Tiga Ekor Ikan, Pesan Nabi Khidir Ketika Air Berubah
Kisah-kisah mengantarkan pemahaman pada dimensi kerohanian terdalam, terdapat dalam Islam. Disajikan dengan kisah humor atau lazim disebut humor sufi.
Dalam kisah-kisah sufi dan tradisi tasawuf, kerap menghadirkan Nabi Khidir. Termasuk dalam kisah di bawah ini tentang "Ketika Air Berubah".
Tiga Ekor Ikan
Suatu kali di sebuah kolam hiduplah tiga ekor ikan! Si Pandai, Si Agak-Pandai, dan Si Bodoh. Mereka hidup biasa-biasa saja sebagaimana ikan-ikan yang hidup di tempat lain, sampai suatu hari datanglah --seorang manusia.
Manusia itu membawa jala, dan Si Pandai melihatnya dari dalam air. Mengingat kembali pengalamannya, cerita-cerita yang pernah didengarnya, dan kecerdikannya, Si Pandai memutuskan untuk bertindak.
"Hampir tak ada tempat untuk bersembunyi di kolam ini," pikirnya. "Aku sebaiknya pura-pura mati."
Si Pandai rnengerahkan seluruh tenaganya dan melompat keluar kolam, Ia jatuh persis di kaki penjala ikan, yang tentu saja terkejut. Namun karena Si Pandai menahan nafas, si penjala ikan mengira bahwa ikan itu sudah mati, lalu melemparnya kembali ke kolam. Si Pandai pelan-pelan meluncur ke lubang kecil di dasar tepi kolam.
Ikan kedua, Si Agak-Pandai, tidak begitu paham tentang apa yang sedang terjadi. Ia lantas berenang mendekati Si Pandai dan bertanya tentang segala sesuatunya. "Sederhana saja," kata Si Pandai, "aku pura-pura mati, dan ia melemparku kembali."
Si Agak-Pandai pun segera melompat keluar air, jatuh dekat kaki penjala ikan itu. "Aneh," pikir penjala itu, "ikan-ikan ini berloncatan keluar dari kolam," Karena Si Agak-Pandai lupa menahan nafas, tahulah penjala ikan itu bahwa ikan itu masih hidup dan menaruhnya dalam keranjang.
Ia kembali mengamati kolam, dan karena masih bingung akan perilaku ikan-ikan yang berloncatan ke tanah kering di dekatnya, ia pun lupa menutup keranjangnya. Si Agak-Pandai, begitu menyadarinya, berjumpalitan berulang kali, lagi dan lagi, hingga berhasil masuk kembali ke kolam. Ia mencari ikan pertama dan dengan terengah-engah bersembunyi di sampingnya.
Ikan ketiga, Si Bodoh, tak mampu memetik pelajaran dari semuanya, bahkan setelah ia mendengarkan cerita ikan pertama dan kedua. Mereka terpaksa kembali bercerita, menegaskan pentingnya menahan nafas, untuk berpura-pura mati.
"Terima kasih banyak, saya sudah mengerti," ujar Si Bodoh. Selesai berkata, ia melentingkan tubuhnya keluar air, mendarat tepat di sebelah kaki penjala ikan itu.
Penjala ikan itu, yang telah kehilangan dua ekor ikan sebelumnya, menaruh ikan yang satu itu ke dalam keranjang tanpa mau repot rnemastikan apakah ikan itu hidup atau mati, ia menebar jalanya lagi dan lagi ke kolam, namun kedua ikan yang pertama telah aman bersembunyi di dasar kolam. Kali ini keranjang itu benar-benar tertutup rapat.
Akhirnya, penjala ikan itu berhenti. Ia membuka keranjang, dilihatnya ikan bodoh itu tidak bernafas, dan membawanya pulang untuk santapan kucing.
Catatan
*) Dikisahkan bahwa Husein, cucu Muhammad, menyampaikan cerita ini kepada Khajagan (Para Guru) yang pada abad ke-14 mengubah nama rnereka menjadi Thoriqoh Naqshibandiyah.
Terkadang kisah ini dikatakan berlatar di sebuah 'dunia' yang dikenal sebagai Karatas, Negeri Batu Hitam.
Versi ini berasal dari Abdal (Yang Berubah) Afifi. Ia mendengarnya dari Syeh Muhammad Asghar, yang wafat tahun 1813, dimakamkan di Delhi.
Sumber: Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Diterjemahkan dari Idries Shah, Tales of The Dervishes, The Octagon Press, London. Penerjemah: Ahmad Bahar
Ketika Air Berubah
Pada zaman dahulu, Khidir, Guru Musa, memberi peringatan kepada manusia. Pada hari tertentu, katanya, semua air di dunia yang tidak disimpan secara khusus akan lenyap.
Sebagai gantinya akan ada air baru, yang mengubah manusia menjadi gila. Hanya seorang yang menangkap makna peringatan itu. Ia mengumpulkan air dan menyimpannya di tempat yang aman. Ditunggunya saat yang di sebut-sebut itu.
Pada hari yang dipastikan itu, sungai-sungai berhenti mengalir, sumur-sumur mengering. Melihat kejadian itu, orang yang menangkap makna peringatan itupun pergi ke tempat penyimpanan dan meminum airnya.
Ketika dari tempat persembunyiannya itu ia menyaksikan air terjun kembali memuntahkan air. Orang itu pun menggabungkan dirinya kembali dengan orang-orang lain. Ternyata mereka itu kini berpikir dan berbicara dengan cara sama sekali lain dari sebelumnya. Mereka tidak ingat lagi apa yang pernah terjadi, juga tidak ingat sama sekali bahwa pernah mendapat peringatan.
Ketika orang itu mencoba berbicara dengan mereka, ia menyadari bahwa ternyata mereka telah menganggapnya gila. Terhadapnya, mereka menunjukkan rasa benci atau kasihan, bukan pengertian.
Mula-mula orang itu tidak mau minum air yang baru; setiap hari ia pergi ke tempat persembunyiannya, minum air simpanannya. Tetapi, akhirnya ia memutuskan untuk meminum saja air baru itu; ia tidak tahan lagi menderita kesunyian hidup; tindakan dan pikirannya sama sekali berbeda dengan orang-orang lain.
Ia meminum air baru itu, dan menjadi seperti yang lain-lain. Ia pun sama sekali melupakan air simpanannya, dan rekan-rekannya mulai menganggapnya sebagai orang yang baru saja waras dari sakit gila.
Catatan
Orang yang dianggap menciptakan kisah ini, Dzun-Nun, seorang Mesir (meninggal tahun 860), selalu dihubung-hubungkan dengan suatu bentuk Perserikatan Rahasia. Ia adalah tokoh paling awal dalam sejarah Kaum Darwis Malamati, yang oleh para ahli Barat sering dianggap memiliki persamaan yang erat dengan keahlian anggota Persekutuan Rahasia. Konon, Dzun-Nun berhasil menemukan arti hieroglip Firaun.
Versi ini dikisahkan oleh Sayid Sabir Ali-Syah, seorang ulama Kaum Chishti, yang meninggal tahun 1818.
*) Sumber: Kisah-kisah Sufi - Kumpulan kisah nasehat para guru sufi selama seribu tahun yang lampau oleh Idries Shah (terjemahan: Sapardi Djoko Damono) Penerbit: Pustaka Firdaus, 1984.