Tiga Hal Ini Sebabkan Islamofobia di Eropa
Dunia memang sedang bergolak. Persoalan sosial dan sejarah menjadi pendorong masyarakat di Eropa kurang simpati bila mendengar sesuatu berbau Islam. C Holland Tylor, Indonesianis, mendedahkan tiga alasan islamofobia muncul di Benua Eropa.
Tiga hal dimaksud adalah (1) homogenitas negara-negara Eropa, (2) gelombang imigran tanpa kontrol dan persyaratan tertentu, serta (3) kesulitan asimilasi dan integrasi sifat imigran dengan budaya lingkungan tempat tinggal barunya.
Melihat hal tersebut, pimpinan Bayt Ar-Rahmah li ad-Da'wa al-Islamiyah Rahmatan li al-'Alamin itu mengungkapkan bahwa Eropa butuh pribumisasi Islam, frasa yang digaungkan oleh KH Abdurrahman Wahid.
"Yang mereka perlu di Eropa, yang mereka perlu di Amerika, adalah Islam yang pernah Gus Dur istilahkan pribumisasi Islam," katanya, dikutip ngopibareng.id, Sabtu 12 Januari 2018, dari nu.or.id.
"Islam Nusantara adalah ekspresi untuk fenomena riil yang sudah ratusan tahun ada di Indonesia. Menurutnya, NU kampanye ataupun tidak, Islam Nusantara tetap ada."
Lebih lanjut, Holland mengungkapkan, untuk mewujudkan hal tersebut, mereka butuh contoh riil, seperti Islam Nusantara yang telah berhasil menyesuaikan Islam dengan kondisi budayanya. Hal ini, lanjutnya, bukan berarti mengekspor Islam Nusantara sebagai jawaban atas problematika Islam di sana, tetapi sebagai gambaran agar Eropa paham penyesuaiannya.
"Bagaimana substansi esensi ajaran agama Islam bisa disesuaikan dengan konteks dan realitas peradaban abad 21," ujar duta Gerakan Pemuda Ansor untuk Eropa dan Amerika itu.
Islam Nusantara adalah ekspresi untuk fenomena riil yang sudah ratusan tahun ada di Indonesia. Menurutnya, NU kampanye ataupun tidak, Islam Nusantara tetap ada. Mengutip KH Yahya Cholil Staquf, ia menyampaikan bahwa Islam Nusantara bukan penakluk, tidak menghancurkan kebudayaan lain.
"Tapi datang untuk mendatangkan peradaban bersama," katanya mengutip Gus Yahya.
Solusi demikian menjadi kekuatan dan kesempatan NU untuk tampil sebagai inspirator di dunia internasional. NU, jelas Holland, perlu menjelaskan bagaimana mengadaptasikan Islam dengan budaya.
Ia pun mencontohkan bagaimana Muslim Indonesia bangga dengan budaya, tradisi, dan segala hal yang lahir dari zaman dahulu. Hal ini bertolak belakang dengan masyarakat Muslim Timur Tengah yang justru menghancurkan warisan kebudayaan mereka. (adi)