Tiga Hal Penting! Kelemahan Alasan Pelarangan Mengucapkan Sayyidina
Ibnu Utsaimin dalam bukunya yang menjalankan kata-kata yang terlarang (sebagaimana terlampir) ditanya mengapa dia hanya menyebut nama "Muhammad" sajam Tanpa tambahan Sayyidina?
Pertanyaan simpel ini dijawab panjang lebar yang intinya:
1. Nabi Muhammad adalah Sayyid, tapi tidak boleh mengucapkan kata itu sebab itu berlebihan (ghuluw)
2. Para sahabat dan Tabi'in lebih mencintai dan menghormati Nabi Muhammad daripada kita tetapi tidak ada dari mereka yang mengucap Sayyidina namun mengucap Rasulullah atau Nabi Muhammad.
3. Dalam hadis tatacara shalawat, disebutkan langsung nama Muhammad, tanpa Sayyidina
Bisa dilihat sendiri, alasan seperti di atas lemah. Penjelasannya sebagai berikut:
1. Tidak ada alasan untuk menganggap mengucapkan sayyidina adalah ghuluw.
Kalau memang ghuluw, maka jangankan diucapkan sejak diyakini saja sudah terlarang. Meyakini Nabi Isa sebagai anak Tuhan itu ghuluw, meskipun tidak sampai mengucapkan seperti itu tapi sekedar meyakininya pun sudah haram.
Kalau diyakini tidak mengapa, maka tidak ada alasan untuk melarang mengucapkannya. Kalau memang dilarang oleh Allah dan rasulullah, maka tunjukkan dalil ayat atau hadisnya!
2. Dalam obrolan keseharian, para sahabat tidak ada yang mengucap nama Nabi Muhammad. Hanya dengan namanya saja. Seperti kebiasaan Wahabi-Taymiy.
Semuanya menambahi dengan sebutan penghormatan semisal: Nabi Muhammad, Muhammad Sang Nabi, Rasulullah, Sang Nabi, Sang Rasul dan semacamnya. Tidak ada dari mereka yang hanya menyebut Muhammad saja.
Dengan demikian, menambahi kata penghormatan adalah contoh dari para sahabat. Dan di antara lafaz kemuliaan tersebut adalah lafaz "sayyidina". Meskipun tidak umum di masa awal, tapi bukan berarti tidak boleh. Kalau mau melarang, datangkan ayat atau hadis larangannya.
Selain itu, sama sekali tidak nyambung melarang kata "Sayyidina" dengan alasan para sahabat mengucap kata "Rasulullah". Tidak ada yang mempermasalahkan kata "Rasulullah", tapi kata "Sayyidina". Memperbolehkan kata "Rasulullah" bukan berarti melarang kata lain. Ini logika sederhana yang harusnya dipahami sejak awal, sesuai pertanyaan.
3. Dalam hadis tatacara membaca shalawat ibrahimiyah memang tidak disebutkan.
Kesimpulan maksimalnya hanyalah boleh menyebut nama beliau tampa embel-embel dalam kasus membaca shalawat Ibrahimiyah yang merupakan bacaan shalat.
Ada pun dalam kasus umum, maka penyebutan nama tanpa embel-embel bukan kebiasaan para sahabat, Tabi'in dan salafus shalih. Kesimpulan boleh tanpa "sayyidina" ini juga tidak serta merta bisa menjadi larangan tambahan "sayyidina" kecuali bagi yang menganggap semua shighah shalat tauqifi, tapi kan tidak demikian menurut kebanyakan ulama.
Dengan demikian, alasan pelarangan kata sayyidina terlalu mengada-ada. Anehnya, bukan hanya mengucap Sayyidina ke Nabi Muhammad, Ibnu Utsaimin juga melarang mengucap kata "sayyidah" pada Ummul Mukminin Aisyah radiyallahu anha.
Alasannya kurang lebih sama, diyakini sebagai sayyidah tapi dilarang mengucap sayyidah tanpa ada dalil satu pun. Aneh bin ajaib. Malah terkesan kalau Ibnu Utsaimin tidak suka, pokoknya melarang.
Tapi entah kalau yang dibilang sayyidina adalah Ibnu Taymiyah, seperti terdapat di video yang pujiannya super bombastis di lampiran ini. Saya tidak pernah mendengar Ibnu Utsaimin atau ulama wahabi-taymiy lain yang melarangnya. Silakan simak videonya dan catat kata apa saja yang disematkan ke Ibnu Taymiyah tanpa ada dari mereka yang ingkar. (Abdul Wahab Ahmad)
Catatan:
Akidah Thahawiyah adalah akidah para ulama Maturidiyah (kembaran Asy'ariyah) sebab isinya adalah akidah para ulama Hanafiyah yang kemudian dikembangkan oleh Imam Abu Manshur al-Maturidiy.
Semua syarahnya kalau nggak ikut madrasah Maturidiyah maka pasti Asy'ariyah, kecuali satu syarah yang syadz (nyeleneh) yaitu Syarah Ibnu Abil Izz at-Taymiy. Ibnu Abil Izz ini sering ditulis sebagai Al-Hanafi karena mazhabnya Hanafiyah tapi itu sekedar mazhab fikih.
Adapun mazhab akidahnya adalah mazhab Taimiy mengikuti Ibnu Taymiyah, beda dengan para ulama Hanafiyah lain yang mengikuti Maturidiyah.
Para Wahabi saat ini banyak mengarang syarah akidah Thahawiyah dan mengklaimnya sebagai akidah ulama salaf, tapi sebenarnya itu hanya merujuk pada Syarah Ibnu Abil Izz, sedangkan Ibnu Abil Izz mengikuti bulat-bulat Ibnu Taymiyah.
Sanadnya berhenti dan terputus di Ibnu Taymiyah, meskipun kitab yang disyarah adalah kitab Hanafiyah/Maturidiyah. Imam Abu Hanifah sendiri banyak dikritik oleh para Taymiy yang tidak segan menyebut beliau sebagai murji'ah.
Akidah Imam Thahawi sendiri banyak diplintir oleh para Taymiy ketika tidak sesuai dengan Ibnu Taymiyah, misalnya ketika Imam Thahawi menafikan adanya arah apa pun bagi Allah, lalu diartikan hanya menafikan arah yang makhluk atau hanya menafikan Allah dilingkupi arah, bukan menafikan arah atas, dan sebagainya yang bertentangan dengan akidah para ulama Hanafiyah.
Tapi saking banyaknya plintiran, banyak orang sekarang yang mengira Akidah Thahawiyah versi Ibnu Abil Izz at-Taymiy adalah akidah salaf. Padahal justru itu satu-satunya syarah yang menyimpang dari jalan salaf.
Advertisement