Tiga Humor Gus Dur, Dari Ikan Curian hingga Diskon Rakaat Tarawih
KH Abdurrahman Wahid selalu aktual. Setidaknya, Presiden ke-4 RI ini, selalu menjadi akrab hingga generasi milenial, lewat humor-humornya.
Berikut tiga humor Gus Dur terisimewa saat bulan Ramadhan.
1. Cara Gus Dur Halalkan Ikan Curian
Saat Gus Dur masih berusia belasan tahun, ia menimba ilmu agama di Pondok Pesantren Salaf Asrama Perguruan Islam atau Pesantren API, Tegalrejo, Magelang pada 1957-1959.
Gus Dur bersama beberapa teman-temannya merancang skenario pencurian ikan di kolam milik sang guru, Kiai Chudlori.
Pada waktu itu, Gus Dur menyuruh teman-temannya untuk mencuri ikan di kolam, sementara Gus Dur mengawasi di pinggir kolam.
Gus Dur tak ikut serta masuk kolam, ia hanya di pinggirnya saja, dengan dalih untuk mengawasi jika sewaktu-waktu kiai Chudlori keluar dan melewati kolam.
Tak lama kemudian, Kiai Chudlori yang selalu keluar rumah setiap pukul 01.00 WIB untuk menuaikan salat malam di masjid, melintas di dekat kolam.
Saat itu juga, teman-teman Gus Dur yang justru sedang asyik mengambil ikan, langsung disuruh kabur. Sementara Gus Dur tetap berdiri di pinggir kolam dengan memegang ikan hasil curian.
"Tadi ikan milik Pak Kiai telah dicuri oleh santri-santri bengal dan saya berhasil mengusir para pencuri itu. Ikan hasil curiannya berhasil saya selamatkan," kata Gus Dur kepada Kiai Chudlori.
Atas jerih-payah itu, akhirnya Kiai Chudlori menghadiahkan ikan tersebut kepada Gus Dur, untuk dimasak bersama teman-temannya. Ikan itu pun langsung dimasak dan dinikmati Gus Dur bersama teman-teman bengalnya.
Teman-teman bengal yang disuruh mencuri tadi mengajukan protes kepada Gus Dur. Namun, bukan Gus Dur namanya jika tak bisa berdalih yang lebih penting adalah hasilnya.
"Ah kamu juga ikut makan ikannya. Lagi pula, ikan ini kan sudah halal," kata Gus Dur.
2. Diskon Salat Tarawih ala Gus Dur
Sejak dulu ormas Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dikenal memiliki sejumlah perbedaan, baik secara organisatoris kelembagaan maupun metode memutuskan suatu amalan. Seperti halnya dalam menentukan jumlah rakaat Salat Tarawih.
Bagi NU, Salat Tarawih 23 rakaat, sedangkan Muhammadiyah cukup 11 rakaat. Bagi KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang NU sejati, perbedaan ini disikapi santai seperti kebiasaannya.
Suatu hari, Gus Dur diundang berbuka puasa di kediaman Presiden ke-2 RI Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta Pusat. Ia diminta untuk memimpin Salat Tarawih oleh Soeharto. Namun, ia mengajukan Kiai Asrori untuk menggantikannya. Sebelum pamit pergi, Gus Dur sempat menawarkan jumlah Salat Tarawih apakah mengikuti NU yang lama atau NU yang baru.
"Memang kalau NU lama, salatnya bagaimana, Gus?" tanya Soeharto.
"Kalau NU yang lama, Tarawih dan Witirnya 23 rakaat," jawab Gus Dur.
"Kalau NU yang baru, Gus?"
"Kalau NU yang baru diskon 60 persen. Tarawih dan Witirnya 11 rakaat," jelas Gus Dur sembari tertawa.
Mendengar itu, Soeharto pun mencoba memilih NU gaya baru mumpung mendapat diskon. Begitulah cara Gus Dur mengurai sebuah pandangan yang kaku terhadap perbedaan. Menurutnya, perbedaan adalah kesempatan untuk mempelajari keunikan dalam hidup ini.
3. Presiden Tak Berpengalaman
Akhirnya, Gus Dur pun pada digilirannya berada pada posisi seperti Soeharto. Gus Dur menjadi Presiden ke-4 RI.
Ada kisah lucu bagaimana Gus Dur memilih menteri-menterinya. Hal itu pernah diceritakan oleh Mahfud MD. Saat baru diangkat sebagai presiden, Gus Dur menawari Mahfud menjadi menteri pertahanan.
Mahfud MD jelas kaget. Dia tidak punya latar belakang militer atau pertahanan. Pria ini memang lebih terkenal sebagai akademisi.
“Maksudnya menteri pertanahan mungkin Gus?” balas Mahfud.
“Bukan, menteri pertahanan.” jawab Gus Dur.
“Loh Gus saya kan nggak punya pengalaman jadi menteri pertahanan, kok dipilih?” kata Mahfud.
Enteng saja Gus Dur menjawab: “Saya juga nggak punya pengalaman jadi presiden bisa dipilih.”
Mahfud tertawa. Dia akhirnya mau menjadi menteri pertahanan.