Tiga Generasi Antara Wabah dan Pandemi, Ini Kisah Mengharukan
Seorang ibu terbaring menggigil di tempat tidurnya. Keringat bercucuran dari dahi tetapi dia tetap memegang erat selimut tebal yang ditarik hingga pangkal lehernya. Nyeri dan linu melanda seluruh sendi-sendi tubuh.
"Sudah hampir seminggu Mamah mengalami demam tinggi. Meskipun segala macam obat-obatan sudah diminum tetap saja tidak ada tanda-tanda penyakitnya akan hilang. Keluarga pun sudah mulai was-was," tutur Roby Muhamad, seorang aktivis sosial, berkisah tentang ibundanya itu.
Tidak tahan akan rasa pusing dan nyeri yang dideritanya, Sang Ibu membuat janji di dalam hati: “Jika saya sembuh dari penyakit, saya janji akan menjadi dokter.”
Saat itu tahun 1957, pandemi influenza sedang berkecamuk. Pada akhirnya diperkirakan pandemi flu tersebut merenggut lebih dari 1 juta nyawa di seluruh dunia.
"Alhamdulillah, ibu saya termasuk yang sembuh. Setelah lulus SMA mamah terus menjadi mahasiswi angkatan pertama Fakultas Kedokteran UNPAD pada tahun tersebut," demikian Roby Muhamad menambahkan dalam kisahnya.
"Dalam keluarga saya, hidup saat wabah penyakit ternyata bukan hanya dialami oleh ibu saya. Buyut saya dari ayah, Penghulu Garut RHM Soedjai menjadi korban wabah sampar di Garut tahun 1935."
Ketika saya menceritakan kedua pengalaman keluarga mengalami wabah ke sang bocah di rumah yang sekarang anak kelas 2 SMA, dia menjawab: “a pandemic is always part of human stories, so it’s not surprising Papah.”
Ya, pandemi selalu menjadi bagian dari kisah manusia, jadi itu tidak mengejutkan. Demikianlah kisah dalam satu keluarga tentang wabah dan pandemi.
Roby Muhamad pun akhirnya berpesan, "Kita merasa bisa menentukan jalan hidup dengan pilihan kita sendiri. Tetapi kita memilih dari jajaran pilihan yang sebetulnya sudah diberikan oleh hukum besi sejarah, biologi, dan fisika. Waminallahi taufiq".