Tidur di Sajadah Kiai, Akhirnya Tubuh pun Dipindah Jin (?)
Pergaulan Fachry Ali sebagai peneliti dan pengamat politik cukup luas. Di kalangan pesantren pun telah dijalinnya.
Anekdot yang dikisahkan peneliti berdarah Aceh dan besar di Jakarta ini, memberi gambaran akai kisah-kisah anak kolong masjid. Bila ada yang tidur di dalam masjid atau di tempat yang biasanya jadi tempat ibadah, akan dipindah oleh (dipercayai sebagai jin) di tempat lain.
Benarkah demikian? Inilah kisah disampaikan Fachry Ali, yang aktif di LP3ES Jakarta:
Pada tanggal 8 November 2020, saya bertemu Kiai Abdul Madjid di rumah adiknya, Abdul Hamid. Pagi hari, sekitar pukul 8.30 WIB, Mas Abdul Madjid —demikianlah saya memanggilnya— masih bersarung dan berkaus oblong. Dan sebagaimana biasanya, di jemari kanannya terselip sebatang rokok yang masih berasap. Kebiasaan kiai generasi ‘lampau’. Kiai generasi kini, termasuk Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj, sudah tidak merokok lagi.
Mas Madjid tersenyum, melambaikan tangan. Saya mendekat dan bergabung mengepulkan asap rokok bersamanya.
Mas Madjid adalah anak kedua Kiai Fatah, pendiri Pesantren Al-Fatah di Siman, Lamongan, Jawa Timur. Abangnya adalah Kiai Muchid, yang saya panggil Mas Muchid.
Pada 1987, bersama wartawan Kompas, Budiarto Danudjaja, ditemani Abdul Hamid, sayaya melakukan penelitian hubungan NU dan politik. Karena konflik internal, PPP baru saja ‘digembosi’ NU dalam pemilu tahun itu. Hasilnya, adalah tulisan saya dan Budiarto di Kompas selama 5 hari berturut-turut.
Nah, Mas Madjid, dalam kesempatan penelitian itu, berbaik hati mengantarkan kami ke beberapa pesantren. Salah satunya adalah Pesantren Langitan. Kiai Langitan inilah yang diangkat Kiai Abdurrahman Wahid pada 1999 sebagai ‘supreme kiai’ (ulama khas) —yang mendorong para pembesar Jakarta mengunjunginya.
Dalam penelitian 1987 itu, kami menginap di Pesantren Al-Fatah. Sajian makannya pedas nikmat. Terurama pepes ikan sili (bukan ‘silly’, lho?!).
Nah, pada suatu malam pada 1987 itu, Mas Madjid mengajak saya dan Budiarto duduk-duk di tepi sawah. ‘Saya berencana membeli tanah-tanah persawahan ini,’ ujar Mas Madjid ‘bermimpi’. Lalu, ia menyambung, ‘Saya berencana membangun universitas atau perguruan tinggi.’
Sejak itu, hubungan saya dengan keluarga Al-Fatah berkembang menjadi keluarga. Ibu Mas Madjid (kami memanggilnya Ibu Lamongan) menitipkan dua anaknya kepada saya: Abdul Hamid dan Kholid Novianto.
Kini Hamid bukan saja telah berkembang pesat, melainkan sudah punya menantu pada 8 November 2020 lalu —yang menjadi alasan pertemuan kembali saya dan Mas Madjid. Kholid, lulusan jurusan sejarah Universitas Indonesia (UI) bekerja di bawah saya sebagai peneliti LSPEU Indonesia pertengahan 1990-an hingga 2000-an.
Kini, Kholid sedang menyusun disertasi FE Trisakti, setelah menyelesaikan master dalam bidang ekonomi pembangunan di Pasca Sarjana UI. Disertasi Kholid ini berada di bawah bimbingan dua ekonom ternama: Tulus Tambunan dan Budi Santoso. Yg terakhir ini, melalui ekonom Didin Damanhuri, juga pernah bekerja dg saya di Lspeu Indonesia.
Yang mengharukan adalah ketika Kiai Fatah sakit keras awal 1990-an. Saya sedang sekolah di Melbourne, Australia. Mendengar itu, melalui faksimili, saya berkirim surat dan mendoakan kesehatan beliau dari Melbourne. Karena pesantren tidak punya mesin faks, surat itu saya kirim kepada redaksi Jawa Pos. Koran ini berbaik hati mengantarkan surat faksimili saya dari Surabaya ke Lamongan pada hari itu juga. Dan Mas Majid-lah yang membacakan surat tersebut kepada sang ayah yang sedang terbaring sakit.
‘Makanya,’ kata Mas Madjid pada 8 November lalu, ‘Jawa Pos mengirim karangan bunga dan takziah ketika ayah meninggal.’
Dan, masih dlm pertemuan 8 November itu, dengan sarung dan kaus oblongnya, ia berkata: ‘Jelek-jelek begini, saya sudah mendirikan universitas dan perguruan tinggi.’
Senyum simpulnya masih terbayang dalam ingatan saya. Memang, mimpi Mas Madjid pada 1987 —yang dicetuskan di pinggir sawah pada malam tak berbintang— itu telah menjadi kenyataan. Satu Perguruan Tinggi dan satu Universitas telah berdiri di kompleks Pesantren Al-Fatah, Siman, Lamongan, itu.
Lalu, bagaimana dengan Budiarto Danudjaja, sang wartawan Kompas yang menyertai penelitian saya pada 1987 itu?
Dia hanya sehari menginap di pesantren itu. Esoknya, pagi-pagi pamit pulang ke Jakarta.
Apa sebabnya?
Di pesantren itu kami tidur di ruang perpustakaan dan i’tiqaf Kiai Fatah. Ketika pagi hari, Budiarto Danudjaja bangun, dia bertanya: ‘Siapa yang memindahkan saya?’
Rupanya, dia tidur di sajadah Kiai Fatah. ‘Kepindahan’ atau ‘terpindahkan’ tanpa sadar ketika tidur itulah yang tampaknya mendorongnya pamit ke Jakarta —walau penelitian belum berakhir.
*) Dalam kisah-kisah anak kolong yang tidur di masjid, biasanya dipercaya bila tidur sembarangan akan dipindah posisinya. Pelakunya, makhluk yang tak diketahui: jin. Benarkah? Ini cuma kisah-kisah masa kecil anak-anak di langgar dan masjid-masjid di Jawa. (Red)