Tiga Hal Penting Diajukan PBNU, Sebelum Berlaku New Normal
Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas melihat tatanan normal baru memang sebuah keniscayaan. Namun, hal itu hendaknya didasarkan pada kajian dan persiapan yang matang. Dengan demikian, penerapan New Normal (normal baru) nantinya dapat menciptakan kehidupan masyarakat yang aman dari Covid-19 dan sekaligus produktif.
”Kehidupan masyarakat yang aman dari Covid-19 dan produktif dalam pengertian penerapan pola hidup baru di tengah pandemi Covid-19 membutuhkan disiplin baru dengan tingkat kepatuhan protokol kesehatan tinggi,” kata Robikin, dalam keterangan pers, Jumat 29 Mei 2020.
Selain itu, menurut Robikin, kebijakan tentang kehidupan masyarakat yang aman dari Covid-19 dan produktif harus merupakan kebijakan komprehensif dan bukan parsial.
”Jangan sampai produk dan stimulus kebijakan tampak seakan-akan didominasi oleh kalkulasi ekonomi semata. Namun kurang mempertimbangkan tempat peribadatan dan lembaga pendidikan, termasuk pesantren dan infrastrukturnya,” katanya.
Jika tidak, kebijakan yang dihasilkan bukan justru mengatasi pandemi. Namun, hanya menjadi langkah terburu-buru yang justru bisa menciptakan persoalan atau keruwetan sosial baru.
PBNU memberikan catatan, sebagaimana juga disampaikan pemerintah, penerapan kebijakan kehidupan masyarakat yang aman dari Covid-19 dan produktif terlebih dulu harus didasarkan pada sejumlah pertimbangan.
Pertama, kondisi aktual menurunnya kurva pandemi atau kurva penurunan yang stabil hingga pada titik tertentu.
Kedua, sistem layanan kesehatan sanggup untuk lebih total melakukan pelayanan mulai dari mengindetifikasi, mengisolasi, memeriksa, dan melacak hingga mengarantina orang-orang yang teridentifikasi terlibat kontak fisik dengan pasien Covid-19.
Ketiga, sistem layanan kesehatan sanggup menjangkau lebih banyak dan lebih luas lagi kantong-kantong masyarakat.
Perhatikan Pesantren
Sebelumnya, kalangan pesantren meminta pemerintah memperhatikan lembaga pendidikan, khususnya pesantren, dalam pencegahan dan penanganan Covid-19 sebelum memulai menerapkan tatanan normal baru.
Pemerintah dinilai belum cukup memberikan perhatian pada pesantren dalam penanganan Covid-19, termasuk penyediaan fasilitas kesehatan. Dengan kondisi itu, penerapan normal baru dikhawatirkan justru akan memperbesar risiko penularan di lingkungan pesantren.
Ketua Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Nahdlatul Ulama Abdul Ghofarrozin dalam keterangannya, Jumat 29 Mei 2020 mengatakan, pesantren tidak dapat memulai kehidupan dengan tatanan normal baru apabila pemerintah tidak memenuhi sejumlah hal. Terutama, yang terkait dengan kebijakan dan dukungan terhadap fasilitas pendidikan ataupun kesehatan di lingkungan pesantren.
Apabila kondisi tertentu itu tidak diperhatikan pemerintah, RMI akan menyarankan pembelajaran santri yang dilakukan melalui jarak jauh atau belajar di rumah agar diperpanjang.
Tiga kondisi untuk menjamin berlangsungnya pendidikan ialah kebijakan pemerintah yang konkret dan berpihak sebagai wujud keseriusan pemerintah dalam menjaga pesantren dari risiko penularan Covid-19.
Kemudian, dukungan fasilitas kesehatan untuk pemenuhan pelaksanaan protokol kesehatan, seperti tes cepat Covid-19, cairan antiseptik, akses pengobatan, dan tenaga ahli kesehatan. Selain itu, dukungan sarana dan fasilitas pembelajaran secara daring bagi santri yang belum bisa kembali ke pesantren dan biaya pendidikan bagi santri yang terdampak secara ekonomi.
”Apabila tidak ada kebijakan nyata untuk tiga hal tersebut, RMI-PBNU menyarankan pesantren memperpanjang masa belajar di rumah,” kata Rozin.
RMI-PBNU juga meminta setiap kebijakan yang diambil pemerintah terkait dengan nasib pemerintah harus melibatkan kalangan pemerintah.
Sikap yang dikeluarkan RMI-PBNU itu didasari pada kondisi pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya terkendali. Jumlah dan kasus terkonfirmasi positif Covid-19 masih tinggi. Adapun pemenuhan syarat untuk mencegah penularan Covid-19, terutama dengan menjaga jarak, semakin sulit dilakukan.
Keadaan tersebut, menurut RMI-PBNU, seharusnya membuat pemerintah tetap waspada dan memastikan aturan, seperti pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dapat berjalan efektif. Namun, pemerintah justru mewacanakan pelonggaran PSBB dan penerapan normal baru. Hal ini sangat berisiko memperluas dan memperbesar persebaran Covid-19, termasuk dalam lingkungan pesantren.
Di sisi lain, terhadap pesantren, menurut RMI-PBNU, pemerintah belum cukup memberikan perhatian dan kebijakan khusus dalam menghadapi Covid-19. Oleh karena itu, penerapan normal baru di pesantren secara tiba-tiba, dan tidak disertai pemenuhan kondisi tertentu, akan menyulitkan pihak pesantren.
”Hal demikian tentu saja mengkhawatirkan. Alih-alih untuk menyelamatkan pesantren dari Covid-19, pesantren yang berbasis komunitas dan cenderung komunal justru dapat menjadi kluster baru pandemi Covid-19. Sesuatu yang sepatutnya dihindari,” kata Rozin.