Tidore: Epos dalam Sunyi
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.,
Dosen Hubungan Internasional, Universitas Jember.
Perjalanan itu sempat terganggu rasa ragu. Anggaran yang cekak, menuai bimbang dalam benak: “Menyeberang ke Tidore layak apa tidak?” Pasalnya, setelah tiga hari fieldwork di Ternate, kami tim peneliti, seakan sudah puas. Data yang diperlukan sudah ditangan. Setiap hari mata selalu dimanja pula dengan pemandangan bahari.
Apalagi, saat makan di “The View” café, kami disuguhi view yang menawan. Sambil membawa daftar menu, pramusaji menyodorkan uang pecahan seribu, bergambar dua gunung berjajar, berlatar perahu menyisir laut biru.
Gunung yang tinggi itulah Pulau Tidore, sedangkan yang lebih rendah adalah Pulau Meitara. Dari café di tubir tebing pantai itu, pemandangan yang terhampar bak lukisan, persis yang diabadikan dalam lembar uang. “Betapa elok negeri ini!”, gumamku dalam hati.
Namun, termanjakan tak serta merta meredupkan penasaran. Meski kolega sempat wanti-wanti bahwa Tidore itu “sunyi”, ku tetap mendorong untuk pergi. Hasrat ini berkat sepotong sejarah yang kupahami: “Pulau kecil ini sempat memikat bangsa-bangsa Eropa”.
Saat mengelilinginya tergugah imaginasi, sejarah itu seakan hadir kembali. Sepanjang perjalanan darat, harum Cengkeh setia mendampingi kami berceloteh. Pasalnya, banyak warga lokal menjemurnya di kedua sisi jalan raya. Seorang kolega berkata: “Aroma Cengkeh inilah yang mengundang armada Spanyol untuk datang”.
Matahari Membayang
Pada esok pagi yang terang, kala matahari membayang, kami berangkat melanglang. Melalui pelabuhan Bastiong, Ternate; kami menyeberang ke Tidore. Dikarenakan Jadwal ferry tak ditangan, sewa speedboat menjadi pilihan. Gesekan boat dengan air laut mengiringi penyeberangan. “Ternyata air itu keras”, celetuk seorang kolega. Nyaringnya suara hantaman ombak pada badan speedboat yang tipis seakan sebuah teriakan kegelisahan, betapa keras dan rentannya kehidupan para awaknya.
Lima belas menit mengarungi laut yang membelit pinggang Pulau Metiara, sampailah di Pelabuhan Rum, Tidore. Tapi, kami masih harus menunggu. Pasalnya, pendamping perjalanan– Pak Opan Koli–tengah menyeberangi laut dari Sofifi, Ibu kota Propinsi. Untungnya, ada hiburan yang tak asing. Di dermaga, dua warga lokal lagi asyik memancing. Kala kutengok ke dalam air, terlihat ikan ber- sliweran di tengah kejernihan. Polusi di pelabuhan ini nampaknya masih terkendali.
Perjalanan darat ternyata pekat dengan kisah-kisah memikat. Awal masuk mobil sewa, Pak Opan berkata: “Di Tidore semua jalan adalah [jalan] tol!”. Dahiku sempat berkerut penuh tanya. Meskipun hanya candaan, ungkapan itu terbukti dalam perjalanan. Semua jalan mulus. Mobil melaju dengan lancar tanpa hambatan. Kesunyian-pun hadir karena jarang kendaraan yang lalu-lalang. Di sepanjang tepi jalan masjid-masjid indah bersimpuh takzim dalam jarak yang tak terlalu jauh. Kondisi ini mengingatkanku pada Lombok, yang mentahbiskan diri sebagai “Pulau Seribu Masjid”.
Kesunyian Tidore cermin dari kenyamanan dan keamanan. Tak seperti Ternate yang sudah menapak metropolis, di Tidore nyaris tak ada keramaian. Mall tak ada, hotel berbintang-pun tiada. Yang tersedia, sekedar penginapan. Tapi, Tidore nampak tenteram dalam keheningan. Di pulau ini tak dijumpai pengamen, tak ditemui tukang parkir, dan tiada pula peminta-minta. Pak Opan Koli meyakinkan kami: “Parkir di manapun di pulau ini, sepeda motor tak akan hilang. Coba lihat saja motor-motor yang diparkir di depan semua toko, khan tak ada tukang parkirnya?!” Sepanjang duapuluh kilometer perjalanan darat dari Pelabuhan Rum sampai ke Soa Sio, Ibu Kota Tidore; memang tak kutemukan seorangpun juru parkir.
Fakta itu mengusik rasa penasaranku. Teringat akan teori Emile Durkheim tentang Social Facts, aku-pun berasumsi: “Sangat mungkin terdapat sistem nilai atau moralitas yang kuat dalam adat setempat”. Tak pelak, dua informan mengkonfirmasi: “[Semua itu] berkat petuah leluhur!”. Hasil telisik lebih lanjut, membuatku semakin takjub. Nukilan bait awal dari Borero Gosimo (pesan leluhur dalam bahasa lokal), yang selalu dibacakan dalam prosesi Dama Nyili-Nyili (tradisi berkeliling wilayah Kesultanan Tidore dengan membawa obor), berbunyi: “Wahai semua anak cucu, ingat negeri ini berlandaskan dzikrullah dan bersandarkan kepada leluhur!”. Sebuah rangkaian kata berisi pesan yang menggetarkan hati.
Sampai di Kedaton Tidore, sekali lagi, kami disambut sunyi. Sultan tengah pergi ke Jakarta, mengemban amanah sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Alhamdulillah, kami masih beruntung karena bisa bertemu dengan Pak Bakri, Mote-Mote (pejabat protokoler) Kesultanan. Beliau bukan hanya faham setiap sudut istana, tetapi juga fasih cerita mengenai aspek sejarahnya. Kala menerima kami di Kedaton, sambutannya cukup berkesan: “Dalam cerita sehari-hari, Tidore itu [ya] begini-begini saja, tidak ada perubahan. Dia [Tidore] kecil, tapi di dalam [sejarah]-nya sangat luas. Itu karena [menyimpan] kebesaran-kebesaran di masa lalu hingga sekarang”. Dari ekspresinya, ungkapan ini merupakan prakata yang rendah hati, tanpa intensi glorifikasi.
Ketika berada di lantai dasar Kedaton, sekian dokumentasi foto patut ditonton. Selain sekian foto Kesultanan, dua foto kunjungan Bung Karno tahun 1954 juga menarik perhatian. Kedua foto itu merupakan saksi dari perjuangan politik demi terwujudnya kesatuan Republik. Pasalnya, kala itu Papua masih dalam kungkungan kekuasaan Belanda; satu bentuk pengingkaran terhadap isi perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949.
Tak ayal, Bung Karno merumuskan sekian strategi agar Papua kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Salah satunya adalah strategi politik. Alkisah, tahun 1954 Bung Karno datang ke Tidore guna meminta Sultan Tidore kala itu, Zainal Abidin Syah, untuk membantu mengklaim Papua sebagai wilayah Indonesia. Narasi “meminta Sultan Tidore untuk membantu”, yang dipakai dalam beberapa publikasi, sebenarnya kurang tepat. Argumennya, sejak Proklamasi 1945 Sultan senantiasa konsisten memperjuangkan Papua sebagai bagian integral Indonesia merdeka.
Di masa revolusi, Belanda berupaya menguasai Indonesia kembali. Dengan restu pemerintahnya, Gubernur Jenderal H.J. van Mook, bersiasat untuk mengubah NKRI menjadi negara federal (Negara Indonesia Serikat - NIS). Tujuannya, memecah Indonesia menjadi wilayah-wilayah yang mandiri. Tahun 1946, ia mensponsori tiga konferensi: Malino, Pangkal Pinang, dan Denpasar. Pesertanya, terdiri dari perwakilan berbagai daerah dan kelompok keturunan asing yang disaring. Ketika muncul skenario memisahkan Papua dari NIS, Sultan Zainal Abidin Syah menentang keras. Alasannya, dalam sejarah, Papua merupakan bagian wilayah Kesultanan Tidore.
Keukeuh-nya sikap Sultan Zainal Abidin Syah tak lekang oleh waktu, tak luntur oleh bujuk rayu. Syahdan, pada Februari 1949 Belanda mengundang Sultan Zainal Abidin Syah ke Papua. Beliau dibujuk untuk bersedia menandatangani pernyataan yang sudah disiapkan, yang isinya setuju untuk menyerahkan Irian Barat kepada Belanda. Sebagai imbalannya, Belanda akan menjamin kehidupan seluruh anggota keluarga Kesultanan.
Tapi, sekali lagi, Sultan menolak dengan keras. Sambil mengebrak meja Beliau berkata: “Saya tidak akan berkhianat kepada rakyat!”. Penegasannya ini menyiratkan makna. Tafsiranku, permasalahan Papua bukanlah sekedar urusan elit negara, apalagi terbatas sebagai wewenang pemerintah kolonial Belanda. Yang justru perlu dicatat, ikatan Tidore dan Papua sangat erat. Sebagai sandaran adat, sepenggal bait Borero Gosimo memberi pijakan kuat:
"Wahai anak cucu di Kepulauan Tidore dan semua wilayah kekuasaannya,
Ingat... ingat...ingat ...
Negeri [ini] beserta wilayah kekuasaannya di jaman tempo dulu.
Tidore tiga negeri, kepulauan Raja Ampat dengan empat wilayah, Papua sembilan negeri, Seram dan Gorong, Kei dan Tanimbar,
Kesemuanya itu adalah satu.
Ingat... kota dan negeri ini diapit oleh teluk dan tanjung".
Pesan leluhur ini memperkuat penegasan Sultan Tidore. Kepemilikan Papua bukanlah klaim politik tanpa landasan. Pesan yang patriotik itu justru merupakan narasi otentik, menggarisbawahi ikatan Tidore dengan Papua yang telah terayam erat dalam adat selama berabad-abad.
Walhasil, Sultan Zainal Abidin Syah tak ragu untuk bertahan, walau kadang harus sendirian. Pada Nopember 1949, diselenggarakan sidang pembahasan hasil KMB, termasuk konsideran pemisahan Papua dari Negara Indonesia Serikat (RIS).
Sebelum voting, beliau satu-satunya orang yang punya pendapat dissenting: “Saya selaku Kepala Kerajaan Tidore dengan banyak penyesalan tidak dapat menyetujui hasil-hasil Konferensi Meja Bundar … Kerajaan Tidore tetap mempertahankan haknya atas bagian Irian yang menurut sejarah termasuk dalam lingkungan kerajaan Tidore”. Sikap tegasnya ini tetap berlanjut pada fase sejarah yang berikut.
Menyusul bubarnya RIS, Belanda mencoba siasat baru. Kekuatan kolonial ini tetap berupaya membujuk Sultan Zainal Abidin Syah. Kali ini dengan menawari tiga opsi. Pertama, Papua bersama Tidore menjadi satu negara merdeka. Kedua, Papua dan Tidore bergabung bersama di bawah pemerintahan Belanda. Ketiga, Papua bersama Tidore menggabungkan diri ke NKRI. Konsistensi Sultan sekali lagi teruji. Dari opsi yang tersedia beliau tetap keukeuh memilih opsi ketiga.
Mengingat kebesaran sejarah Tidore, pada 17 Agustus 1956 Bung Karno menetapkan pembentukan Propinsi Irian Barat dengan Ibu Kota Soa Sio di Tidore, sedangkan Sultan Zainal Abidin Syah dilantik sebagai Gubernur pertama. Tujuannya, memperkuat klaim Indonesia atas Papua.
Tak bisa dipungkiri, perjuangan membebaskan Papua dari cengkeraman Belanda berdimensi ganda. Jika strategi militer bergerak dengan operasi Mandala yang berbasis di Makassar, maka ujung tombak strategi politiknya berada di Tidore. Sontak, kegelisahan menderaku. Mengapa epos Tidore ini sempat luput dari pengetahuanku? Entah! Ini terjadi mungkin karena kealpaanku dalam memahami sejarah. Tapi, itu bisa jadi berkat pemahaman sejarahku yang justru bias, sehingga abai terhadap peristiwa di luar Jawa.
Padahal, merawat Indonesia menuntut kesetaraan sekaligus keadilan. Di sisi makam Sultan Zainal Abidin Syah, yang bersemayam di pelataran kiri Kedaton Tidore, ku tercenung sesaat. Teriring do’a yang terpanjat, sepotong gumam tiba-tiba terloncat: “Inilah sosok pejuang NKRI sejati, kokoh dalam pendirian sunyi dari slogan!”. Wallahua’lam ….
Advertisement