Tidak Ada Flying Toilets di Surabaya
Oleh: Djono W. Oesman
Bloko suto, Pemkot Surabaya mengungkap, 8.000 warga Surabaya kini tak punya jamban. Hasil riset di Amerika, tiap orang BAB rata-rata 400 gram per hari. Jadi, setiap hari di Surabaya ada 3,2 ton tinja liar.
----------
Data 8.000 orang itu diungkap Kepala Dinas Lingkungan Hidup Surabaya, Agus Hebi Djuniantoro kepada pers, Kamis, 3 November 2022. Begini:
"Jadi, data yang kita kumpulkan dari semua kecamatan, ada sekitar 8.000 warga Surabaya kini tak memiliki jamban di rumahnya."
Tidak semuanya liar. Dilanjut Hebi: "Warga tanpa jamban, pakai WC umum. Tapi, kebanyakan memang buang air besar sembarangan. Di kali-kali, atau tempat lain."
Katakanlah, separo dari 8.000 orang BAB sembarangan. Di Surabaya setiap hari ada sekitar 1,6 ton tinja, asli liar. Se-kontainer. Per hari. Pencar. Sangat membahayakan. Kalau sampai jatuh kepleset di situ.
Bukan pelanggaran pidana. Buat 8.000 orang itu. Tidak ada pasal di KUHP yang mengatur ini. Juga, tidak bisa disebut sebagai penjahat lingkungan hidup. Tidak bisa. Lha, wong memang orang tidak mampu. Jangan dibanding-bandingkan.
Pasal 34 Ayat 1, Undang-undang Dasar 1945, menyatakan: Fakir miskin dan anak-anak terlantar harus ditanggung pemerintah pusat dan daerah.
Memang sudah. Agus Hebi mengatakan, dulu lebih parah. Data 8.000 itu sudah mending. "Pada 2021 Pemkot membuat 400 jamban. Lalu, 2022 membuat 300 jamban. Tahun depan rencana 2.000 jamban."
Tapi, orang buang hajat 'kan tidak bisa ditunda tahun depan, Rek? Yok opo.
Prof Kim Elaine Barrett, Guru Besar Fakultas Kedokteran dan Dekan Divisi Pascasarjana di University of California, San Diego, AS, menulis di Daily Mail, terbitan 22 Maret 2018. Judulnya:
"How much do people poo in their lives? Scientists provide a comprehensive breakdown and the results will surprise you!".
Tulisan itu, antara lain menyebutkan:
"Dalam sehari, rata-rata orang membuka usus mereka setidaknya sekali. Pria dan wanita menghasilkan sekitar 14 oz (400 gram) kotoran per hari. Ini hasil riset kami di University of California."
Data resmi Pemkot Surabaya 8.000 orang non-WC, mungkin realistis. Atau, aslinya bisa lebih besar.
Pengumuman UNICEF 2021, untuk data tahun 2020, Indonesia ditulis berpenduduk 270.203.917. Ini hasil sensus penduduk Badan Pusat Statistik 2020.
Dipublikasi UNICEF, sekitar 9 persen populasi, atau 25 juta warga Indonesia tanpa jamban di 2020.
Itu dipublikasi UNICEF, 4 Juli 2021, berjudul: "Water, sanitation and hygiene". Walaupun data UNICEF belum tentu valid. Mana bisa tahu mereka, bahwa keluarga Cak Parman di Banyuurip Lor Gang Buntu, Surabaya, ternyata punya jamban. Cuma, disebutnya jumbleng.
Merujuk data UNICEF tersebut, di India pada tahun yang sama. Jumlah penduduk 1.352.642.280. Besaran warga tanpa jamban 1,4 persen, atau 19 juta orang.
Tapi, sebaiknya jangan disaing-saingkan. Kita dengan India. Ya... mesti kalah.
Berarti kompetitor kita adalah negara-negara Afrika. Di sana paling ekstrem di Distrik Kibera, Kota Nairobi, Kenya.
Dr Richard Davies dalam bukunya: "Kibera: Home of the flying toilet" (2008) mengungkap sanitasi yang parah di Kibera. Sampai, di bukunya itu ia membuat istilah sendiri: "flying toilets" di sana.
Davies orang Inggris yang tinggal di Kenya. Ia lulusan Psikologi Filsafat Oxford University, Inggris. Kemudian lulus Fakultas Kedokteran, Queen's University of Belfast, lulus 1988. Di Kenya ia pakar kesehatan masyarakat.
Di Nairobi, berpenduduk sekitar 3 juta jiwa. Di buku itu disebutkan, bahwa berdasar data resmi pemerintah setempat, sekitar 99 persen penduduk punya jamban. Tapi, Davies yang sudah 21 tahun tinggal di Kenya, punya catatan beda,
Davies di bukunya, mengatakan: "Dua dari tiga orang di Kibera, sehari-hari pelaku toilet terbang. Sebagai cara utama pembuangan kotoran yang tersedia bagi mereka."
Toilet terbang, artinya warga yang tidak punya jamban bisa BAB di mana saja. Asalkan, output diwadahi kantong plastik. Setelah selesai, kantong plastik diikat. Lalu dilempar ke kali. Bagi yang kurang ajar, bisa dilempar ke pinggir jalan.
Buku Davies diterbitkan 2008. Mungkin sudah kuno. Mungkin saja Kibera sudah tidak begitu lagi, sekarang.
Dikutip dari Aljazeera, 3 April 2017, bertajuk "How to deal with Kibera’s flying toilets?", hasil liputan wartawan Aljazeera. Ternyata tidak beda dengan tulisan Davies.
Diulas di situ, wartawan Aljazeera melakukan liputan deskripsi situasi di Nairobi. Ia didampingi pemandu setempat, bernama Abdul Abdallah.
Sebelum mereka jalan, keliling Nairobi, yang bisa berarti sampai di Kibera, Abdul menasihati reporter, begini: “Hati-hati... Jangan menginjak kantong plastik, atau kertas apa pun, yang Anda lihat di jalan.”
"Plastik, maksudmu bagaimana? Bentuknya seperti apa?"
"Kantong plastik tertutup, begitu. Atau kantong kertas."
"Memangnya kenapa?"
"Itu toilet terbang."
"Jelasnya bagaimana?"
"Orang BAB di rumah mereka di malam hari. Masuk ke kantong plastik. Lalu diikat. Lalu dilemparkan ke mana saja. Kadang ke jalan. Kalau terinjak, plastik pecah..."
Sang reporter bule, manggut-manggut. Barulah mereka keliling, liputan. Tak disebutkan di berita itu, deskripsi nyata toilet terbang. Tapi diulas kondisi warga miskin di sana.
Di Surabaya, tidak ada plastik terbang. Kalau pun ada, pasti kebetulan. Atau dilakukan orang gila. Berdasar buku Davies dan berita Aljazeera itu, kondisi sanitasi Surabaya jauh lebih baik banding Nairobi.
Apalagi, tahun depan Pemkot membangun 2.000 toilet, rencananya. Maka, jangan dibanding-bandingkan. Mesti kalah. (*)
Penulis adalah Wartawan Senior
Advertisement