Tiga Kepala Daerah Malang Raya Tersangka KPK, Ini Kata Dosen UB
Bupati Malang, Rendra Kresna baru saja ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap dan gratifikasi pada Kamis 11 Oktober 2018 lalu. Dengan penetapan itu, tercatat tiga kepala daerah di Malang Raya tersangkut kasus korupsi.
Seperti diketahui, di wilayah Malang Raya terdapat tiga kepala daerah, yakni Wali Kota Malang, Bupati Malang dan Wali Kota Batu. Dalam dua tahun terakhir, KPK telah menetapkan ketiga kepala daerah di Malang Raya sebagai tersangka kasus rasuah.
Ketiga kepala daerah tersebut yakni Wali Kota Malang, Mochammad Anton; Wali Kota Batu, Eddy Rumpoko; dan terakhir Bupati Malang, Rendra Kresna. Khusus, Wali Kota Batu, Eddy Rumpoko ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT).
Pengamat Politik dari Universitas Brawijaya (UB), Wawan Sobari mengatakan fenomena kepala daerah tersangkut kasus korupsi ini sebenarnya tidak hanya terjadi di wilayah Malang Raya saja. Menurutnya kasus ini sudah kerap terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.
"Saya lihat ini resiko dari praktek demokrasi atau Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) secara langsung. Dimana para bupati, wali kota atau calon itu harus keluar biaya besar untuk Pilkada," katanya, Minggu 14 Oktober 2018.
Wawan menyebutkan bahwa biaya yang dikeluarkan setiap calon kepala daerah tidak hanya dikeluarkan saat pencalonan Pilkada saja. Namun biaya juga dikeluarkan saat kepala daerah sudah menjabat untuk memelihara konstituennya.
"Karena mereka harus tetap berterimakasih pada mesin politik. Itu yang kemudian dalam persidangan dan kasus yang diungkap KPK, di Jombang, Mojokerto, di beberapa tempat lain menunjukan jika itu ada kaitannya dengan Pilkada," bebernya.
Sementara itu, Wawan menyebutkan khusus kasus di Kota Malang tidak ada kaitannya dengan Pilkada. Dalam kasus tersebut, Wali Kota Malang, Mochammad Anton terbukti memberi hadiah atau janji kepada puluhan anggota DPRD dalam pembahasan dan pengesahan APBD Perubahan Kota Malang tahun anggaran 2015.
"Selain problem Pilkada tetapi juga kaitan dengan DPRD itu lebih banyak karena perilaku predator para politisi kita yang belum bisa lepas dari itu. DPRD juga gitu, dia butuh memelihara konstituen jadi cukup banyak faktor yang mendorong itu," ungkapnya.
Meski begitu, Dosen Politik UB ini menilai fenomena kepala daerah tersangkut korupsi ini ada kaitannya dengan praktek demokrasi di Indonesia. Fenomena tersebut merupakan resiko dari penerapan sistem demokrasi yang mendekatkan sistem prosedural dibanding substansial.
"Demokrasinya tidak salah, Pilkada tidak salah, yang salah itu adalah pelaku. Tetapi selain pelaku, siapa yang bertanggung jawab? Ya, partai politik. Karena kalau kita buka UUD 45, UU parpol, UU DPR, DPD atau UU MD3 semua muara kekuasaan ada di partai politik," jelasnya.
"Jadi parpol itu aset demokrasi tetapi mereka tidak berhasil mencegah praktek rektrokasi, paling darurat itu. Mau jadi legislator, kepala daerah hingga presiden juga partai politik sumbernya. Asal muasal dari partai politik. Sekarang kalau ditarik permasalahannya, rekrutmen praktek meraih dukungan ya kembali ke partai politik," pungkasnya.