Tiga Anekdot: Nasihat untuk Pasien, Sayang Anak Penawaran Gratis
Kali ini, ada hal-hal lucu di seputar profesi dokter. Seorang dokter memberikan testimoni pengalamannya. Tentu saja, ini anekdot khas yang bisa disebarluaskan karena melenturkan urat leher.... alias tidak menegangkan.
1. Nasihat Seorang Dokter bagi Pasien
Muhammad S Niam, seorang dokter di RS Syaiful Anwar Malang menuturkan pengalamannya: “Nasihatku Buat Pasien”.
Seorang suami mengantarkan istrinya periksa setelah operasi 3 minggu sebelumnya.
”Lho 'kan minggu lalu setelah lepas verban sudah saya bilang bahwa luka operasinya sudah sembuh. Gak perlu kontrol lagi kalo tidak ada keluhan. Bahkan saya bilang sudah boleh colek-colek to?”
“Itu dia dokter. Kami tadi malam mencoba tapi gagal. Soalnya begitu saya melihat bekas lukanya langsung lemas. Gak bisa berdiri sama sekali. Mungkin dokter bisa memberi saran pengobatan.”
“Kalau cuma gak bisa berdiri ya gak perlu obat-lah.”
“Terus bagaimana caranya, dok?”
“Ya sambil tiduran saja-lah. 'Kan gak bisa berdiri.”
Mereka pun terbahak-bahak. Hehehe…
2. Sayang Anak
Di smoking room ada seorang bapak asal Kulonprogo mengajak kenalan.
“Bapak pake batik?”
“Maaf nggak. Saya pakai kaos saja. Batiknya saya taruh di koper.”
“Ah, bapak bisa saja,” katanya sambil tertawa-tawa di sela-sela merokok.
Dia melanjutkan pembicaraan.
“Saya mau menemui cucu di Jakarta. Sudah lama gak ketemu. Kangen.”
“Lho, saya juga mau menemui cucu.”
“Oh, bapak juga sudah punya cucu.”
“Belum.”
“Kok mau menemui cucu juga.”
“Iya, yang saya temui ini juga cucu. Cucu dari kakeknya-lah.”
Dia akhirnya keluar ruangan duluan sambil tertawa-tawa. Hehe..
3. Penawaran Gratis
Ada catatan ringan dari Muhammad S Niam, seorang dokter di RS Syaiful Anwar Malang:
Saya dulu bisa marah2 karena ‘diteror’ petugas bank yang menelpon berkali-kali pagi-siang-malam selama berhari-hari sampai beberapa bulan untuk menawarkan produknya. Awalnya saya minta baik-baik: “Mbak tolong dicatat di data base bahwa saya tidak berkenan ditelpon untuk penawaran produk.”
Tetapi karena tetap saja tidak berhenti ‘mengejar’, saya pun marah-marah.
“Kalian ini manusia bukan, sih?”
“Jangan menghina, Pak. Kami ini orang baik-baik yang sedang bekerja. Kami butuh nasabah.”
“Oh manusia. Kenapa tidak bisa merasakan bahwa ‘meneror’ orang dengan telpon berkali-kali selama berhari-hari sampai beberapa bulan itu sungguh mengganggu yang bersangkutan. Memang saya punya utang besar dan gak bayar-bayar sampai harus diuber-uber begitu?”
Mungkin ada yang merasa begitu saja marah. Jangan diterima telponnya 'kan beres. Saya pribadi merasakan bahwa menghubungi seseorang berkali-kali tanpa pernah diterima itu sungguh menggelisahkan. Karena itu saya berniat baik untuk memberitau mereka bahwa saya tidak bersedia menerima tawaran mereka dan agar mereka hilang kegelisahannya lantas tidak menelpon lagi. Tetapi nyatanya mereka yang sudah saya hargai upayanya tidak menghargai saya.
Sekarang saya mencoba dengan cara lain.
“Kan saya sudah bilang berkali-kali agar tidak menelpon saya untuk menawarkan produk. Kok masih telpon saja.”
“Soalnya ini penawaran bagus dan langka. Tidak semua orang mendapat tawaran yang sama.”
“Tapi saya 'kan sudah bilang bahwa saya tidak bersedia? Kenapa saya ‘diteror’ terus?”
“Saya ini petugas bank yang bertanggung jawab untuk program ini. Dan program ini hanya untuk beberapa orang yang terpilih.”
“Begini saja deh, Mbak. Saya juga punya penawaran khusus yang tidak saya tawarkan pada orang lain. Saya ini dokter bedah, konsultan senior bedah pencernaan. Saya tawarkan khusus buat Mbak. Saya bisa melakukan operasi pengangkatan usus buntu, kandung empedu, dan lambung sekaligus gratis!”
“Lho, kenapa saya mau dioperasi? Saya 'kan gak sakit.”
“Jadi Mbak gak mau saya tawari karena merasa tidak perlu kan? Begitu-lah saya dengan penawaran Mbak.”
Lalu terdengar “klek!” tanda telpon di seberang ditutup. Hehe…