Tiga Fakta Kota Paris, Nahel Dibunuh Polisi Kobarkan Kerusuhan
Prancis berkecamuk. Kobaran api kerusuhan berkembang mengejutkan. Kematian Nahel Mohammad. di tangan polisi Prancis pada Selasa (27 Juni 2023 merupakan penyebab utamanya.
Nahel Mohammad, remaja 17 tahun, kehilangan nyawa di tangan polisi. Ya, nyawanya melayang ketika polisi sedang menggelar razia lalu lintas di Nanterre.
Nahel diketahui tinggal di kawasan perumahan Pablo Picasso di Nanterre, pinggiran Paris. Area itu dikenal sebagai wilayah mayoritas ditinggali oleh imigran.
Toko-toko di sejumlah tempat dijarah massa yang beringas hingga rumah wali kota dibakar massa. Kerusuhan di Prancis yang dipicu penembakan seorang remaja keturunan Aljazair itu, terus menjalar pada Selasa (27 Juni 2023). Bahkan pada Sabtu (1 Juli 2023) dini hari waktu setempat, kerusuhan terus masih berkobar.
Dalam waktu 24 jam terakhir, Kementerian Dalam Negeri Prancis melaporkan 1.311 orang ditangkap terkait kerusuhan.
Kerusuhan yang terjadi sejak Selasa lalu pun menyebar ke kota-kota di luar Paris. Kota-kota besar seperti Lyon dan Marseille pun didera kerusuhan.
Berikut tiga fakta penting terkait kerusuhan di Prancis, disusun Ngopibareng.id dari pelbagai sumber. Setidaknya dengan fakta-fakta ini menjadikan kita berpikir ulang tentang Kota Paris yang terkenap menarik perhatian dunia itu.
1. Kediaman Walikota di Pinggiran Paris Diserang
Para perusuh menyerbu kediaman Wali Kota L'Hay-les-Roses, Vincent Jeanbrun, di pinggiran Kota Paris. Mereka membakar mobil dan meluncurkan kembang api ke arah istri dan anak-anak Jeanbrun saat melarikan diri menghindari massa.
Jeanbrun berada di balai kota ketika rumahnya diserang. Sementara istrinya Melanie dan anak-anaknya sedang tertidur saat terjadi serangan. Saat istri dan anak Jeanbrun, yang berusia 5 dan 7 tahun, melarikan diri melalui halaman belakang, mereka menjadi sasaran kembang api.
Jeanbrun mengatakan kepada Perdana Menteri Prancis, Elisabeth Borne bahwa istrinya telah menjalani operasi patah kaki dan sedang melakukan rehabilitasi selama tiga bulan.
"Saat berusaha melindungi mereka dan melarikan diri dari penyerang, istri saya dan salah satu anak saya terluka," kata Jeanbrun.
Jaksa setempat mengatakan kepada wartawan bahwa penyelidikan percobaan pembunuhan telah dibuka. Sejauh ini tidak ada tersangka yang ditangkap. Balai kota telah menjadi sasaran serangan selama beberapa malam dan telah dilindungi dengan kawat berduri serta barikade. Dalam perjalanan sekitar beberapa jam setelah kejadian, Jeanbrun bertemu dengan simpatisan lokal dan melewati pasar tertutup kota yang telah rusak selama kerusuhan.
"Tetap kuat, Pak Walikota. Kami bersama Anda," kata seorang pria kepada walikota yang tampak emosional.
"Saya tidak berpikir kita akan pernah mengalami hal seperti ini," kata Jeanbrun kepada seorang warga lainnya yang berharap istri walikota baik-baik saja.
Polisi melakukan penembakan fatal terhadap seorang remaja keturunan Afrika Utara yang diidentifikasi sebagai Nahel M, di Kota Nanterre, pinggiran barat Paris, pada Selasa (27 Juni 2023) lalu. Insiden ini telah memicu kerusuhan yang meluas di seluruh Prancis.
Para perusuh telah membakar mobil dan angkutan umum. Mereka juga menargetkan balai kota, kantor polisi, dan sekolah, termasuk bangunan yang mewakili negara Prancis. Peristiwa tersebut telah menjerumuskan Presiden Emmanuel Macron ke dalam krisis kepemimpinan yang paling parah sejak protes Rompi Kuning pada 2018.
2. 'Kami Muak, Kami Juga Orang Prancis!'
Polisi melakukan penembakan fatal terhadap seorang remaja keturunan Afrika Utara yang diidentifikasi sebagai Nahel M, di Kota Nanterre, pinggiran barat Paris, pada Selasa (27 Juli 2023) lalu. Insiden ini telah memicu kerusuhan yang meluas di seluruh Prancis.
Para perusuh telah membakar mobil dan angkutan umum. Mereka juga menargetkan balai kota, kantor polisi, dan sekolah, termasuk bangunan yang mewakili negara Prancis. Peristiwa tersebut telah menjerumuskan Presiden Emmanuel Macron ke dalam krisis kepemimpinan yang paling parah sejak protes Rompi Kuning pada 2018.
Bagi Mohamed Jakoubi, kemarahan di jalanan dipicu oleh rasa ketidakadilan di daerah pinggiran atau banlieues terutama setelah insiden kekerasan polisi terhadap komunitas etnis minoritas. Banyak di antara mereka yang mengalami kekerasan adalah imigran yang berasal dari negara bekas jajahan Prancis.
"Kami muak, kami juga orang Prancis. Kami menentang kekerasan, kami bukan sampah," kata Jakoubi yang telah menyaksikan kematian di tangan polisi dalam beberapa tahun terakhir.
Para pengunjuk rasa mencela pengabaian pinggiran kota yang sudah berlangsung lama. Sementara kemarahan mereka terhadap polisi menunjukkan hilangnya kepercayaan antara komunitas mereka dan penegak hukum.
Mereka meneriakkan "keadilan untuk Nahel" dan "pembunuh polisi". Sebuah video yang dibagikan di media sosial menunjukkan, seorang petugas polisi menembak Nahel dari jarak dekat. Polisi mengambil tindakan ini karena Nahel melanggar lalu lintas dan berusaha lari dari kejaran polisi. Nahel meninggal karena luka-lukanya.
Petugas yang menembak Nahel menghadapi tuduhan pembunuhan sukarela. Polisi nasional dan polisi Paris tidak menanggapi permintaan komentar dari Reuters. Perwakilan dari serikat polisi Unite SGP, Yann Bastiere mengatakan, petugas yang menembak Nahel tidak bersalah sampai terbukti bersalah. Petugas telah menghentikan remaja tersebut karena Nahel tidak mematuhi rambu-rambu di jalan raya.
"Ini bukan karena penampilan atau asal etnisnya. Polisi adalah cerminan masyarakat kita, multietnis, dan ada rasisme seperti di masyarakat," kata Bastiere.
Namun Bastiere mengakui runtuhnya kepercayaan masyarakat dengan polisi berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang memfokuskan tindakan polisi pada intervensi dan represi. Termasuk menghilangkan sumber daya dari pencegahan dan kepolisian lingkungan.
Seorang pembaca sejarah di Universitas Edinburgh, Emile Chabal mengatakan, investasi negara telah meningkat di daerah-daerah miskin. Namun tidak menutup kesenjangan dengan wilayah Prancis lainnya. Tingkat pengangguran, kemiskinan, dan keberhasilan sekolah tetap datar atau memburuk sejak 1990an. Investasi yang ditujukan untuk pembaharuan perkotaan digenjot menyusul kerusuhan tahun 2005 yang berlangsung selama tiga minggu.
"Namun ada perasaan bahwa ada semacam etalase atau bangunan mewah, trem yang mengilap, yang belum membawa hasil nyata atau mengatasi masalah struktural yang dihadapi penduduk sehari-hari misalnya rasisme, dan akses ke pasar tenaga kerja," ujar Chabal.
"Kami sedang melakukan sesuatu, tetapi kebencian tetap ada karena di lingkungan ini ada perasaan didiskriminasi," ujar Chabal menambahkan.
3. Kota Paris yang Makin Kotor
Di benak banyak orang, Paris adalah kota paling romantis di dunia dengan Menara Eiffel yang sangat populer di media sosial. Namun ternyata ibu kota negara Perancis ini memiliki sisi lain yang jarang banyak orang ketahui, kecuali bagi mereka yang sudah pernah melihatnya langsung.
Bahkan apabila hanya mendengar dari kata orang, pastinya akan sulit sekali untuk percaya. Pengemis di Kota Paris akan sering kali dijumpai di jalanan. Kebanyakan mereka adalah imigran.
Beberapa di antara mereka akan memperlihatkan paspor dan identitas diri, sembari menghampiri pengguna jalan yang melintas dan meminta uang.
Terkadang tak jarang juga bersama keluarga, mereka menjadikan trotoar di pinggir jalan sebagai tempat istirahat ketika malam tiba.
Pemandangan Kota Paris memang cantik. Kota ini dipenuhi dengan berbagai bangunan dengan arsitektur yang menarik. Bila malam tiba, kerlap-kerlip lampu di penjuru kota memberikan kesan yang begitu romantis.
Namun di balik itu semua, Kota Paris sangatlah kotor.
Berbagai macam coretan dapat dengan mudah ditemukan di metro atau kereta yang menjadi salah satu transportasi utama di kota ini.
Tempat duduk di dalam kereta pun terlihat dipenuhi noda. Di jalanan, sampah-sampah berceceran, khususnya di sekitar tempat sampah yang sudah penuh terisi. Bau pesing juga sangat menyengat tercium apabila berkeliling kota.
Selain kotor, tikus-tikus juga banyak berkeliaran di Kota Paris. Bahkan di kawasan gereja Katedral Notre Dame yang menjadi salah satu ikon terkenal untuk dikunjungi wisatawan, tikus-tikus tersebut berlarian, bukan hanya satu atau dua ekor tapi secara berkelompok.
Bisa jadi, film Ratatouille yang menceritakan seekor tikus menjadi juru masak di Paris memang terinspirasi dari tikus-tikus yang berkeliaran ini.
Seperti Jakarta, kemacetan lalu lintas akan menyambut kedatanganmu apabila mengunjungi Kota Paris. Walau dalam kondisi normal tanpa ada kejadian, seperti demo, jalanan Paris selalu dipadati dengan mobil.
Apabila menggunakan taksi untuk berpindah tempat, persiapkan dompetmu untuk argo yang pastinya akan mahal sekali!
Sudah bukan rahasia lagi, tingkat pencopetan di Paris termasuk yang tertinggi di dunia. Biasanya mereka akan beraksi di tempat-tempat wisata atau di dalam transportasi publik. Bahkan mereka beraksi secara berkelompok. Scammer juga sering dilakukan oleh penjual souvenir.
Memang tidak semua penjual souvenir suka menipu, tapi waspada itu wajib! Di bawah hiruk pikuk lalu lintas Kota Paris, terdapat terowongan bawah tanah yang dindingnya dihiasi tengkorak serta tulang belulang manusia!
Tempat ini dulunya merupakan lahan penguburan enam juta lebih masyarakat karena pada saat itu Kota Paris kekurangan lahan kuburan. Namun kini, kuburan yang dikenal dengan nama catacombs atau katakomba sudah tidak dijadikan tempat menguburkan jenazah lagi, karena mengganggu sanitasi kota. Catacombs pun dijadikan salah satu tempat wisata yang terbuka untuk umum.
Advertisement