Tiba Tiba Tiada
Tulisan saya hari ini tidak obyektif. Hati-hati membacanya.
Banyak orang lain yang juga meninggal dunia kok yang ini saya tulis di DI’s Way.
Betul. Yang meninggal ini teman baik saya. Sesama pengusaha. Hanya saja ia pengusaha besar sekali.
Namanya: Mohammad Nadjikh.
Umur: 55 tahun.
Bidang usaha: perikanan.
Ia tokoh Muhammadiyah. Jabatannya saat ini: Ketua Bidang Perekonomian Pengurus Pusat Muhammadiyah.
Ia alumnus Institut Pertanian Bogor, IPB. Yang sekarang menjadi salah satu anggota wali amanat di universitas itu.
Saya selalu hormat padanya --biar pun saya lebih tua. Kalau ia minta sesuatu saya tidak bisa menolak. Misalnya dua bulan lalu. Ia minta saya ke Bali. Untuk jadi pembicara di depan pengusaha Muhammadiyah se-Indonesia.
Ketika berulang tahun ke-50, ia menerbitkan buku. Saya juga diminta menulis kata pengantar.
Pokoknya saya tidak bisa mengatakan tidak padanya.
Maka saya terkejut ketika kemarin sore dapat kabar: ia meninggal dunia.
Kekayaan menjadi seperti tidak ada artinya.
Lalu saya telepon putranya. Tidak tersambung. Saya hubungi manajemennya. Tidak tersambung. Saya hubungi istrinya. Tidak tersambung.
Di masa seperti ini begitu sulit mendapatkan konfirmasi. Apalagi bagi orang seperti saya yang imunitas badan sengaja justru harus diturunkan.
Hanya satu potong keterangan yang bisa saya dapat: beliau sudah empat hari dirawat di Rumah Sakit Husada Utama Surabaya. ”Sakit jantung dan paru-paru”.
Itulah penjelasan tertulis putranya. Yang kemudian beredar luas --terutama di lingkungan Muhammadiyah.
Saya memang jarang kepo.
Termasuk ketika teman-teman saya heboh membicarakan tetangga mereka.
Saya memang dikirimi fotonya segala. Foto rumah besar yang didatangi polisi dan ambulans. Tapi saya tetap tidak kepo. Termasuk ketika pembicaraan mereka sampai pada: virus sudah masuk ke Graha Famili.
Graha Famili adalah salah satu kompleks perumahan termahal di Surabaya --terutama yang di sekitar lapangan golf.
Bahkan saya tidak tahu kalau Nadjikh sudah pindah ke situ. Rasanya hanya segelintir pengusaha muslim yang punya rumah di situ --Nadjikh dan pemilik Gajah Duduk misalnya.
Saya punya banyak sekali teman di Graha Famili. Semua menghebohkan masuknya virus ke perumahan itu. Termasuk membicarakan bahwa pemilik rumah itu masih jalan-jalan di komplek Graha Famili minggu sebelumnya.
Tapi saya sama sekali tidak menyangka kalau foto rumah yang beredar itu adalah rumah barunya Nadjikh.
Saya menyesal tidak kepo.
Saya tidak menyangka.
Ia masih sangat muda --untuk ukuran saya.
Ia enerjik sekali. Tidak menyangka kalau ia punya sakit jantung --salah satu yang paling rawan di musim Covid-19 ini.
Banyak yang saya harus angkat topi: Nadjikh itu luar biasa. Di banyak bidang. Terutama bagaimana ia yang sudah kaya masih mau ngurus pergerakan keagamaan.
Saat menulis untuk buku ulang tahunnya, saya lebih banyak menjadikan Nadjikh sebagai contoh pengusaha muslim yang hebat.
Waktu itu saya lebih banyak melihat Nadjikh dari sisi ”tauhid” - nya. Yakni ”tauhid bisnis”.
Dalam hal bisnis itu Nadjikh adalah orang yang sangat bertauhid. Dan karena itu sukses besar. Dalam bisnisnya.
Inti dari tauhid adalah ”meng-esa-kan”. Tidak menduakan. Apalagi mentigakan.
Inti dari ”meng-esa-kan” adalah fokus. Khusuk. Pikirannya tidak ke mana-mana.
Maka saya menilai Nadjikh itu sangat khusuk. Sangat fokus. Sangat bertauhid.
Dalam bisnis.
Khusuk pertama adalah bidang pilihan bisnisnya: perikanan. Satu bidang ini ia tangani secara mati-matian. All-out. Dari hulu sampai hilir. Dari kecil sampai besar. Lalu besar sekali.
Bukan berarti ia tidak mau bisnis lain. Tapi ia pilih tekuni dulu fokusnya itu sampai benar-benar ma'rifat. Sampai benar-benar dijiwai. Dikuasai. Sampai ke detailnya yang paling detail. Mulai dari produksinya, pengolahannya sampai ke pasarnya. Juga sampai ke teknologinya. Manajemennya.
Rasanya sampai 10 tahun pertama ia tidak menoleh ke mana-mana. Tidak juga coba-coba bidang lain.
Saya tahu kelak, setelah bisnis perikanannya besar sekali, barulah ia merambah ke bisnis lain.
Yang seperti itu tidak bisa lagi disebut tidak fokus. Yang seperti itu ada sebutannya sendiri. Yang akan saya uraian di bawah nanti.
Hal lain yang menjadi bukti kekhusu'an Nadjikh adalah ini: tidak mau terjun ke politik. Padahal modal ada. Nama, ada. Network, ada. Basis masa, ada. Lengkap. Tinggal pijit tombol.
Tapi ia tidak mau.
Itu luar biasa. Saya kagum akan keteguhan hatinya. Saya bangga ada orang yang tahan godaan seperti itu.
Padahal godaan politik adalah godaan yang sangat menggiurkan. Meski juga sangat menjerumuskan. Ia sangat waspada. Tidak mau terjerumus ke dalamnya.
Mengapa saya bangga pada keteguhannya itu?
Karena politik adalah musuh bisnis. Jiwa politik sangat bertentangan dengan jiwa bisnis.
Jiwa bisnis adalah jiwa yang harus bisa dipercaya. Harus memegang teguh komitmen. Apa yang diucapkan harus bisa dipegang.
Saya prihatin melihat begitu banyak pengusaha muda yang terjun ke politik. Padahal usahanya belum besar. Belum mapan pula. Maka saya pastikan mereka itu tidak akan bisa tekun lagi berusaha. Mereka sudah terbiasa melewati jalan mudah. Jalan pintas.
Sedang berbisnis itu jalannya sulit. Harus ulet. Harus merintis dari bawah. Harus bekerja keras.
Sebenarnya, menurut saya, Nadjikh sudah boleh terjun ke politik. Jiwa bisnisnya sudah menyatu di hatinya. Karakternya sudah kuat. Prinsip hidupnya sudah teguh.
Kalau pun ia terjun ke politik rasanya politik sudah tidak akan bisa merusaknya. Justru orang seperti ia yang bisa memperbaiki perpolitikan.
Tapi memang lebih baik Nadjikh tetap dalam keteguhannya itu. Begitulah kesimpulan tulisan saya untuk bukunya itu.
Mengapa itu menjadi catatan khusus saya untuknya?
Karena Nadjikh itu pribumi. Nadjikh itu aktivis Islam. Nadjikh itu orang daerah.
Pribumi-Islam-daerah biasanya tidak tertarik pada bisnis. Lebih tertarik jadi politisi. Atau pegawai.
Karena itu posisi ekonomi pribumi-Islam-daerah sangat lemah. Betapa pentingnya memperbanyak orang sukses seperti Nadjikh.
Nadjikh adalah model. Contoh nyata bagaimana pribumi-Islam-Daerah bisa sukses. Lewat jalan fokus. Tidak mudah tergoda. Khusuk. Bertauhid.
Kita harus bersyukur pernah ada sosok seperti Nadjikh.
Coba saja kalau ia tidak bertauhid, ia belum tentu berhasil.
Orang yang tidak bertauhid itu, Anda tahu: disebut musyrik. Orang musyrik masuk neraka. Begitu juga orang bisnis yang ”musyrik bisnis”. Ia akan masuk neraka. Nerakanya orang bisnis adalah bangkrut!
Begitu pentingnya ajaran tauhid. Termasuk untuk bidang bisnis.
Nadjikh tiba-tiba tiada.
Tapi jiwanya akan terus hidup pada siapa saja yang pernah mengenalnya. (Dahlan Iskan)
Advertisement