Tiga Humor Sufi: Anjing, Tongkat, dan Sang Sufi Peti Kuno
Humor Sufi selalu memberikan renungan dengan dimensi esoteris. Dimensi kerohanian terdalam, yang tak jarang berbeda dengan logika orang awam.
Kisah-kisah sufi berikut, terkaiht kehidupan makhluk Allah Ta'ala, seperti anjing, tongkat, dan kehidupan para sufi pada zaman kuno, dengan petinya.
1. Anjing, Tongkat, dan Sang Sufi
Suatu hari seorang lelaki berpakaian sufi sedang berjalan-jalan. Di tengah jalan dilihatnya seekor anjing yang tanpa sebab dan tanpa alasan dipukulnya keras keras dengan tongkat. Anjing itu meraung kesakitan dan lari kepada guru agung Abu Said. Anjing itu rebah di dekat kaki Abu Said, Sambil terus menjilati lukanya, ia menuntut keadilan atas kekejaman lelaki berpakaian sufi itu.
Orang bijak itu mempertemukan keduanya. Kepada Sufi itu ia berkata, "Hai, orang yang tak berbelas kasih! Teganya engkau menyakiti makhluk malang ini! Lihatlah hasil perbuatanmu!"
Jawab Sufi itu, "Sekali-kali ini bukan salahku. Aku memukulnya bukan hanya karena ia menyalak, tetapi juga karena ia telah mengotori jubahku."
Tetapi, anjing itu bersikukuh dengan pengaduannya.
Kemudian, guru tiada banding itu berkata kepada anjing itu, "Daripada menunggu datangnya Pembalasan Terakhir, biarlah kini aku membalas rasa sakit yang kau alami."
Kata anjing itu, "Alangkah luhur dan bijaknya engkau, guru! Ketika kulihat orang ini berpakaian seperti seorang sufi, aku mengira ia takkan menyakitiku. Seandainya kulihat seorang berpakaian biasa, seperti biasa aku akan segera menyingkir dan jalan agar ia bisa lewat. Aku telah salah sangka bahwa penampilan lahiriah menandakan batin yang suci. Jika guru hendak menghukumnya maka ambillah daripadanya jubah Orang Terpilih itu. Tanggalkan darinya pakaian Orang-orang Saleh ..."
Anjing itu telah mencapai Tingkatan tertentu dalam Jalan Kebenaran. Sungguh keliru anggapan bahwa seorang manusia nisaya iebih baik daripadanya.
'Pengondisian' yang digambarkan dalam kisah ini dengan Jubah Darwis sering disalahartikan oleh kaum esoteris dan agamawan dari berbagi kalangan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan pengalaman atau nilai yang sesungguhnya.
Catatan:
Kisah ini, yang diambil dari karya Attar Divine Book (The Ilahi-Nama) beredar di kalangan para darwis dari "Jalan Kesalahan" (Path of Name), dan dianggap berasal dari Hamdun Si Pengelantang, pada abad ke-19.
2. Cara Menangkap Kera
Konon ada seekor kera yang sangat gemar makan buah ceri. Suatu hari dilihatnya buah ceri yang tampak sangat lezat. Ia pun turun dari pohon untuk mengambilnya. Namun ternyata buah itu ada di dalam sebuah botol kaca bening.
Setelah berusaha beberapa kali, kera itu tahu bahwa ia bisa mendapatkan ceri itu dengan cara memasukkan tangannya lewat leher botol. Dan itulah yang dilakukannya; di dalam botol tangannya dikepalkannya memegang buah ceri itu. Namun, segera pula ia sadar bahwa tangannya yang menggengam ceri kuat-kuat terlalu besar untuk ditarik keluar dari leher botol.
Rupanya itu adalah perangkap; seorang pemburu kera yang tahu bagaimana cara berpikir kera telah menaruh botol isi buah ceri itu di sana.
Mendengar rengekan kera, Si Pemburu datang mendekat dan kera pun berusaha melarikan diri. Tetapi, karena tangannya masih terjepit dalam botol, kera itu tak bisa berlari kencang; begitulah pikir kera itu.
Sekalipun berpikir demikian, kera itu tetap saja memegang erat buah ceri itu. Si Pemburu pun menangkapnya. Sesaat kemudian, Si Pemburu memukul keras-keras siku kera itu sehingga genggamannya mengendur.
Tangan kera itu bebas dari botol, namun ia tertangkap oleh Si Pemburu. Si Pemburu memanfaatkan buah ceri dalam sebuah botol, dan ia sama sekali tidak kehilangan kedua benda itu.
Catatan:
Kisah ini adalah salah satu dari kisah-kisah dalam kumpulan Buku Amu Daria (The Book of Amu Daria).
Amu atau Sungai Jihun di Asia Tengah dikenal dalam peta modern sebagai Oxus. Agak membingungkan bagi mereka yang berpikiran harafiah, kata itu merupakan istilah kaum darwis untuk bahan-bahan tertentu seperti kisah ini, dan juga untuk merujuk pada kelompok tanpa nama guru-guru kelana yang berpusat di dekat Aubshaur, di pegunungan Hindukush di Afghanistan.
Versi ini dikisahkan oleh Khwaja Ali Ramitani, yang wafat tahun 1306.
3. Peti Kuno Nuri Bey
Nuri Bey adalah seorang Albania yang suka termenung dan disegani, yang menikahi wanita berusia jauh lebih muda darinya.
Suatu malam ketika ia pulang ke rumah lebih awal dari biasanya, seorang pelayan yang setia datang padanya dan berkata:
"Istri Tuan berperilaku mencurigakan. Ia berada di kamarnya dengan sebuah peti besar, cukup besar untuk ditempati seorang lelaki; peti itu dulunya milik nenek Tuan. Mestinya peti itu hanya berisi beberapa sulaman kuno. Hamba yakin di dalamnya kini terdapat lebih dari sekadar sulaman. Tetapi nyonya tak akan mengizinkan hamba, pelayanmu yang paling setia, untuk melihat ke dalam peti."
Nuri pergi ke kamar istrinya, dan menemukannya duduk sedih di sebelah peti kuno besar itu.
"Boleh aku menengok isi peti itu?"
"Karena kecurigaan seorang pelayan, atau karena engkau tidak percaya padaku?"
"Bukankah lebih mudah bila engkau membukanya saja tanpa memusingkan alasanku?" timpal Nuri.
"Tidak bisa."
"Apa petinya terkunci?"
"Ya."
"Di mana kuncinya?"
Ia menunjukkan kunci itu, "Usir pelayan itu, dan akan kuberikan kunci ini padamu."
Pelayan itu dipecat. Wanita itu menyerahkan kunci peti lalu keluar kamar dengan pikiran galau.
Nuri Bey berpikir lama. Kemudian, dipanggilnya empat orang tukang kebunnya. Malam itu juga mereka bersama sama mengangkat peti itu tanpa membukanya ke tempat yang jauh, dan menguburnya.
Masalah itu tak pernah diungkit-ungkit lagi.
Catatan:
Kisah yang menggelitik ini yang berulang kali disebutkan memiliki makna mendalam di samping pesan moral yang jelas, merupakan bagian dari naskah para darwis pengembara (Kalandar), yang orang suci panutannya adalah Yusuf dari Andalusia dari abad ketiga belas.
Dahulu jumlah mereka sangat banyak di Turki. Kisah ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, dalam versi yang lebih dikembangkan, lewat buku Stambul Nights karya H.G. Dwight yang terbit di Amerika Serikat tahun 1916 dan 1922.
Sumber: Idries Shah, Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi.
Advertisement