Tidak Mudik Lebih Baik
Ada kebingungan publik tentang kebijakan pemerintah terhadap mudik lebaran. Ini gara-gara ada keterangan istana yang berbeda dari kebijakan Presiden Joko Widodo sebelumnya.
Juru bicara Presiden Fazlur Rahman sempat mengatakan pemerintah membolehkan mudik. Asal bersedia isolasi mandiri dan berstatus Orang Dalam Pemantauan (ODP). Pernyataan Fazlur ini disampaikan dalam jumpa pers resmi.
Padahal, sebelumnya Presiden Jokowi minta ada langkah tegas terhadap arus mudik. Tidak cukup dengan himbauan. Ini untuk menghindari penyebaran virus Corona lebih luas. Memutus mata rantai pandemi.
Perbedaan pernyataan dari istana dalam waktu selang dua hari ini jelas membingungkan. Untung segera Mensesneg Pratikno meluruskan. Intinya warga diminta tak mudik. Untuk itu disiapkan bantuan sosial bagi mereka kalangan bawah.
Tapi bagaimana sebaiknya? Haruskah warga tak mudik? Dalam situasi pandemi Corona yang puncaknya diperkirakan Mei-Juni ini mencegah mudik lebih baik. Rakyat tak pulang kampung --meski lebaran-- itu lebih baik.
Mengapa demikian? Ini karena sifat penyebaran virus Corona. Virus ini menular lewat kontak antar manusia. Melalui batuk dan bersin yang langsung masuk lewat mukosa manusia: mulut, hidung dan mata.
Kedua melalui sentuhan. Virus bisa menempel di kulit manusia. Lalu beralih ke kulit orang lainnya lewat salaman. Atau virus dibawa seseorang terus menempel ke benda mati lalu orang lain memegang benda mati itu. Jika tangannya pegang bibir, hidung dan mata, virus akan masuk.
Maka, cara mencegah penularannya dengan isolasi orang yang positif Corona, sering cuci tangan pakai sabun, jaga jarak (physical distancing), dan pakai masker. Kita bisa menjadi tertular maupun pembawa virus yang menularkan kepada orang lain.
Karena itu, dalam memutus mata rantai penyebaran virus itu bisa melalui cara karantina maupun pembatasan sosial bersekala besar. Ini seperti rumus yang diamanatkan pada UU Kekarantinaan Kesehatan. Harus ada Darurat Kesehatan.
Di Indonesia, virus Corona mulai menyebar di kota besar. Dari orang yang bersentuhan dengan orang asing maupun tertular saat mereka di negara asing. Lalu menulari mereka yang pernah bersentuhan dengannya. Demikian seterusnya.
Bayangkan kalau para pemudik ini sudah tertular atau pembawa virus pulang kampung. Mereka berpotensi menyebarkan virus ke orang tuanya, saudaranya, maupun tetangga-tetangganya. Apalagi mudik lebaran penuh dengan salam-salaman.
Di kota besar, fasislitas kesehatan jauh lebih lumayan dibandingkan di kampung dan daerah. Jika terjadi ledakan kasus Covid-19 di daerah, maka akan sangat dibikin kelabakan rumah sakitnya. Kalau ini terjadi potensi kematianny makin tinggi.
Salah satu alat yang sangat penting untuk menangani Covid-19 adalah vetilator. Alat pembantu pernafasan. Karena alat ini mahal, jumlah unit di setiap RS tidak banyak. Apalagi yang disediakan untuk khusus pasien Corona.
RS terbesar di Jawa Timur, misalnya. Sampai dengan minggu lalu, mereka hanya memiliki 93 ventilator. Digunakan untuk pasien Covid-19 hanya 3 unit. Minggu ini mendapat tambahan lagi 4 unit ventilator.
Belum kebutuhan kamar isolasi. RS Unair yang dari awal membuka klinik khusus Corona hanya mempunyai 6 kamar isolasi untuk pasien kategori berat dan 4 untuk kategori ringan. Jika terjadi ledakan dengan pasien Covid berjumlah ratusan, maka bisa dibayangkan repotnya.
Fasilitas kesehatan di daerah yang menjadi tujuan mudik pasti tidak lebih baik dari kota besar. Karena itu, mengimpor virus ke daerah dengan "memaksa" mudik pasti lebih banyak mudharat ketimbang nilai silaturahmi di setiap mudik lebaran.
Kesiapan sarana dan prasarana di daerah ini tampaknya mengharuskan Pemerintah Pusat bersikap tegas soal mudik. Biar warga kota besar tidak mengimpor pandemi Corona ke daerah-daerah. Biar mata rantai penularannya segera bisa diputus.
Bagi warga jelas tidak mudik tahun ini lebih baik. Jaga orang tua, saudara, tetangga, dan orang-orang di desa dari kemungkinan tertular Corona. Jika terpaksa, harus siap menjadi ODP dan mengkarantina diri 14 hari.
Advertisement