Tiga Hal Ihwal Kematian sebagai Nasihat, Kepastian yang Misterius
Di tengah pandemi COVID-19 sederet jiwa menjadi korban. Belum lagi yang disebabkan penyakit lain, seseorang mendadak sakit. Ajal tak bisa dihindari. Seseorang yang sebelumnya terlihat sehat-sehat saja, tapi beberapa detik kemudian terkulai lemas: ajal pun menjemput. Hanya Allah yang Mahatahu atas segalanya.
Dalam Kitab Ihya 'Ulum al-Din, Imam Al-Ghazali menulis satu bagian khusus tentang dzikr al-maut, mengingat kematian. Al-Ghazali mengutip beberapa sabda Rasul. Dikutipkan beberapa hadits tersebut.
(1) "Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan." (HR Turmudzi, al-Nasa'i, Ibn Majah)
(2) "Ingatlah pada kematian. Demi yang jiwaku dalam genggamannya, seandainya kalian tahu apa yang aku ketahui, niscaya kalian sedikit tertawa dan banyak menangis." (HR Ibn Abi al-Dunya)
(3) Aisyah bercerita. Suatu hari, seseorang bertanya kepada Rasulullah,"Wahai utusan Allah. Adakah seseorang yang dikumpulkan bersama mereka yang mati syahid?" Rasulullah menjawab,"Iya. orang yang mengingat mati sehari semalam dua puluh kali."
Mengapa mengingat mati? Karena dalam kematian, ada nasihat. “Cukuplah kematian sebagai nasihat.” (HR al-Thabrani, al-Baihaqi).
"Mari kita selami dan renungi makna kematian agar bisa mengambil pelajaran darinya sebagai nasihat untuk bekal hidup kita," tulis M Subhi-Ibrahim, Dosen Universitas Paramadina Jakarta.
1. Kepastian yang Misterius
"Begitu seorang manusia lahir, ia sudah terlalu tua untuk mati," tutur filsuf Jerman, Martin Heidegger dalam Sein und Zeit.
Kematian menyongsong sejak dari kelahiran. Manusia adalah Ada-menuju-Kematian (Sein-zum-Tode). Dengan demikian, sebetulnya, kematian merentang dalam keseharian kita. Meskipun mati adalah pasti, tetapi kapan dan di mananya adalah misteri, tidak diketahui. Karena itu, kematian adalah kemungkinan (yang pasti). Sungguh, sang dewi kematian mengintai, menatap tajam jiwa kita menunggu jatuhnya daun kehidupan kita dari pohon sidrah di langit.
2. Tak Bisa Diwakilkan
Dalam keseharian, segala sesuatu bisa diwakilkan, digantikan, kecuali kematian. "...Tak seorang pun dapat menjemput kematiannya untuk orang lain," tulis Heidegger.
Oleh sebab itu, kematian merupakan momen paling autentik. Dialami sendiri. Kematianmu adalah kematianmu, kematianku adalah kematianku. Tidak bisa diganti orang lain, tidak bisa diwakilkan. Al-Ghazali mengutip Abu Darda,"Apabila kamu mengingat-ingat orang yang mati, maka anggaplah dirimu seperti salah seorang dari mereka."
3. Menyikapi Kematian
Mengutip kembali Heidegger bahwa, ada dua model sikap orang dalam menghadapi fakta kematian. Pertama, inautentik, dengan menenangkan diri seraya berkata,"Kematian akan dialami semua orang." Kita mati tidak sendirian. Barsama-sama. Tak perlu terlalu dipikirkan. Tak perlu diseriusi. Masa bodoh atas kematian. Hal itu cukup menghibur, membius, yang berakibat lupa kematian. Lari dari kepastian, yang berarti juga lari dari kemungkinan.
Kedua, autentik dengan membuka diri terhadap kemungkinan, yakni kematian itu sendiri. Kematian itu seperti deadline. Misalnya, seorang mahasiswa mendapat tugas membuat makalah yang harus diserahkan esok hari. Tiap jam, tiap menit, bahkan tiap detik menjadi bermakna, bernilai agar tugas selesai, dapat diserahkan. Begitu pula dalam hidup. Kematian melahirkan makna hidup.
"Saya teringat cerita seorang penulis yang sangat produktif. Beliau menulis banyak karya setelah ia sadar bahwa hidup di dunia ini memiliki batas.
Sebagai akhir dari tulisan ini, saya akan kutipkan firman Allah,"Katakanlah. Sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya, sungguh, kematian itu akan menemui kalian, lalu kalian akan dikembalikan kepada Allah yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata. Kemudian Dia beritakan pada kalian apa yang telah kalian kerjakan." (QS. al-Jumu'ah: 8)
Wa Allahu a’lam bi al-shawab.
Demikian pesan keislaman M Subhi-Ibrahim, Dosen Universitas Paramadina Jakarta.