Tidak Piknik, Tidak Mudik, Jangan Panik
Gubernur Sumatera Barat, Irwan Prayitno membuat edaran pada 28 Maret lalu. Isinya cekak: meminta para perantau untuk menunda pulang kampung. Alasannya karena urusan Covid 19.
Grafik penyebaran Corona yang belum juga reda, tentu membuat pening kepala. Jumlah pasien positif terinfeksi Covid-19 di Indonesia melonjak signifikan. Hingga Jumat, 27 Maret jumlahnya menembus 1.046 kasus.
Dari sebaran wilayah, total pasien menunjukkan kenaikan lebih dari 500 kali lipat. Sejak Pasien 01 dan 02 yang proaktif melapor, diumumkan Presiden Joko Widodo pada Senin 2 Maret lalu.
Tak cuma di Indonesia, juga di manca. Di Italia, sampai 29 Maret lalu, lebih lebih dari 10.000 warganya meninggal dunia tersengat Corona. Padahal, negara berpenduduk 60 juta jiwa itu, telah lockdown selama 16 hari. Yang mengagetkan, pada Jumat, 27 Maret dalam sehari tercatat 969 orang meregang nyawa. Ini korban tertinggi.
Banyak negara menerapkan pendekatan berbeda. Pertama, lockdown nasional: Italia, Inggris, Spanyol, Afrika Selatan, hingga India. Kedua, tanpa lockdown, namun tes masal corona, agar dapat petanya: Singapura dan Korea Selatan. Tapi mereka konsisten melakukannya, karena punya uang untuk membiayainya.
Bagaimana dengan Indonesia? Masih berkutat kampanye jaga jarak, membatasi mobilitas, juga pembatasan sosial. Dengan kondisi ini, kalau boleh jujur, kepanikan di khalayak makin terasa.
Namun, Presiden Joko Widodo memastikan belum ada lockdown atau karantina. Sebagaimana UU No. 6 Tahun 2018, tentang kekarantinaan kesehatan. Tentu saja, keputusan ini diambil karena banyak pertimbangan. Saya yakin, tentu saja setelah mendengar masukan para penasehat utama.
Bisa banyak aspek. Dari urusan ekonomi, juga tentu urusan dana. Jika semua dikarantina, negara harus hadir. Yang paling sederhana, bagaimana caranya memastikan warga kota yang dikarantina dapat asupan makan.
Jadi mengkarantina tentu harus ada dasarnya. Angka-angka penderita dan kepastian episentrum Corona. Masalahnya, apakah pemerintah sudah memiliki data tersebut?
Asal utama data itu hanya bila ada tes masal. Sehingga data nyata terekam. Tidak saja bersandar asumsi atau leputan besaran penyakitannya. Sehingga bisa dilihat sejauh mana kadar kegawatan penyakit pada tiap pasien, termasuk menentukan penangananya.
Karena kapasitas fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan juga terbatas. Baru setelah itu protokol Penanganannya bisa bekerja maksimal. Kalau tidak yang terjadi, mohon maaf, penangganan jadi terkesan sporadis.
Walaupun pemerintah telah bekerja keras, apresiasi publik bisa jauh panggang daripada api. Yang penting juga dikuasai, adalah jalur kendali dan penangganan tim gugus tugas dalam kondisi emergency seperti ini. Dibutuhkan ketenangan, kepastian dalam mengambil keputusan dari pemimpin dalam menghadapi krisis seperti ini.
Harap maklum, dalam krisis, selalu akan ada perasaan tertekan, binggung, dan ketakutan. Namun, obat yang paling mujarab, adalah ketenangan.
Sayangnya, entah karena tekanan juga ketakutan itu, beberapa kepala daerah nekad mengambil keputusan sendiri. Baik itu gubernur atau walikota. Mereka nekad memberlakukan lockdown lokal. Menutup arus masuk utama.
Kesimpang siuran penegasan itu, di sisi lain membuat publik pun bersikap mandiri. Jangan salahkan, bila ada kampung yang menutup gapura. Poster larangan masuk sudah tertempel.
Di sisi lain, sebentar lagi juga mendekati bulan puasa Ramadan. Yang akan diikuti dengan migrasi masal dari Jakarta ke penjuru Indonesia untuk pulang kampung.
Yang tinggal di Jakarta, kini, mulai berpikir untuk berlebaran bersama Gubernur Anies Baswedan saja. Tak lagi berencana menenggok kerabat di kampung halaman. Tentu saja, hal itu bisa merisaukan hati.
Bersapa wajah, beranjangsana dengan kerabat, adalah salah satu cara menguatkan jiwa. Itu mengapa, orang rela untuk selalu pulang ke asal kelahiran. Apa pun caranya.
Itulah salah satu jalan menikmati jeda kehidupan. Mengisi kekeringan jiwa karena belenggu kerasnya kehidupan perkotaan. Kampung halaman adalah oase, di sana selalu ada kenangan, ada romantisme, juga kesederhanaan.
Tak cuma bertemu kerabat yang gesang, di kampung kita juga pasti menenggok pusaran orang tua. Pergi berlibur juga menyempatkan diri ke kubur, adalah sarana bagi kerendahan jiwa. Kembali sadar ada sisi rapuh manusia. Sisi yang harus terus dipupuk.
Namun, bekapan virus Corona membuat semuanya berpikir ribuan kali. Menyarankan untuk berdiam di rumah. Demi menjaga kesehatan dan keselamatan semua orang.
Tidak piknik dan tidak mudik. Pesan berantai ini menjadi pilihan utama. Tak cuma para gubernur, para kepala desa juga membuat seruan serupa. Daya jalar Corona yang tak terdeteksi, melebihi serbuan pasukan segelar sepapan, membuat semuanya harus tatag hati menahan diri.
Urusan menahan diri, tak cuma sekolah yang libur. Banyak perusahaan dan Kementerian yang memberlakukan kerja dari rumah. Lantas kegiatan belajar mengajar dan bekerja menggunakan bantuan teknologi. Banyak perusahaan teknologi yang memberikan fasilitas gratis untuk bekerja dan belajar dari rumah.
Namun, sebagian orang juga sudah ada yang memilih pulang kampung. Beberapa pekerja informal, karena tak ada kerja, pulang ke asalnya. Imbasnya juga ada, Corona dari Jakarta dan kota besar lainnya sudah menusuk ke desa.
Ini yang terjadi di Desa Gunungwuled, Purbalingga, Jawa Tengah. Kepala Desa Gunungwuled, Nashirudn Latif menutup akses Dusun Bawahan.
Salah satu warganya yang baru pulang kampung, jatuh sakit. Selepas dari rumah sakit, dan ditenggok tetangga sekitar, positif covid. Akhirnya satu dusun ditutup.
Bagusnya, Pak Kades mengalokasikan 21 juta untuk menanggung hajat hidup satu dusun saat karantina diri. Uangnya dari dana desa. Keberpihakan ini jelas, karena kebutuhan hajat hidup penting buat mereka.
Karantina lokal membutuhkan sistem pendukung yang kuat. Kalau data kuat, dan area tak begitu besar, politik anggaran yang pas bisa membantu proses kesembuhan ini.
Karena, tujuan utama karantina lokal kuat. Hanya Keselamatan diri yang jadi hal utama. Urusan program desa lainnya, mau tak mau harus dipinggirkan.
Demikian juga di tataran nasional. Pandemi ini telah mengerogoti ekonomi. Pemerintah harus menyediakan jaring pengaman bagi warga yang membutuhkan. Lagi-lagi, pendataan jadi hal penting.
Agar program tetap tepat sasaran. Maklum, uang pemerintah terbatas. Presiden Jokowi bahkan harus menjaga defisit APBN harus dibawah tiga persen, agar tak digoyang secara politik dan berujung pada impeachment.
Jika DPR RI bisa menerima Perpu agar batasan defisit bisa lebar, Pak Jokowi mungkin punya nafas lebih lapang. Mengalokasikan uang untuk menghadapi pandemi ini. Hingga urusan utama seperti tes masal, APD buat tenaga kesehatan, fasilitas rumah sakit, ventilator, uang BLT ada mata anggarannya.
Bencana Corona ini membuat orang harus bergandeng tangan. Membantu yang bisa kita kerjakan. Lantas, sebagai warga, apa yang bisa kita kerjakan?
Ya, setidaknya kita bisa kuat mengkarantina diri. Tak perlu menampakkan diri, di rumah saja. Kalau pengen yang bagus karantinanya, ya belajarlah dari Harun Masiku dan Nurhadi.
Itu lho, Harun adalah tersangka eks caleg DPR Dapil I Sumatera Selatan dari PDIP yang terjerat suap dengan Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Sedangkan Nurhadi, eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi terkait kasus suap penyelesaian perkara di MA. Keduanya adalah buron KPK. Hingga saat itu, mereka mengkarantina diri. Tak bisa dicari baik oleh KPK atau Polri.
Advertisement