Tidak Hanya Homestay, Kandang Kuda Pun Dibangun
Sejumlah wisatawan lokal yang hari itu berada di sekeliling gedogan (kandang kuda) milik Karsih semakin terperanjat begitu menyaksikan seekor kuda putih dengan rambut kepala berwarna pink di dalam kandang.
“Kudanya cantik, rambut kepalanya dicat pink. Seandainya ada tanduknya persis seperti Unicorn,” ujar Viddy, wisatawan dari Surabaya yang berkunjung ke Bromo.
Karsih, pemilik kandang kuda hanya tersenyum mendengar ungkapan tersebut. Yang jelas, ia memelihara tiga ekor kuda. “Kuda-kuda itu saya beli dalam kondisi sudah besar (dewasa) di Pandaan, Kabupaten Pasuruan. Seekor kuda harganya Rp20 juta,” katanya.
Perempuan paruh baya itu mengaku senang karena keberadaan tiga ekor kuda tunggangan wisatawan Bromo itu mendapat perhatian dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui program Sarana Hunian Pariwisata (Sarhunta) itu.
Tiga ekor kuda itu menjadi andalan keluarga Karsih. “Sehari-hari kami ini keluarga petani ya berkebun, selain menyabit rumput untuk pakan kuda,” katanya.
Kuda-kuda itu dipakai untuk mengantarkan wisatawan melintasi Laut Pasir (Kaldera) Bromo. “Dari Cemorolawang ke tangga Bromo pergi pulang Rp150 ribu,” ujarnya.
Pembangunan kandang kuda tersebut merupakan wujud komitmen Kementerian PUPR untuk menjadikan wisata Bromo menjadi lebih menarik.
“Tidak hanya homestay, kandang kuda pun kami bangun,” ujar Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) KSPN Bromo-Tengger-Semeru, Sumarno saat meninjau kandang kuda di Dusun Cemorolawang, Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Senin, 6 Desember 2021.
Sebenarnya selain sebagai tunggangan wisatawan, kuda-kuda itu bisa menjadi daya tarik wisatawan. “Wisatawan bisa diajak ke kandang kuda, menyaksikan perawatan kuda, berfoto-ria. Karena itu kandang kuda sebagai penunjang wisata kami benahi. Nanti semakin bagus kalau dilengkapi conblock,” kata Sumarno.
Melalui program Sarhunta pula, masyarakat di empat kabupaten yakni, Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan Lumajang mendapat hibah (bantuan) Sarhunta. Total sebanyak 430 unit Sarhunta terinci, 120 homestay dan usaha lainnya, serta 310 sarana non-usaha.
Sebanyak 120 homestay dan usaha lainnya itu, kata Sumarno, terpencar di empat lokasi tersebut. Di Probolinggo 32 unit terletak di Dusun Cemorolawang, Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura. Di Pasuruan dibangun sebanyak 27 unit Sarhunta di Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari.
Di Kabupaten Malang sebanyak 33 unit terletak di dua desa, Gubugklakah dan Ngadas, Kecamatan Poncokusumo. Terakhir sebanyak 28 unit Sarhunta dibangun di lereng atas Gunung Semeru tepatnya di dua dusun, Sidodadi dan Besaran, Desa Ranupane, Kecamatan Senduro.
Ranupane terletak di ketinggian 2.100 meter di atas permukaan laut (mdpl) memang “nangkring” di lereng atas Gunung Semeru yang tingginya 3.676 mdpl. “Biasanya wisatawan yang berada di Ranupane merupakan pendaki gunung,” kata Sumarno.
Bagaimana tanggapan warga penerima hibah Sarhunta? “Saya senang, warung nasi saya semakin ngejreng setelah direnovasi oleh Kementerian PUPR,” kata Sri S. Wahyu, warga Dusun Cemorolawang, Desa Ngadisari.
Meskipun warung nasinya terlihat modern dan bersih, tetapi ia tidak meninggalkan ciri khas Tengger. “Kebiasaan warga Tengger itu jagongan (ngobrol bareng) di sekeliling pagenen. Di warung saya ada pagenen atau tungku, untuk menghangatkan badan. Terasa nyaman, makan atau ngopi bareng di dekat pagenen,” ujarnya.
Dulu warung Sri hanya bangunan sederhana, dilengkapi sejumlah meja dan kursi, dan tentu saja pagenen. “Saya dibantu Rp100 juta, tetapi secara swadaya saya nambah ongkos tukang selama 28 hari,” ujarnya.
Pengakuan serupa diungkapkan Soponyono, pemilik Warung Soponyono di Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan. Warung nasi yang tersambung ke rumahnya terlihat megah, bersih, terlihat kinclong dengan cat warna orange.
“Warung saya sudah selesai dibangun tetapi belum saya buka, nunggu hari baik sebagaimana hitung-hitungan hari dan neptu yang dipercayai warga Tengger,” katanya.
Meski warungnya terlihat bagus, Soponyono mengaku, tidak akan menaikkan harga makanan dan minuman yang dijual. Tujuannya, agar wisatawan betah dan kembali berbelanja di warungnya.
“Sejak pandemi Covid-19 memang wisatawan sepi, dulu sebelum Covid, setiap akhir pekan atau liburan panjang, banyak wisatawan yang menginap di sejumlah homestay di desa ini, mereka biasanya makan minum di warung saya yang dulu ala kadarnya,” ujarnya.
Kamar Mandi Bintang Tiga
Sementara itu Sukarwo, pemilik Yan Homestay di Cemorolawang mengaku, bangga dengan kondisi penginapannya sekarang. “Ada dua kamar tidur, tarifnya Rp500 ribu atau Rp250 ribu per kamar. Kamar mandinya juga seperti di hotel,” katanya berpromosi.
Pernyataan Sukarwo dibenarkan Sumarno. “Ya kalau diukur kamar mandinya setara di hotel bintang tiga dilihat dari kualitas closet, bahkan ada water heater-nya,” katanya.
Pria yang dijuluki Pakde Karwo karena kesamaan nama (dengan mantan Gubernur Jatim, Soekarwo) itu berharap, pandemi Covid-19 segera berakhir. Sehingga homestay yang dikelola keluarganya bisa laku.
“Wisatawan lokal memang sudah ada yang menyewa kuda dan jip wisata, kebetulan saya sopir jip, anak saya membawa kuda,” katanya.
Pakde Karwo mengaku, pekerjaan utamanya sehari-hari memang bertani, menanam sayur di kawasan dusun di bibir Laut Pasir Bromo. “Pekerjaan utama saya bertanam sayur, yang sampingan homestay, jip, dan kuda,” katanya.
Kembali ke bentuk bangunan homestay, memang seperti halnya bangunan rumah warga Tengger pada umumnya. Hanya saja di teras rumah dilengkapi semacam tugu kecil, mirip Candi Bajang Ratu, peninggalan kerajaan Majapahit.
Sebagian pemilik homestay yang beragama Hindu biasanya meletakkan bebanten (sesaji) di tugu kecil di depan rumah. Pemandangan tersebut banyak terlihat di rumah-rumah di ruas jalan kampung di Desa Wonokitri.
Suasana agamis semakin kental dengan berdirinya sebuah pura di atas bukit di kampung tersebut. “Selain merenovasi rumah dan jalan, kami juga memperbaiki bangunan balai di bagian bawah pura,” ujar Sumarno.
Ruas jalan kampung itu juga dilengkapi gapura kembar di pintu gerbangnya. Conblock (paving block) dicat warna-warni sehingga menambah semaraknya kampung.
“Suasana kampung di Wonokitri yang menjadi sasaran program kami, terlihat rapi dan indah karena terletak di tanah yang konturnya rata, beda misalnya dengan perkampungan di Cemorolawang yang terletak di tanah berbukit-bukit,” kata Sumarno.
Di Cemorolawang, bangunan Sarhunta terletak di jalan menanjak hingga ke bibir Laut Pasir. Tentu kekhasan kontur tanah ini membuat panorama Bromo dengan kalderanya bisa dinikmati dari Cemorolawang.
Bagaimana dengan Sarhunta di Gubugklakah dan Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang? Dua desa tersebut merupakan desa terakhir sebelum menuju Jemplang, yang menjadi pintu gerbang masuk kaldera.
Dari Jemplang ini biasanya wisatawan dari Malang turun ke Laut Pasir Bromo. Dari kedua desa itu dibutuhkan waktu sekitar 20 menit dengan jip dan satu jam untuk sampai di bibir Kaldera Bromo.
Di dua desa terakhir itu Kementerian PUPR membangun 33 unit homestay dan tempat usaha lain. Selama ini homestay di kawasan tersebut biasa menampung wisatawan yang hendak ke Bromo, setelah keliling-keliling Kota Malang.