untuk membangun keharmonisan hubungan dengan orang lain.
Ketiga, kesanggupan dalam menghadapi masalah.
Pada poin ketiga ini, Allah mengisyaratkan dalam firman-Nya surah an-Nur ayat 22 yang berbunyi:
وَلَا يَأْتَلِ اُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ اَنْ يُّؤْتُوْٓا اُولِى الْقُرْبٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَالْمُهٰجِرِيْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۖوَلْيَعْفُوْا وَلْيَصْفَحُوْاۗ اَلَا تُحِبُّوْنَ اَنْ يَّغْفِرَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗوَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan (rezeki) di antara kamu bersumpah (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(-nya), orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah. Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa memaafkan bukan sekadar dilakukan secara lisan saja. Melainkan juga Allah memerintahkan untuk berlapang dada. Sikap ini adalah untuk menghapus kesalahan orang lain, sehingga tidak menyisakan dendam di hati. Lalu apa kaitannya dengan kesehatan?
Dalam ilmu psikologi, seseorang yang mampu menghadapi masalah dan menjalin hubungan harmoni adalah mereka yang berkeinginan kuat untuk melakukan perubahan positif di masyarakatnya. Perubahan tersebut seringkali memberikan dampak baik bagi kehidupan manusia, sebagaimana halnya berpikir positif.
Dengan demikian, pola hidup sehat yang lahir dari sikap memaafkan akan melahirkan hubungan yang sehat antar manusia. Sikap harmonis akan tumbuh, saling menghargai dan bekerja sama untuk memecahkan persoalan yang ada, bukan justru saling serang dan merasa benar.
Demikianlah segelintir manfaat dari sikap memaafkan bagi kesehatan seseorang. Perilaku ini tentunya tidak mudah, harus terus dipupuk dan diupayakan agar terus tumbuh dan melekat dalam diri seseorang. Wallahu’alam. (Sumber: mui-digital)