Tiga Kali Lipat Beban Penantang
Debat calon presiden kedua dinilai banyak pihak kurang seru. Joko Widodo sebagai petahana dianggap sangat menguasai masalah. Sedangkan Prabowo Subianto sebagai penantang kekurangan senjata.
Memang sungguh amat berat beban menantang petahana. Harus punya modal dasar tiga kali lipat dari petahana. Modal visi, modal data, dan modal narasi. Tanpa itu sungguh amat berat menjadi penantang.
Visi Prabowo lewat Indonesia Menang memang terasa wah. Tapi bukan berarti tidak ada banyak pertanyaan. Menang dari siapa? Menang lewat apa? Menang dalam hal apa? Dan seterusnya.
Sementara Joko Widodo mengangkat visi Indonesia Maju. Istilah maju masih lebih konkret. Ia bisa dianggap tahapan dari sebelumnya. Maju dalam hal teknologi. Maju di bidang ekonomi. Bisa juga maju di dalam ilmu pengetahuan.
Visi sebetulnya adalah mimpi. Mimpi yang kita rumuskan menjadi sebuah cita-cita. Karena itu selalu disertai dengan misi. Sesuatu yang lebih konkret. Mimpi Indonesia sejahtera, misalnya. Maka misinya bisa berupa meningkatnya nilai tukar petani dan seterusnya.
Petahana lebih gampang menyampaikan misinya. Sebab, ia sedang dalam posisi sudah dan sedang mewujudkan mimpi sebelumnya. Jika mimpi sebelumnya sudah ada yang bisa dicapai, maka ia gampang meraih kepercayaan publik. Apa yang sudah dicapai menjadi pendukungnya.
Penantang masih perlu membuat mimpi yang lebih baik dari petahana. Masih juga harus menjadikan mimpi itu mungkin dicapai. Untuk meyakinkan bahwa penantang bisa menggapai mimpi itu, maka ia harus mampu menarasikannya lebih meyakinkan. Mampu menjadikan mimpi itu sebagai mimpi bersama.
Mimpi memang bisa dibangun dengan menjawab masalah yang faktual. Penantang bisa mendata sejumlah masalah yang dihadapi masyarakat. Terus dari masalah itu dibangun mimpi. Mimpi untuk keluar dari masalahnya. Sehingga, mereka yang sedang menghadapi masalah yakin pembikin mimpi adalah jalan keluarnya.
Namun, untuk mengubah masalah menjadi mimpi diperlukan data kuat. Data tentang kebenaran masalah tersebut. Data tentang seberapa besar masalah yang diambil merupakan masalah sebagian besar orang. Bukan hanya masalah sejumput manusia yang telah ditemuinya.
Contohnya tentang masalah air. Apakah bangsa Indonesia mayoritas punya persoalan tentang air. Sejumlah masyarakat perkotaan ya. Ada kota yang ketersambungan layanan air bersihnya masih kecil. Tapi, mereka masih bisa mengatasinya dengan mengambil air tanah.
Barangkali beda dengan negara seperti Singapura. Ia masih harus mengimpor air bersih dari Malaysia. Sehingga, kalau di sana ada debat menjelang pemilu Perdana Menteri, masalah kemandirian air bersih ini menjadi sangat penting. Menjadi perhatian utama mayoritas calon pemilihnya.
Verifikasi data yang menjadi bahan perumusan masalah untuk membangun mimpi oleh penantang harus lebih serius. Tiga kali lebih serius ketimbang petahana. Datanya harus kuat tak terbantahkan. Apalagi jaman sekarang yang setiap orang gampang melacak data digital setiap saat.
Setelah soal data, penantang perlu modal kuat dalam manarasikan mimpi dan data-data yang dipakai dasarnya. Narasi menjadi bagian penting untuk meyakinkan orang bahwa apa yang disampaikan adalah benar. Karena benar, maka mereka akan percaya. Setelah percaya, harapannya akan memilihnya.
Narasi tidak ada kaitanyanya antara benar dan salah. Bisa saja ia menarasikan sebuah data dan fakta yang salah. Namun, kalau mampu menarasikan secara benar, bisa saja ia dipercaya. Publik terkadang tidak ngeh dengan detail data. Tapi lebih terpukau dengan gaya narasi mereka yang dilihat.
Banyak sekali dalam debat politik, kandidat mengungkap data yang salah. Namun, ia menarasikannya dengan lancar. Dengan bahasa yang canggih. Sehingga bisa mengesankan, ''wuik pinter tenan''. Pada saat seperti ini, publik bisa terpukau dengan penampilan dan cara kandidat menarasikannya. Tidak peduli dengan datanya.
Petahana punya pilihan banyak untuk membangun mimpi, mengeskplorasi data, dan membangun narasinya. Petahana bisa menyampaikan mimpi baru dengan menujukkan apa saja yang telah dilakukan. Dengan menyebut angka berapa banyak jalan dibangun, berapa embung dibikin, dan berapa listrik sudah disambungkan.
Menarasikan data dengan angka-angka yang bisa disebut dengan pasti lebih meyakinkan. Apalagi kalau petahana bisa menyampaikan data yang bisa menyinggung kredibilitas penantangnya. Misalnya, saat dipersoalkan penguasaan asing terhadap lahan di negeri kita. Kalau petahana bisa menunjukkan bahwa penantang menjadi bagian penguasa lahan, ini masalah besar.
Singkatnya, Debat Kedua Capres semalam memperkuat keyakinan saya: penantang dalam setiap kontestasi politik perlu tiga kali modal dasar dibanding petahana. Membangun mimpi yang jauh lebih baik, memiliki dan menguasai data, dan kemampuan menarasikan secara meyakinkan.
Dalam debat kedua tadi malam, Prabowo jauh dari sempurna dalam menunjukkan keunggulan dalam ketiga hal tersebut. Jokowi yang dalam debat pertama kurang optimal, kali ini tampil lebih meyakinkan dengan pengusaan data yang kuat sambil masih sempat melempar jab lontaran data yang mematikan lawan.
Saya agak kaget membaca medsos pagi ini. Ada seorang yang selama ini menjadi fan berat dan relawan mati-matian calon presiden penantang menulis di dinding medsosnya; ''Sebetulnya Prabowo ini niat pingin jadi presiden atau nggak sih?.''
Bisa saja fans sejatinya kecewa seperti itu. Tapi perlu juga dipahami tidak gampang menjadi penantang dengan petahana yang tidak biasa-biasa saja. Beban penantang tiga kali lipat dari petahana. Jika bisa mengungguli, bisa diharapkan bisa mewujudkan mimpi. (Arif Afandi)