Tiga Filosofi Timun Suri, Memikat Hati di Bulan Suci
Kenikmatan makanan pada bulan Ramadan terkesan lebih lezat dibandingkan dengan hari-hari biasa. Termasuk betapa lezat buah-buahan bila dikonsumsi setelah buka puasa.
Ada satu buah yang sangat lekat sekali citranya dengan bulan Ramadan. Kalau saja diadakan pemilihan maskot sebagai simbol bulan puasa, niscaya buah tersebut yang terpilih. Itulah dia buah yang bernama timun suri.
Buah yang satu ini tidak hanya lezat untuk disantap ketika berbuka puasa, namun memiliki filosofi yang patut kita jadikan pelajaran. Inilah beberapa nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Pertama, timun suri adalah buah yang fleksibel.
Ia bisa disajikan bersama teman-temannya seperti cincau, kolang-kaling, agar-agar dan sebagainya hingga menjadi satu kesatuan yang disebut es campur. Meski demikian, ia juga tetap segar jika disajikan sendirian saja cukup dengan air gula yang dingin.
Ini menunjukkan timun suri pandai menempatkan diri. Ia bisa bekerja sama secara berkelompok, dan ia bisa pula bekerja secara sendirian. Keduanya sama-sama dilakukan secara efektif dan penuh dedikasi.
Kedua, timun suri adalah buah yang jujur dan memberikan kemudahan bagi orang lain.
Untuk memilih mana buah yang sudah matang, cukup lihat saja yang sudah retak atau sedikit terbelah tipis. Insya Allah pilihan kita pasti tepat.
Bandingkan dengan buah semangka, tentu tidak semua orang bisa memilih mana yang matang. Saya sendiri sering terkecoh memilih semangka yang dikira matang, ternyata belum.
Ketiga, timun suri adalah buah yang selalu ingat dari mana dia berasal.
Hal ini terbukti bahwa ia tidak malu diberi nama dengan nama klan keluarganya, yaitu mentimun. Tidak semua buah yang masih kerabat dengan mentimun mau disematkan nama timun. Contohnya blewah, melon, dan lainnya.
Berapa banyak orang yang merantau hingga sukses, namun setelah itu ia melupakan orang tuanya sendiri. Sungguh orang-orang seperti ini harus belajar dari timun suri.
Namun dari semua nilai baik yang terkandung dalam timun suri, ada pula sisi yang tidak patut dicontoh. Yaitu buah ini hanya muncul ketika bulan Ramadan saja. Begitu bulan puasa menghilang, maka hilang pula timun suri dari peredaran.
Mirip seperti semangat kita yang hanya muncul begitu datang bulan Ramadan. Namun begitu bulan puasa menghilang, maka hilang pula semangat kita dalam beribadah. Hati-hati, jangan seperti ini!
Syahrul Mubarak. Arafat.
Advertisement