Tidak Ada yang Tabu untuk Pendidikan Seks Sejak Dini
Pelecehan seksual adalah segala tindakan seksual yang tidak diinginkan, baik secara verbal maupun fisik. Korban tak hanya perempuan, pria pun juga dapat dilecehkan secara seksual.
Bukti nyata ialah sikap Paus Fransiskus memperbarui hukum pidana Gereja Katolik. Dalam revisi itu, ia memperkuat hukuman bagi imam gereja yang melakukan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur.
Revisi Kitab Hukum Kanonik yang dilakukan Paus itu merupakan yang paling komprehensif dalam hampir 40 tahun belakangan ini.
Di Tanah Air, Komnas Perlindungan Anak (PA) melaporkan pemilik sekolah SPI di Batu, Jawa Timur, berinisial JE ke Polda Jatim atas kasus kekerasan seksual hingga pelecehan. Komnas Perlindungan Anak (PA) mendampingi 12 korban sejak melapor hingga saat menjalani pemeriksaan hingga visum.
Korban pelecehan seksual lainnya ialah presenter Najwa Shihab. Ia baru-baru ini membagikan pengalamannya semasa duduk di bangku sekolah. Bukan pengalaman menyenangkan, tetapi cerita saat ia menjadi korban pelecehan seksual. Putri Quraish Shihab ini kembali mengalami kejadian serupa belum lama ini saat ia sedang berolahraga. Beruntung, kali ini ia bisa melawan pelaku.
Tak kalah menghebohkan, netizen menuntut Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menghentikan penayangan sinetron Zahra (Suara Hati Istri). Zahra diceritakan sebagai anak sekolah yang terpaksa menikahi juragan orangtuanya karena untuk melunasi hutang. Zahra dijadikan istri ketiga Pak Tirta. Pemeran Zahra diketahui masih belia. ABG asal Bali ini baru 14 tahun dan duduk di bangku SMP. Sinetron ini dituding melegalkan pedofil dan pernikahan anak.
Butuh kerja keras orangtua dan guru untuk memberikan pendidikan seksual kepada anak-anaknya agar tidak terjerumus tontonan atau pemberitaan yang salah sehingga bisa menjadi korban pelecehan seksual, apalagi sampai diperdagangkan dengan iming-iming duit.
Peran Orangtua Memberikan Edukasi
Sedini mungkin orangtua seharusnya memberikan pendidikan seks yang akurat tentang sistem reproduksi antara lelaki dan perempuan. Hal ini bisa membantu anak-anak tersebut mencegah terjadinya pelecehan seksual. Jangan biarkan anak-anak ini mencari informasi yang salah dari orang lain apalagi internet.
Pendidikan seksualitas yang sesuai dan tepat, dapat membantu menghindari gangguan psikologis, karena anak yang sudah terlanjur terpapar visualisasi seks yang berlebihan akan memusatkan diri pada seks. Sangat di sayangkan, sebagian besar orangtua di Indonesia ini justru marah ketika anaknya bertanya menganai seks atau hal lainnya yang masih dianggap tabu. Padahal hal ini justru membahayakan bagi anak-anak.
Pendidikan Seks Sesuai Usia
Orangtua sebaiknya memperhatikan tahapan usia ketika akan memberikan pendidikan seks kepada anak. Mereka harus diajak ngobrol dengan Bahasa yang mudah dipahami oleh anak-anak seusianya. Ketika anak beranjak dewasa pun orangtua juga harus mulai menyesuaikan informasi yang tepat agar anak tidak rishi.
1. Usia balita (0-3 tahun)
Ibu bisa mulai mengenalkan nama-nama bagian tubuh yang sebenarnya, mulai dari kaki, tangan, kepala, hingga jenis kelaminnya. Selain itu ajari anak untuk melakukan hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat di rumah apalagi di tempat umum. Misalnya, anak diajarkan pakai handuk saat keluar dari kamar mandi atau anak sudah mengenakan baju ketika keluar dari kamar mandi.
2. Usia sekolah dini (4-5 tahun)
Orangtua sudah dapat mengajarkan nama-nama dari bagian tubuh baik luar maupun dalam, khususnya pada bagian reproduksi. Orangtua juga boleh menjelaskan bagaimana bayi bisa berada dalam rahim tentunya dengan bahasa yang dipahami anak-anak dan tidak vulgar.
3. Usia sekolah (6-8 tahun)
Orangtua mengajarkan pendidikan seks kepada anak di usia dini, dengan mulai membicarakan apa yang akan terjadi ketika anak mulai pubertas. Tujuannya, sebagai persiapan anak saat mengalami tersebut.
4. Usia menuju pubertas (9-12 tahun)
Cobalah untuk memulai berbicara dengan anak terkait perubahan yang mereka rasakan. Hal tersebut dimaksudkan, agar anak memahami jika menstruasi, ereksi, dan ejakulasi adalah hal yang normal. Selain itu, orangtua juga perlu mengajarkan kepada mereka betapa berharganya diri dan tubuh mereka.
5. Usia pubertas (13-18 tahun)
Pada tahap ini, anak mulai tertarik dengan lawan jenisnya. Untuk itu, antara anak dengan orangtua boleh membahas masalah cinta, keintiman, dan cara mengatur batas dalam hubungan antar lawan jenis. Orangtua jangan lelah mendampingi dan mengawasi anak. Ajarkan anak untuk mandiri dan bertanggungjawab atas dirinya sendiri ketika harus berjauhan dengan orangtua, misalnya ketika anak berada di luar rumah.
Pendidikan seks pada anak tidak hanya mengenai hal-hal yang berhubungan dengan organ seksual semata. Hal ini juga berkaitan dengan kepemilikan serta kenyamanan tubuh. Sehingga ada manfaat penting yang bisa diperoleh anak dan orangtua terhadap kasus pelecehan seksual yang marak di kalangan anak-anak.
1. Menangkal efek buruk dari media dan lingkungan
Pendidikan seks membantu melindungi anak dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh media seperti konten porno di YouTube atau siaran televisi. Selain itu, memberikan pemahaman mengenai pergaulan juga harus diberikan orangtua, agar anak tidak terjerumus dalam hubungan seks bebas atau tindakan kriminal lainnya, seperti melakukan pemerkosaan atau kekerasan seksual.
2. Membangun rasa percaya antara anak dan orangtua
Mengedukasi anak dengan pembahasan yang terbuka, karena akan meminimalisir rasa ingin tahu anak untuk mencari informasi di media sosial yang malah memberikan dampak buruk karena belum tentu tepat dan benar.
3. Membuat anak mengerti tentang konsekuensi dan menghargai diri
Mengajak diskusi anak sehingga dia bisa melindungi dan menghargai tubuhnya sendiri. Jadi seluruh perlakukan terhadap tubuhnya harus mendapatkan persetujuan dari dirinya dan tidak boleh dipaksakan. Dampak memberikan pendidikan seksual bagi anak juga akan membuat anak belajar memilih, bersikap, dan bertanggungjawab atas perbuatannya, jadi anak paham risiko dan konsekuensi ketika akan melakukan sesuatu.
Ingat, jangan menggantungkan informasi dari media sosial atau internet karena hal ini justru merugikan. Sebagai orangtua yang bijak tentu paham bagaimana menjaga anak-anaknya jika menyangkut seksual.